HAKIM
OLEH Ka’bati (Aktivis Perempuan)
Agak lain memang peristiwa siang itu. Awalnya tentu tak ada firasat buruk, ketika dua pengacara muda itu berangkat menjalankan tugasnya, Rabu 5 Juni 2024 lalu. Ruang sidang adalah tempat yang aman dan terbuka. Orang-orang datang untuk mencari keadilan di depan hakim. Mereka dilindungi, semua ada dalam aturan yang jelas.
Ranti dan Anisa duduk tenang menunggu giliran sidang, ya seperti yang biasa mereka jalani selaku aktifis yang mengabdikan hidupnya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, membela dan menuntut keadilan bagi perempuan korban. Namun rasa tenang berubah tegang, ketika salah seorang hakim senior menghampiri mereka lalu melontarkan kata-kata ancaman. Walaupun dalam kondisi cemas, salah seorang dari mereka berhasil merekam suara sang hakim. Selang sehari audio rekaman itu menyebar dan viral di media sosial. Publik bereaksi, mengutuk perbuatan hakim.
Reaksi publik dan media atas perbuatan hakim yang mengancam dua pengacara perempuan itu membuat pihak Pengadilan Negeri gusar. Minggu sore, mereka menggelar jumpa pers. Sayangnya dalam acara jumpa pers yang juga dihadiri oleh para hakim di PN tersebut, ketua PN tidak dengan legowo menyatakan permintaan maaf atas perlakuan hakim bernama Basman itu, namun yang berulang dinyatakan adalah upaya untuk menggugat kembali pihak LBH yang mereka anggap melakukan pencemaran nama baik terhadap institusi mereka. Ketua Pengadilan Negeri Padang (PNP) dan wakilnya secara terang-terangan mengatakan kecurigaannya atas tindakan pihak LBH yang dianggap hiperbola dan memperbesar-besar masalah.
“Memang ini kasus yang berbeda. Kami sudah memanggil hakim bersangkutan dan beliau mengaku benar melakukan pengancaman itu. Tapi yang namanya prilaku manusia tentu tak luput dari kesalahan. Untuk itu kami telah berupaya untuk mengajak pihak LBH membicarakannya secara kekeluargaan. Di sisi lain kami juga bisa menuntut balik LBH karena melakukan pelanggaran merekam pembicaraan di ruang sidang lalu menyebarkannya. Ini ada indikasi dari pihak mereka untuk memperbesar masalah. LBH Padang saya anggap sangat hiperbola dan merugikan kami sebagai lembaga,” ujar ketua PNP Syafrizal di depan jurnalis yang hadir.
Tidak banyak wartawan yang datang dalam jumpa pers tersebut, karena informasinya memang mendadak. Namun perwakilan dari Forum Jurnalis Perempuan(FJPI) Sumbar hadir, saya hadir bersama Nita Arifin (ketua FJPI Sumbar) dan Devy Diani. Semenjak awal kasus ini viral, kami di FJPI memang merasa harus terlibat. Tidak masuk akal ada ancaman dari hakim senior dalam kata-kata yang tidak baik seperti itu di ruang sidang yang mulia, tempat orang-orang berharap mendapat keadilan. Dan itu dilakukan oleh manusia mulia bernama hakim. Pihak yang menerima ancaman pula adalah perempuan yang sedang memperjuangkan nasib perempuan korban yang dalam persidangan sebelumnya mendapat pengalaman traumanik akibat pertanyaan-pertanyaan hakim yang terkesan melecehkan.
Suasana di ruang jumpa pers, lantai 2 gedung Pengadilan Negeri jalan Khatib Sulaiman itu terasa tegang. Ada perasaan tidak puas ketika mendengar statemen yang lagi-lagi memojokkan korban. Salah seorang wartawan televisi yang hadir memberikan saran agar membicarakan kasus ini dengan baik, agar tidak terjadi salah persepsi, tetapi menurut ketua PNP, mereka sudah melakukan komunikasi tetapi sepertinya pihak LBH memilih cara lain, dengan juga mengajukan pengaduan perbuatan ancaman itu ke pihak Polda Sumbar.
“Pak, ini bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan komunikasi dan berdamai-damai. Ini soal pelanggaran etika dan sekaligus pelanggaran aturan hukum. Mestinya Bapak berupaya membenahi institusi ini secara internal dan meminta maaf ke pada publik. Bukannya menegakkan benang basah dengan menuntut balik pihak LBH. Maaf ini saran.” Saya agak terpancing emosi karena melihat reaksi ketua PNP tersebut. Apa lagi ketika melihat reaksi dua hakim perempuan yang ada di ruang tersebut yang walau sudah diperkenankan oleh ketuanya untuk berbicara namun menolak berkomentar. Padahal saya hanya ingin tahu, apa pandangannya terhadap kasus tersebut dan bagaimana bentuk keberpihakannya kepada proses implementasiPeraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma itu sendiri lahir atas dasar pertimbangan atas pentingnya negara memberi perlindungan terhadap warganya dari segala bentuk diskriminasi.
“Saya tak bisa menjawab dan berkomentar apapun. Tanya saja ke Humas. Karena aturannya begitu,” ujarnya.
Akh, sungguh jawaban yang mengecewakan. Padahal saya berharap sebagai seorang hakim yang mulia, beliau juga menunjukkan kemuliaan dengan berempati terhadap korban pengancaman oleh rekan mereka, bukan hanya mulia dalam sebutan di ruang sidang.
Mendekati waktu magrib, jumpa pers selesai. Saya mencoba menghubungi direktur LBH, Indira Suryani. Sebetulnya pada Jumat siang, pihak LBH sudah pula menggelar jumpa pers berkaitan kasus ini. Namun pada saat itu saya tidak bisa hadir.
Lewat whatsApp, Indira menjelaskan kalau dia dan teman-teman di LBH memang sudah sejak setahun yang lalu bekerja untuk mendorong bagaimana hakim-hakim di pengadilan di Sumbar untuk mengimplementasikan Perma no 17 tahun 2017.
Nah, Perma ini sebenarnya salah satu upaya perlindungan bagi perempuan korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya agar mereka tidak disakiti dengan verbal atau tidak memiliki trauma pasca mereka memberikan keterangan di pengadilan.
“Hakim Basman yang melakukan pengancaman inimemang kami laporkan ke Komisi Yudisial (KY) karena yang bersangkutan ini melanggar perma itu, dengan memblaming (menyudutkan) korban ketika memberi keterangan saksi sehingga korban kami traumatik, merasa terancam dan down secara mental. Begitu situasinya,” papar Indira.
Menurut Indira, pola pertanyaan yang kemudian memblaming korban itu sangat buruk dampaknya bagi korban. Apa lagi korban yang mereka dampingi itu masih dalam kategori anak-anak. Ya, itu bukan hal yang sederhana. Dalam ruang pengadilan, yang seharusnya dilindungi itu menurut Indira adalah korbannya. Tidak masuk akal saja misalnya hakim meminta para korban dan pendamping korban untuk mengerti mereka. Justru hakim harus memahami dan belajar tentang perspektif dalam menyidangkan kasus-kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum sehingga dalam proses-proses pengadilan itu mereka tidak menyakiti dan tidak membuat traumatik kembali ke korban. Dampaknya sangat berat ketika korban mendapati blaming di ruang-ruang pengadilan. Merasa trauma dan begitu beratnya dampak itu . Hakim harus menyadari dan segera berbenah diri dalam situasi itu.
“Tidak mungkin kita biarkan ruang-ruang sidang kita melakukan kejahatan kepada para korban,” ujar perempuan yang sudah delapan tahun menjadi lowyer dan 10 tahun mengabdi menjadi pengabdi bantuan hukum di LBH Padang tersebut.
“Jujur saja, bahkan saya sudah menyidangkan dan bersidang puluhan kali di PN Padang itu dalam berbagai kasus. Belum ada dalam pengalaman saya dan kami di LBH, kami di ancam dalam ruang sidang itu sendiri. Ini peristiwanya di ruang sidang ketika proses menunggu sidang, ada perangkat-perangkat hukum lain di situ dan anehnya tidak ada yang berusaha melindungi staf saya disitu. Bagaimana mungkin kami tidak merasa kecewa. Ketika ruang sidang yang seharusnya aman bagi pihak yang berbeda pemikiran dan pandangan dan berbeda kepentingan. Ini ruang sidangnya justru merong-rong kami. Dan kami merasa ini tidak pengalaman sederhana dan bukan hiperbola, justru hakim-hakim itu harus sensitif dalam kasus ini,” ujarnya tegas.
Indira juga berbagi pengalaman bahwa selama ini dia memang sering berselisih pandangan dengan hakim tetapi tidak ada muncul ancaman-ancaman.
“Kalau saya jujur, LBH Padang bertengkar dengan hakim selama proses sidang itu sering. Tapi tidak akan pernah kemudian para hakim kami, jaksa maupun pengacara ketika kita diruang sidang berdebat kencang lalu melakukan pengancaman atau yang lainnya. Tidak pernah. Baru sekali inilah dalam proses kami melakukan bantuan hukum karena kami melakukan kerja-kerja pendampingan bagi korban atas tindakan hakim yang tidak mematuhi aturan di dalam internalnya sendiri lalu kami diancam dan dituduh pula hiperbola. Ini tidak sederhana dan jangan sampai sikap hakim Basman ini mewabah pada hakim-hakim lain. Ruang pengadilan haru ramah terhadap orang-orang yang mencari keadilan,” ujarnya.
Hakim Basman sendiri tidak hadir dalam jumpa pers di PNP, hari minggu itu. Katanya sedang ada urusan keluarga di kampungnya di Pariaman. Dia memang sudah mengaku melakukan ancaman, tetapi sebatas membenarkan perbuatannya saja, tetapi tidak menyatakan permintaan maaf tertulis atau dalam bentuk lainnya. Ketua PNP juga mengatakan tidak akan menjatuhkan sanksi apapun, karena itu tergantung keputusan Komisi Yudisial saja, katanya.
Soal mengubah paradigma dari yang sebelumnya tidak menunjukkan simpati dan keberpihakan menjadi berperspektif perlindungan korban memang bukan perkara mudah. Apa lagi mengingat nilai-nilai patriarkhi yang ternyata masih berakar kuat di masyarakat. Bahkan di masyarakat matrilineal minangkabau yang harusnya meletakkan perempuan pada posisi sangat mulia. Peristiwa pengancaman dan pelecehan korban perempuan ini membuat saya berpikir, betapa tidak mudah dan tidak indahnya menjadi perempuan ketika berhadapan dengan pemegang kekuasaan yang pikirannya masih sangat patriarkis. Orang-orang yang tidak mau disalahkan dan mengaku salah walaupun sudah terang menginjak nilai-nilai kemanusiaan dan menimbulkan penderitaan pada orang lain. (Ka’bati)