Gugatan LBH Padang Soal Pencemaran PLTU Ombilin Ditolak, Sistem E-Court Bermasalah

Kamis, 20/02/2025 15:47 WIB

Padang, sumbarsatu/com– Gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) - Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait keterbukaan informasi pencemaran di PLTU Ombilin kandas di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Pengadilan menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima karena dianggap melewati batas waktu pengajuan, yakni lebih dari 14 hari kerja setelah putusan Komisi Informasi Publik (KIP) diterima pada 19 Oktober 2024.

Namun, LBH Padang membantah keputusan ini dan menuding adanya kesalahan sistem e-court PTUN Jakarta. Berdasarkan catatan pengadilan, gugatan baru masuk pada 8 November 2024, sementara LBH Padang menyatakan telah mendaftarkannya sehari sebelumnya, pada 7 November 2024.

LBH Padang menggugat putusan KIP yang menyatakan informasi terkait pelaksanaan sanksi administratif terhadap PLTU Ombilin bersifat tertutup bagi publik. Padahal, sanksi administratif atas dugaan pencemaran abu batubara sudah dijatuhkan sejak 28 Agustus 2018. Hingga kini, masyarakat sekitar masih mengalami dampak lingkungan yang merugikan.

Pemantauan LBH Padang menemukan dugaan pelanggaran berulang oleh PLTU Ombilin. Namun, KLHK menolak temuan tersebut dengan alasan data yang digunakan tidak memenuhi standar mereka. Karena itulah, LBH Padang mengajukan gugatan untuk mendapatkan data resmi dari KLHK guna memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan sanksi.

Kuasa hukum LBH Padang, Alfi Syukri, M.H., menilai majelis hakim keliru dalam menafsirkan tenggat waktu pengajuan gugatan. Ia menegaskan bahwa pendaftaran dilakukan tepat waktu sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2011.

“Semua berkas sudah kami unggah dan biaya perkara sudah kami bayarkan pada 7 November 2024 pukul 13:47 WIB melalui sistem e-court. Namun, sistem pencatatan PTUN Jakarta baru meregistrasi gugatan pada keesokan harinya. Ini jelas keliru karena tidak mempertimbangkan fakta sebenarnya,” ujar Alfi.

Bahkan, tangkapan layar sistem e-court menunjukkan tanggal pendaftaran gugatan adalah 7 November 2024. Namun, dalam persidangan, majelis hakim maupun KLHK tidak pernah mempermasalahkan tenggat waktu hingga akhirnya gugatan ditolak.

Dr. Charles Simabura, S.H., M.H., pakar keterbukaan informasi yang dihadirkan dalam persidangan, menegaskan bahwa prinsip informasi publik adalah keterbukaan. Pengecualian hanya bisa dilakukan dengan alasan yang kuat berdasarkan uji kepentingan publik.

“Informasi terkait pencemaran dan pengelolaan limbah seharusnya dibuka ke publik, terutama jika melibatkan uang negara dan berpotensi memengaruhi kesehatan masyarakat. Tidak ada alasan untuk menutup-nutupi hal ini,” tegas Dr. Charles.

Merespons putusan ini, LBH Padang berencana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2011.

“Kami akan melampirkan bukti pendaftaran gugatan pada 7 November 2024 untuk mempertegas bahwa gugatan ini telah diajukan sesuai tenggat waktu. Kami juga akan terus memperjuangkan keterbukaan informasi karena ini penting untuk memastikan masyarakat dapat mengetahui dampak pencemaran yang mereka alami,” ujar Alfi.

Novita Indri, juru kampanye energi fosil dari Trend Asia, menyoroti kecenderungan PTUN Jakarta yang kerap menolak gugatan keterbukaan informasi publik dengan alasan formalitas.

“Ini bukan pertama kalinya PTUN Jakarta menolak gugatan publik dengan alasan prosedural. Padahal, informasi terkait pencemaran dan dampaknya terhadap lingkungan serta kesehatan masyarakat harus dibuka seluas-luasnya. Sayangnya, masyarakat justru semakin sulit mengakses informasi yang seharusnya menjadi hak mereka,” pungkas Novita. SSC/RE:

 



BACA JUGA