
OLEH Sudarman (Dosen UIN Imam Bonjol Padang)
MENURUT Fernand Braudel pelabuhan adalah rute tempat pemberhentian yang berfungsi sebagai penghubung antara daerah seberang lautan (foreland) dan daerah pedalaman (hinterland), atau jalan maritim dan jalan darat.
Pada masa lalu pelabuhan sering hanya berupa dermaga kecil yang hampir tidak dilengkapi dengan prasarana yang memadai. Bahkan tidak jarang dilaporkan bahwa yang dinamakan pelabuhan itu hanya sebuah teluk kecil dimana kapal dapat membuang jangkar.
Pelabuhan di pantai barat Sumatera memiliki dua model pelabuhan. Pertama pelabuhan muaro, model pelabuhan seperti ini hanya dimasuki kapal atau perahu yang mempunyai tonase kurang dari dua puluh ton. Penyebab utamanya adalah kedalaman air di muaro sangat dangkal, sehingga tidak memungkinkan kapal-kapal berukuran besar merapat.
Pada Abad XVIII M Pelabuhan Muaro masih memiliki kedalaman 10,98 ell sehingga kapal-kapal yang bermuatan sampai dua ratus ton dapat merapat di Muaro, tetapi pada Abad XIX M pelabuhan Muaro mengalami pendangkalan sehingga hanya bisa dimasuki oleh kapal dan perahu kecil yang bermuatan sepuluh sampai dua puluh ton.
Kedua, pelabuhan Reede; sebuah nama lain dari pelabuhan yang dikenal dalam dunia pelayaran di zaman Hindia Belanda. Reede adalah suatu tipe pelabuhan yang lebih sederhana karena memiliki fasilitas yang terbatas. Reede diperlukan apabila pada suatu kota pantai tidak memungkinkan dibangun pelabuhan dengan berbagai perlengkapannya. Misalnya kota tersebut berhadapan dengan laut terbuka sehingga ombak begitu besar, keadaan pantai yang sangat curam atau tidak tersedianya ruang yang baik dan cukup untuk membangun pelabuhan dengan segala peralatannya
Secara geografis pesisir barat Sumatera keadaan pantainya sangat terjal dengan ombak Samudera Indonesia yang ganas, meskipun ganas para pedagang mencari teluk sebagai tempat berlabuh, teluk tersebut itulah yang dijadikan pelabuhan oleh para pedagang yang berasal dari berbagai negara. Di antara teluk-teluk yang terdapat di pantai barat Sumatera antara lain Teluk Tapian Nauli atau Teluk Sibolga di Sumatera Utara, Muoro Padang dan Teluk Padang di Sumatera Barat dan Padang Baai di Bengkulu. Disamping itu ada pelabuhan-pelabuhan yang terbentuk karena ada komoditas yang dicari oleh para pedagang, pelabuhan-pelabuhan tersebut adalah Lamuri, Barus, Sibolga, Muoro Padang dan Inderapura. Pelabuhan tersebut tidak hanya menjadi pusat perdagangan namun juga menjadi pusat penyebaran agama di pantai barat.
Denys Lombard menguraikan tentang para pedagang yang mengunjungi pelabuhan Aceh Darussalam yang terdiri dari bangsa Cina, Bangsa Jawa, Bangsa Siam, Bangsa India, Bangsa Turki, Bangsa Perenggi (Prancis, Inggris, Belanda). Semua bangsa yang datang ke pelabuhan Aceh Darussalam memiliki latarbelakang keagamaan yang berbeda-beda, serta dipastikan setiap dari mereka sedikit banyaknya memiliki misi ideologi yang mereka anut.
Setidak-tidaknya setiap bangsa yang datang ke pelabuhan Aceh Darussalam diklafikasikan dengan tiga besar agama; Islam, Nasrani dan Hindu. Disamping mereka melakukan perdagangan secara tidak langsung juga menyebarkan misi keagamaan. Hal ini terlihat ketika pada tahun 1511, Portugis menaklukkan Malaka para pedagang muslim yang berasal dari Kairo, Mekkah, AdenAbyssinia, Persia, Turki dan pantai Malabar tidak mau untuk melakukan pelayaran dan perdagangan ke Malaka disebabkan faktor agama.
Dalam pengelolaan pelabuhan Portugis lebih mempergunakan faktor agama dibandingkan dengan faktor ekonomi. Pedagang muslim mencari pelabuhan alternatif yang memiliki kesamaan ideologi. Salah satu pelabuhan terdekat yang paling potensial untuk dijadikan sebagai pelabuhan pengganti adalah Aceh Darussalam.
Persaingan antarpedagang untuk menyebarkan agama diuraikan oleh Frederik de Houtman yang datang ke Aceh pada tahun 1600, de Houtman mendapati banyak pedagang-pedagang yang berasal dari Turki atau Rum, kedatangannya ke Aceh adalah untuk meyelidiki tentang cara-cara pedagang asing diterima di Aceh. Ia bertemu dengan pedagang yang berasal dari Mekkah, pedagang ini juga merupakan utusan raja dari Mekkah dimana ia menawarkan bantuan militer kepada sultan.
Dengan relasi ideologi yang kuat inilah membuat para pedagang dari berbagai wilayah berdatangan ke pelabuhan Aceh Darussalam untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama kepada masyarakat yang ada di kerajaan Aceh Darussalam. Suasana seperti ini membuat para pedagang yang berasal dari Eropa merasa terbatasi aktivitasnya untuk melakukan misinya menyebarkan agama Khatolik, sebab para pedagang dan pendakwah Islam telah banyak masuk terpencil di pantai barat Sumatera.
Pelabuhan lain yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama adalah pelabuhan Barus. Sumber-sumber Arab menyebut barus dengan nama Fansur. Dalam kitab Ajaibul Hindi nama Fansur disebut sebanyak enam kali, dengan mensanding wilayah ini dengan Lamuri.
Kelihatannya dua wilayah ini memiliki kaitan yang sangat erat terutama dalam sektor perdagangan. Nama lain dari Barus adalah Barousai, wilayah ini terletak di pantai barat Sumatera dan sering dikunjungi oleh pedagang asing, terutama pedagang yang datang dari arah barat (India, Persia, dan Timur Tengah). Peneliti arkeologi menduga bahwa pelabuhan ini telah terkenal oleh saudagar asing sejak abad-1 Masehi. Banyak tinggalan budaya yang menunjukkan tentang asal para pedagang yang datang ke wilayah ini.
Penelitian arkeologi di Lobu Tua menunjukkan bahwa wilayah ini dihuni oleh masyarakat heterogen yang terdiri dari Islam, Hindu, Yahudi dan Kristen. Adanya pelayaran dan perdagangan dari berbagai daerah menciptakan adanya heterognitas di Pelabuhan Barus, tentu tidak bisa dielahkan adanya kompetitif dan saling merebut obyek dakwah antar agama yang dibawa oleh para pedagang.
Melihat sebaran dan kuantitas tinggalan arkeologinya, Islam menjadi masyarakat dominan di pelabuhan ini. Sebaran situs makam-makam Islam tertua dari batu yang dipahat, membuktikan bahwa barus merupakan daerah tertua yang ada di Nusantara. Di samping itu dua sumber lokal menceritakan islamisasi di Barus.
Penyebaran agama Hindu oleh para pelayar dibuktikan dengan ditemukannnya sebuah fragmen figurin kecil dari terakota, diluar konteks stratigrafis. Sebuah figurin yang diduga berasal dari India, ditemukan disitus bahrain, di area kota. Islam yang ditinggali abad ke-12 hingga ke-14 M ditemukannya figurin ini sangat berkaitan dengan kegiatan perdagangan.
Oleh karena itu, figurin ini sebagai bukti kehadiran anggota-anggota perkumpulan pedagang India di Barus pada abad ke-12 M. Figurin ini diidentifikasi sebagai Lokamata atau Parawesari, dewi pelindung Nanadesi. Bukti lain adanya aktifitas keagamaan Hindu adalah ditemukannya oleh G.J.J. Deutz pada tahun 1872 sebuah pecahan batu peninggalan zaman Hindu berupa prasasti yang dibaca oleh Nilakanti Sastri dari Universitas Madras. Prasasti ini berbahasa Sanksakerta yang berisi mengenai pemukiman koloni Tamil di Barus pada abad ke-11 M.
Keberadaan agama Katolik di pelabuhan Barus pertama kali disampaikan oleh J. Bekker Sj, bahwa agama Katolik sudah ada pada abd ke-7 M dan berakar di Sumatera Utara lalu menyebar ke daerah lain, termasuk Jawa. Dengan mempergunakan sumber-sumber islam Bakker menyakini bahwa agama Katolik datang dari India Selatan.
Menurutnya bahwa penginjil pertama Santo Thomas melakukab misi menyebar agama Katolik ke India Selatan, dan agama Katolik berkembang pesat di daerah ini, dan melalui pelayaran perdagangan menyebar ke Barus. Jen Baker mengutip Ilmuan Islam bernama Syaikh Abu Salih al-Armini, yang menulis eksiklopedi yang berjudul Tadhakkur fiha Akhbar min al-Kana’is wa’a-Adyar min Nawahin Misri w’al iqtha’aihu berisi daftar gereja dan pertapaan di Mesir dan wilayah Timur lain. Abu Salih menulis teori ini berlandaskan kepada kita Nazm aal-Jawhar karya Sa’id bin al-Batriq yang berasal dari tahun 910. Dalam kitab tersebut ditulis bahwa Fansur tempat asal kamper, terdapat sekelompok Krissten Nestorian dan sebuah gereja yang dipersembahkan kepada maria.*