Warga Sumbar Seret Negara ke Meja Hijau dalam Kasus Bencana Ekologis

Rabu, 10/12/2025 20:45 WIB

Padang, sumbarsatu.com—Pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional, warga Sumatera Barat resmi mengajukan notifikasi Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/CLS) terhadap dugaan kelalaian negara dalam mencegah dan menangani bencana ekologis yang terjadi sejak akhir November 2025.

Gugatan ini diajukan melalui Tim Advokasi Keadilan Ekologis yang mewakili warga dari Kota Padang, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Solok.

Langkah hukum ini diambil setelah sepuluh hari seruan publik melalui YLBHI–LBH di Sumatera agar pemerintah menetapkan status bencana nasional tak mendapat respons memadai. Padahal, data terbaru BNPB hingga 10 Desember 2025 mencatat 238 orang meninggal, 93 hilang, 113 luka-luka, serta kerusakan 8.300 rumah, 486 fasilitas umum, 216 fasilitas pendidikan, 65 fasilitas kesehatan, 205 rumah ibadah, 29 gedung, dan 64 jembatan.

Bencana besar ini bermula pada 26 November 2025 di Kabupaten Agam, setelah hujan intens terus terjadi sejak 20 November akibat pengaruh siklon.

Tim Advokasi Keadilan Ekologis menegaskan bahwa rangkaian bencana bukan semata akibat hujan ekstrem yang menurut BMKG mencapai 154 mm/hari, namun merupakan hasil dari kelalaian terstruktur dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Salah Urus Izin

Temuan pemetaan GIS LBH Padang menunjukkan banyak titik bencana berada di kawasan yang telah berubah fungsi lahan, daerah aliran sungai (DAS) yang rusak, hingga zona rawan yang dialihfungsikan menjadi permukiman dan area berizin.

Kerusakan ekologis diperparah lemahnya penegakan hukum terhadap illegal logging dan illegal mining. Beberapa kasus yang disorot antara lain:

  • Tambang emas ilegal di Nagari Simanau, Tigo Lurah, Solok

  • Tambang ilegal di Sulik Aie, Kabupaten Solok

  • Illegal logging di hulu DAS Kota Padang

  • Aktivitas ilegal di Taman Wisata Alam Megamendung

  • Illegal logging di Cagar Alam Maninjau seluas 3.043 hektare

Dinas Kehutanan Sumbar mencatat deforestasi mencapai lebih dari 28.000 hektare sepanjang 2025, sementara total kehilangan tutupan hutan 2020–2024 mencapai 48.174 hektare.

Negara Abai

Dalam notifikasi CLS, warga menilai negara gagal memenuhi kewajiban konstitusional melindungi keselamatan rakyat dan keberlanjutan ekosistem sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU PPLH, UU Penataan Ruang, UU Penanggulangan Bencana, dan instrumen HAM internasional.

Gugatan ditujukan kepada pejabat-pejabat yang dianggap lalai dan melakukan pembiaran, termasuk Presiden RI, Menteri Kehutanan, Bappenas, ATR/BPN, Mendagri, BNPB, Kapolri, Kapolda Sumbar, Gubernur Sumbar, serta kepala daerah Padang, Agam, Tanah Datar, dan Solok.

Tim meminta evaluasi total perizinan, penghentian praktik yang melanggar tata ruang, pemulihan ekologis, hingga pemenuhan hak dasar penyintas.

Notifikasi CLS dikirimkan hari ini melalui pos dan pengantaran langsung. Jika dalam 60 hari kerja tidak ada langkah nyata, gugatan akan didaftarkan ke PTUN Padang.

“Bencana Ini Terencana”

Perwakilan Tim Advokasi Keadilan Ekologis, Adrizal, menilai bencana yang melanda Sumatra bukan akibat faktor alam semata.

“Ini bukan bencana tahunan. Ini bencana yang terencana akibat eksploitasi kawasan hutan tanpa evaluasi dan pengawasan. Pengabaian ini menyebabkan ratusan jiwa meninggal, ribuan luka-luka, ratusan rumah dan fasilitas umum hancur. Namun hingga kini hak dasar penyintas belum terpenuhi,” kata Adrizal, Rabu (10/12/2025).

Ia juga menyoroti lemahnya penegakan hukum, di antaranya kasus penembakan antaranggota polisi terkait pembekingan tambang ilegal di Solok Selatan serta tambang ilegal di Lubuak Matuang yang kembali beroperasi hanya dua minggu setelah ditutup.

“Lempar tanggung jawab antara pusat dan daerah memperbesar risiko bagi warga. Keselamatan publik tidak boleh dikalkulasi dengan logika ekonomi semata,” tegasnya. ssc/rel



BACA JUGA