Sarat Intrik dan Rugikan Nagari, Masyarakat Sungai Kamuyang Gugat Sertifikasi HPL

KORBAN UU CIPTA KERJA

Senin, 06/11/2023 06:03 WIB
Gerbang tanah ulayat Nagari Sungai Kamuyang

Gerbang tanah ulayat Nagari Sungai Kamuyang

Reportase RANDI RAIMENA

 

Sungai Kamuyang, sumbarsatu.com—Masyarakat Nagari Sungai Kamuyang, Kecamatan Luak, Kabupaten Lima Puluh Kota tengah bergejolak setelah Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan  sertifikat hak pengelolaan (HPL) tanah ulayat untuk tiga nagari di Sumatera Barat sejak 10 Oktober 2023 lalu, termasuk Nagari Sungai Kamuyang.

Sebanyak 200 petani yang saat ini mengelola dan memanfaatkan tanah ulayat nagari  (seperempat hektare) menyatakan penolakan atas sertifikasi tersebut. Mereka telah membuat petisi penolakan sertifikasi. Petisi ini nantinya akan disertakan dalam surat penolakan sertifikasi ke Kementerian ATR/BPN. 

Penelusuran yang dilakukan sumbarsatu yang datang ke lokasi tanah ulayat tersebut, dan bertemu dengan beberapa petani yang ikut menolak dan menandatangani petisi, mengaku cemas dan khawatir atas status tanah yang telah disertifikasi itu akan mudah beralih dan disewakan kepada pemodal (investor) atau pihak lainnya.

“Jika ulayat ini bisa disewakan kepada investor, kalau tiba-tiba datang perusahaan, kami para petani bisa-bisa disuruh pindah. Padahal cuma ini lahan yang bisa kami olah. Di mana nanti kami berladang,” kata Danil saat kepada sumbarsatu di Subaladung, Sungai Kamuyang, Sabtu, 4 November 2023.

Pak Siu, petani lainnya, mengatakan hal senada. Menurutnya, saat ini ada banyak keluarga yang menggantungkan hidup dengan mengolah tanah ulayat nagari dengan sistem sewa. Dengan hasil berladang di tanah ulayat itulah para keluarga petani itu memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak-anaknya. 

“Yang kami tolak itu HPL nya karena disertifikatkan atas nama KAN, bukan atas nama masyarakat. Kami juga khawatir HPL itu nanti bisa sebabkan beralihnya tanah ke negara,” kata lelaki 60-an tahun yang telah sejak lama mengandalkan seperempat hektare lahan ulayat yang disewanya itu sebagai sumber ekonomi utama. 

“Kalau sertifikatnya bukan HPL tapi sertifikat kepemilikan bersama, itu kami setuju. Tambah kokoh ulayat kita. Kami dukung kalau begitu. Tapi kalau HPL akan terus kami tolak,” lanjut Pak Siu, saat ditemui di kawasan tanah ulayat Sungai Kamuyang. 

Danil dan Pak Siu adalah 200 petani yang kini memanfaatkan 60 hektare tanah ulayat. Mereka menggunakannya untuk area peternakan sederhana dengan 1 atau 2 ekor sapi, menanaminya dengan rumput gajah, serta tanaman tua seperti cengkeh. Sebagaimana laki-laki Minangkabau lainnya, mereka tak punya tanah. Kebanyakan dari mereka, sepenuhnya menggantungkan hidup pada lahan tersebut. 

“Kami semua di sini sedang resah oleh HPL ini,” kata Danil dan Pak Siu serempak yang diiringi anggukan setuju dua petani lain yang ada di lokasi. 

Petisi yang ditandatangani oleh 200 petani itu merupakan bagian dari upaya pencabutan sertifikat HPL tanah ulayat yang diorganisir oleh Aliansi Peduli Nagari. 

“Kami akan kirimkan petisi itu bersama surat permintaan pencabutan HPL Ulayat Sungai Kamuyang ke BPN kabupaten dan surat untuk meminta Kementerian ATR/BPN mencabut SK HPL tersebut,” kata Donal, salah satu anggota Aliansi Peduli Nagari. 

“Itu baru dari masyarakat yang tinggal di sekitar tanah ulayat karena mereka yang akan terdampak langsung. Dari hasil amatan kami, banyak lagi masyarakat yang menolak HPL ini. Mulai dari pemuda, cadiak pandai, ulama, dan niniak mamak serta bundo kanduang,” lanjut Donal. 

Aliansi Peduli Nagari sendiri, merupakan organisasi anak Nagari Sungai Kamuyang yang terdiri atas niniak mamak, pemuda dari berbagai Jorong di Sungai Kamuyang, serta beberapa perantau. 

Penolakan Sejak Awal Terbitnya HPL Ulayat 

Penandatangan petisi penolakan oleh 200 petani di atas bukanlah satu-satunya reaksi penolakan atas HPL Ulayat. 

Sejak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional memberikan sertifikat hak pengelolaan (HPL) Tanah Ulayat Nagari Sungai Kamuyang seluas 371.095 meter persegi telah terjadi serangkaian protes dan keberatan. 

Seminggu setelah keluarnya sertifikat, pemerintah nagari mengadakan pertemuan dan sosialisasi HPL sebagai salah satu agenda. 

Dalam pertemuan yang dilakukan pada Senin 16 Oktober 2023 di Balai Adat Nagari Sungai Kamuyang itu, sejumlah niniak mamak, anak nagari, dan Badan Musyawarah Nagari, meminta wali nagari untuk menjelaskan duduk perkara terbitnya sertifikat tersebut. 

Dari pantauan sumbarsatu yang hadir di pertemuan tersebut, beberapa niniak mamak mengatakan tak tahu menahu soal adanya rencana sertifikasi HPL Ulayat untuk nagarinya. Mereka mengatakan memang ada tim. 

Memang sejak Juli lalu telah dibentuk tim sosialisasi tapi sosialisasi itu lebih ke pendataan dan inventarisasi tanah ulayat. Sedangkan model sertifikatnya belum pernah dibahas sama sekali. 

“Kami tak pernah diberitahu soal HPL itu. Apakah ada dampak buruknya, atau dampak baiknya, kami tidak pernah diajak berembuk. Kami cuma diajak memetakan dan mendata tanah ulayat,” kata Datuak Simulie Nan Putiah saat bicara dalam forum rapat tersebut. 

Begitu juga pernyataan Datuak Bijoyo yang mengatakan selama ini tidak pernah dibahas soal HPL. Dirinya bahkan sebelumnya menginginkan begitu inventarisasi selesai, yang dikeluarkan adalah hak kepemilikan, bukan hak pengelolaan. 

“Namun tiba-tiba yang muncul sertifikat HPL Tanah Ulayat,” katanya heran di sela-sela pertemuan. 

Ketua Bamus Sungai Kamuyang Ismail Datuak Siomoa Palawan, juga meminta pemerintah nagari dan pihak yang terlibat pengajuan sertifikat untuk menjelaskan apa yang terjadi. 

Wali Nagari Sungai Kamuyang Isral kemudian menjelaskan semua sudah sesuai prosedur dan menyakinkan peserta pertemuan bahwa HPL tidak berarti ulayat menjadi milik negara. 

Begitu juga jajaran KAN versi Mubeslub (saat ini di Sungai Kamuyang ada dua versi KAN), juga menyampaikan hal senada. Irmaizar Datuak Rajo Mangkuto, Ketua KAN versi Mubeslub, mengatakan soal adanya kajian dan pendampingan oleh tim dari Unand [PaGa Unand, red].

Hendri Donal Datuak Paduko Bagonjong, salah satu jajaran KAN versi Mubeslub pun berkata bawah HPL tidak berbahaya, malah akan menguntungkan bagi nagari. Ia juga meminta masyarakat mendukung HPL tersebut. 

Potensi Bahaya HPL

Prof Kurnia Warman, Direktur PAgA (Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat Fakultas Hukum Universitas Andalas) yang terlibat dalam Pilot Project Tindak Lanjut Data Tanah Ulayat yang berujung pada terbitnya HPL, termasuk di Sungai Kamuyang, mengatakan HPL akan memberi kepastian hukum atas status tanah ulayat. 

“Sepanjang konsisten dengan PP 18/2021, insyaallah HPL untuk ulayat nagari, [Sungai Kamuyang], justru memberi kepastian hukum dan diharapkan mampu melindunginya dari kepunahan yang sudah terjadi pada banyak nagari di Sumbar,” jelasnya saat diwawancara via WhatsApp pada Selada 17 Oktober 2023.

Kurnia Warman mengatakan bahwa HPL Tanah Ulayat tidak akan membuat tanah ulayat berpindah kepemilikan ke negara atau swasta dan mengimbau agar masyarakat tidak cemas. 

“HPL tanah ulayat ini tidak sama dengan HPL tanah negara. Bagi kalangan yang masih khawatir mungkin karena masih memahami bahwa HPL itu hanya untuk tanah negara saja, jadi anggapannya HPL tanah ulayat membuat tanah ulayat menjadi negara,” tutupnya.

BACA: Kejanggalan Lahirnya Sertifikat HPL Tanah Ulayat Nagari Sungai Kamuyang

Namun para pakar hukum agraria, pengamat, aktivis, akademisi sosial politik yang fokus pada isu-isu agraria dan masyarakat adat, punya pandangan berbeda. 

Yando Zakaria, salah satu aktivis dan peneliti hukum adat berdarah Minangkabau, mengatakan HPL Tanah Ulayat bukanlah solusi untuk mengatasi persoalan terkait tanah ulayat seperti kepastian hukum. Bahkan menurutnya HPL justru akan membuat masalah baru dan menganjurkan model sertifikat hak milik bersama daripada mode HPL.

“Menurut saya, HPL itu menyusahkan masyarakat adat karena hak itu masih bersifat sementara. Padahal, menurut saya, lebih baik langsung diberikan sertifikat hak milik bersama saja. Jadi bisa bersifat lebih tetap,” katanya saat dihubungi pada Senin 16 Oktober 2023. 

Demikian pula pendapat Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum UGM. Menurutnya, anggapan bahwa penetapan HPL sama artinya dengan bentuk pengakuan kepada masyarakat hukum adat (MHA), perlu diluruskan. Menurutnya, HPL justru mengusung semangat yang berlawan dengan klaim ‘bentuk pengakuan’ itu. 

 “Labelisasi HPL atas tanah ulayat itu justru menegaskan tentang bentuk pengingkaran kedudukan tanah ulayat dalam konsepsi hak penguasaan negara ketika berbicara tentang hubungan antara negara dengan tanah yang melahirkan tiga entitas tanah, yakni tanah negara, tanah ulayat, dan tanah hak (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 2 dan Penjelasan Umum II.2 UUPA),” katanya seperti dikutip dari Kompas.id.

Ia juga mengingatkan bahwa ada benturan konsep antara pemaham MHA (dalam konteks ini termasuk MHA Sungai Kamuyang) atas ulayat dan pemahaman dalam HPL. “MHA memandang tanah ulayat sebagai kepentingan bersama (hak kolektif), berbeda dengan HPL yang berciri individualistik!,” lanjut Maria SW Sumardjono. 

 Lebih jauh, ia menegaskan bahwa penetapan HPL bagi tanah ulayat justru mengingkari kewenangan MHA atas tanah ulayat mereka sendiri. Tanah ulayat yang merupakan satu kesatuan dengan MHA, dikecilkan wewenangnya menjadi “sebagian wewenang negara yang dilimpahkan”. Karena itu , ia menegaskan bahwa MHA tak memerlukan pelimpahan wewenang negara.

Di sisi lain, intelektual dan aktivis sosial Abdul Rahman melihat bahaya besar jika tanah ulayat dibuka selebar-lebarnya kepada investor. HPL Ulayat yang dinilainya memberi karpet merah bagi mengalirnya modal-modal besar ke tanah ulayat akan membuat anak nagari tersudut di nagari sendiri. 

Anak nagari umumnya belum tentu siap untuk menghadapi persaingan bebas, mereka akan kalah oleh derasnya arus modal dari luar. 

“Tanah-tanah komunal kini masuk pada ekonomi liberal, yang akan memposisikan anak-anak nagari langsung berhadap-hadapan dengan kekuatan modal pasar bebas, tanpa ada benteng sosio-kultural yang memadai,” dikutip dari laman garak.id.

Selain anak nagari akan tersungkur oleh persaingan dengan pemodal besar, Abdul Rahman juga mewanti-wanti bahaya lain HPL. Yaitu bahwa dengan adanya HPL, pemodal bisa mendapat HGU, atau HBU selama 60 atau 75 tahun. Selama 75 tahun itu pulalah tanah ulayat yang sejatinya merupakan milik bersama menjadi miliki pribadi. 

Pandangan serupa juga dilontarkan pakar hukum adat Wendra Yunaldi. Dekan Fakultas Hukum UMSB itu juga menggarisbawahi konsep hak dalam HPL adalah “konsep hak penguasaan negara yang kewenangan pelaksanaan bisa ditunjuk ke pihak-pihak tertentu.” 

Korban UU Cipta Kerja

Wendra juga menjelaskan bahwa konsep hak dalam HPL tersebut didasarkan pada UU Cipta Kerja 2021. Ia menyoroti salah satu pasal dalam PP 18 Tahun 2021 soal hak, yang merupakan turunan dari UUCK 2021. 

“Dalam PP 18 Tahun 2021 Pasal 1 Ayat 3 yang berbunyi,” Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak pengelolaan,” jelasnya, seperti dilansir sumbarheadline. SSC/RAN

Iklan

BACA JUGA