Nadiem Makarim Berpeluang Diperiksa, Dugaan Korupsi Proyek “Laptop untuk Negeri”

Kamis, 29/05/2025 21:21 WIB
Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Kemendikbudristek belum tetapkan tersangka Kejagung fokus-cari barang bukti. Foto RMI

Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Kemendikbudristek belum tetapkan tersangka Kejagung fokus-cari barang bukti. Foto RMI

Padang, sumbarsatu.com — Di awal peluncurannya, proyek laptop pendidikan tampak menjanjikan. Sejak 2019, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menggelontorkan dana hampir Rp10 triliun demi mewujudkan mimpi digitalisasi sekolah—mengirim ribuan unit Chromebook ke ruang-ruang kelas di seluruh pelosok negeri. Namun, lima tahun kemudian, mimpi itu berubah menjadi mimpi buruk.

Pada Mei 2025, Kejaksaan Agung Republik Indonesia resmi membuka penyidikan kasus dugaan korupsi dalam proyek ambisius tersebut. Jejaknya bermula dari harga yang membumbung tinggi, spesifikasi yang meragukan, hingga dugaan permainan vendor dan monopoli lisensi sistem operasi. Kini, perangkat yang dahulu dibanggakan sebagai “jendela dunia digital” bagi pelajar Indonesia, menjadi barang bukti dalam pusaran perkara hukum.

Transformasi pendidikan digital yang digagas Kemendikbudristek pada 2019 mengandalkan perangkat Chromebook berbasis sistem operasi Chrome OS. Secara konsep, laptop ini diharapkan menunjang pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan mengurangi kesenjangan akses teknologi di sekolah-sekolah. Namun sejak awal, sejumlah pihak telah mengkhawatirkan efektivitas Chromebook di daerah dengan keterbatasan konektivitas internet.

“Proyek ini kami duga dikondisikan sejak awal. Ada indikasi pengaturan dalam spesifikasi hingga sistem operasinya,” kata Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Kamis (29/5/2025) seperti dikutip dari tempo.co.

Penelusuran dokumen pengadaan memperlihatkan harga satu unit Chromebook dipatok Rp9–10 juta. Padahal, harga pasar perangkat serupa hanya berkisar Rp3–5 juta. Spesifikasi pun dinilai tidak ideal untuk kebutuhan pendidikan menengah, apalagi di wilayah 3T.

Distribusi Tunggal, Celah Skandal                     

Masalah tak berhenti di harga. Indonesia Audit Watch (IAW) melaporkan indikasi kolusi dalam penunjukan vendor serta dugaan monopoli lisensi Chrome Education Upgrade (CEU), fitur wajib untuk mengoperasikan Chromebook dalam konteks pendidikan.

Indonesian Audit Watch mengungkap kejanggalan proyek senilai Rp17,42 triliun yang berlangsung sejak 2020 hingga 2024. IAW bahkan menyebut keterlibatan seorang perempuan sipil non-ASN yang diduga menjadi “perpanjangan tangan” Menteri Nadiem Makarim dalam proyek tersebut.

“Dia vehicle si Menteri. Sangat dominan dalam proses-proses pengadaan, padahal bukan ASN,” ungkap Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, dalam keterangannya. Sosok ini digambarkan berpostur kecil, berkulit putih, dan kerap mengatur rapat-rapat penting pengadaan meskipun berasal dari sektor swasta.

IAW menyebut surat permohonan pemeriksaan sudah dilayangkan ke Kejaksaan Agung sejak November 2022. Sejumlah temuan disorot, mulai dari indikasi penyimpangan kewenangan hingga potensi kerugian negara. Salah satu yang dikritisi adalah lonjakan harga satuan laptop yang mencapai Rp7–8,5 juta pada 2020, padahal harga pasaran saat itu hanya berkisar Rp6,3–6,6 juta.

Dalam pengadaan 2021, sebanyak 431.730 unit laptop dibeli dari enam produsen lokal yang terdaftar di e-Katalog LKPP: PT Zyrexindo Mandiri Buana; PT Tera Data Indonusa; PT Supertone; PT Evercoss Technology Indonesia; PT Bangga Teknologi Indonesia; dan Acer Manufacturing Indonesia.

IAW menduga keenam perusahaan itu bekerja sama dengan Google dalam produksi Chromebook dan menjalin jaringan erat dengan para pengguna barang. Proyek tersebut menggunakan skema konsolidasi pengadaan yang diatur Perpres No. 16 Tahun 2018 dan diperkuat Surat Edaran Kepala LKPP No. 9 Tahun 2022. Namun, IAW meragukan prinsip akuntabilitas dipenuhi.

“CEU hanya bisa dibeli dari satu distributor: PT Datascrip. Mereka menjadi pintu tunggal pengelolaan perangkat, meski hardware disuplai pihak lain,” ungkapnya.

Fitur CEU memungkinkan sekolah mengelola laptop secara terpusat. Tanpa lisensi ini, Chromebook hanya menjadi perangkat biasa tanpa fungsi pendidikan yang optimal. Artinya, meski vendor berbeda memenangkan pengadaan perangkat, mereka tetap bergantung pada PT Datascrip untuk lisensi—sebuah sistem tertutup yang menciptakan ketergantungan tunggal.

Penggeledahan, Saksi, dan Dua Mantan Staf Khusus

Pada pertengahan Mei 2025, drama hukum mencapai puncaknya. Kediaman dua mantan staf khusus Menteri Pendidikan Nadiem Makarim—berinisial FH dan JT—digeledah penyidik Jampidsus. Dari penggeledahan itu, disita laptop, ponsel, hard disk, flashdisk, dan 15 buku agenda. Keduanya, Fiona Handayani dan Jurist Tan, kini telah diperiksa sebagai saksi.

“Keduanya memiliki peran dalam proses proyek ini,” ujar Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Kamis (29/5/2025). “Namun hasil pemeriksaan belum dapat dipublikasikan untuk menjaga proses penyidikan.”

Hingga akhir Mei, Kejagung telah memeriksa setidaknya 28 orang saksi. Mereka berasal dari internal Kemendikbudristek, penyedia perangkat, hingga pihak yang diduga terlibat dalam pengambilan keputusan spesifikasi teknis.

Apa yang paling menyakitkan bagi publik bukan hanya nominal kerugian, tapi bagaimana keputusan yang menyangkut jutaan pelajar diambil tanpa mempertimbangkan realitas lapangan. Dokumen internal menunjukkan, pada 2018–2019, tim teknis telah menguji coba 1.000 unit Chromebook dan menyimpulkan bahwa perangkat ini tidak efektif di daerah dengan jaringan terbatas. Rekomendasinya: gunakan laptop berbasis Windows.

Anehnya, rekomendasi itu ditanggalkan. Sebagai gantinya, dibuat kajian baru yang justru menonjolkan keunggulan Chromebook. Penggantian spesifikasi ini kini disorot penyidik sebagai salah satu titik dugaan rekayasa.

Diamnya Sang Menteri

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan langsung dari mantan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim. Sementara itu, Kemendikdasmen menyatakan program pengadaan Chromebook telah dihentikan dan mendukung penuh proses hukum.

“Kami sudah melakukan evaluasi menyeluruh,” kata Sri Wahyuningsih, Kepala Biro Perencanaan Kemendikdasmen. Namun publik bertanya-tanya: siapa yang benar-benar bertanggung jawab?

Menurut pakar kebijakan publik dari UI, Dr. Ari Nurcahyo, masalah utamanya bukan semata pada markup harga, tapi pada ketertutupan informasi.

“Publik tidak tahu Chromebook seperti apa yang dibeli. Spek, vendor, lisensi—semua tertutup. Inilah pangkal masalahnya,” ujarnya.

Proyek digitalisasi yang diharapkan menjadi jalan pintas ke masa depan kini berubah menjadi pengingat keras bahwa teknologi tanpa integritas hanya akan menjadi alat manipulasi. Chromebook yang seharusnya menjadi jembatan menuju pendidikan modern, kini menjadi simbol kebobrokan tata kelola proyek negara.

Jika nanti pengadilan membuktikan adanya korupsi, publik berhak menuntut lebih dari sekadar pengembalian dana. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya anggaran, tapi masa depan anak-anak Indonesia.

Nadiem Berpeluang Diperiksa

Sementara itu, Kejaksaan Agung membuka kemungkinan memeriksa mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, dalam penyidikan dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis sistem operasi Chromebook di Kemendikbudristek pada periode 2019–2022.

“Tergantung kebutuhan penyidik, pihak mana pun bisa saja dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, di Jakarta, Selasa, 27 Mei 2025 dilansir tempo.co.

Meski masih dalam tahap penyidikan umum, Kejagung menyebut telah menemukan indikasi tindak pidana dalam proyek pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun, yang didanai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp6,3 triliun. Program ini merupakan bagian dari agenda digitalisasi pendidikan semasa Nadiem menjabat.

Kejaksaan menilai pengadaan Chromebook tidak sesuai dengan hasil uji coba 1.000 unit laptop serupa pada 2018–2019. Uji coba itu menyimpulkan Chromebook tidak efektif di banyak daerah karena keterbatasan infrastruktur internet.

Tim teknis bahkan merekomendasikan penggunaan laptop berbasis sistem operasi Windows. Namun, rekomendasi tersebut diabaikan. Hingga kini, penyidik masih menelusuri siapa yang berperan sebagai pengendali dalam dugaan rekayasa pengadaan tersebut. ssc/mn



BACA JUGA