Kajian Baru CME: Menimbang Ulang Peran Kebijakan Moneter di Luar Stabilitas Harga

Senin, 30/06/2025 11:18 WIB

Jakarta, sumbarsatu.com — Center for Market Education (CME) merilis kertas kebijakan terbaru berjudul “Beyond Price Stability: The Role of Monetary Policy for Sustainable Growth and Social Welfare”, Senin (30/6/2025). Kajian ini ditulis oleh Dr. Carmelo Ferlito, ekonom dan CEO CME yang juga mengajar di Universitas Prasetiya Mulya. 

Dalam kajian ini, Dr. Ferlito mengajak masyarakat dan para pembuat kebijakan untuk meninjau ulang paradigma lama dalam memahami peran suku bunga dan arah kebijakan moneter.

Ia mengkritik pendekatan konvensional yang selama ini hanya menekankan pada pengendalian inflasi, tanpa melihat dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Menurutnya, pandangan sempit tersebut justru memicu terbentuknya gelembung aset, kesalahan alokasi sumber daya, dan menciptakan ketidakstabilan sistemik—bahkan ketika inflasi tampak terkendali.

Kajian ini menawarkan perspektif alternatif yang berpijak pada warisan ekonomi klasik, pemikiran Mazhab Austria, serta pendekatan kompleksitas. Suku bunga, menurut Ferlito, tidak cukup dipahami hanya sebagai alat kebijakan, melainkan sebagai indikator penting dalam proses koordinasi antar pelaku ekonomi lintas waktu.

Ia membedakan tiga jenis suku bunga. Yang pertama adalah originary rate (OR), yaitu tingkat bunga yang mencerminkan preferensi masyarakat atas konsumsi saat ini atau masa depan. Yang kedua adalah market rate (MR), yaitu tingkat bunga yang terbentuk secara alami melalui interaksi permintaan dan penawaran modal. Yang ketiga adalah central bank rate (CBR), yaitu suku bunga yang ditentukan oleh bank sentral berdasarkan target kebijakan tertentu.

Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, menurut Ferlito, hanya mungkin terjadi ketika suku bunga pasar (MR) setara dengan OR, karena mencerminkan keputusan tabungan dan investasi yang murni.

"Dalam kerangka ini, kesejahteraan sosial tidak diukur semata oleh harga yang stabil, tetapi juga oleh keberlanjutan nilai mata uang dan pencapaian tingkat pekerjaan terbaik yang konsisten dengan struktur produksi yang ada," kata Ferlito.

Ferlito juga menyoroti tiga bentuk ketidakstabilan moneter yang sering diabaikan, yakni inflasi harga konsumen, ketidakstabilan nilai tukar, dan gelembung harga aset seperti lonjakan harga saham dan properti yang tidak ditopang oleh fundamental ekonomi.

Kajian ini menilai bahwa ketiga bentuk gejolak tersebut kerap dipicu oleh kombinasi suku bunga artifisial yang ditetapkan bank sentral, ekspansi kredit yang berlebihan, serta kebijakan fiskal yang terlalu agresif. Oleh karena itu, ia mengusulkan tiga arah reformasi.

Pertama, menghapus central bank rate dan mendorong pembentukan suku bunga secara alami oleh mekanisme pasar.

Kedua, menata ulang batasan kredit perbankan komersial dengan memasukkan pinjaman bank dalam pengukuran agregat moneter dan menyesuaikan perhitungan cadangan.

Ketiga, membatasi peran bank sentral dalam kerangka aturan tetap yang sederhana dan konsisten, alih-alih menerapkan kebijakan yang berubah-ubah.

Menurut Ferlito, reformasi ini akan mendorong terciptanya sistem kelembagaan yang tumbuh dari kebutuhan nyata masyarakat dan dunia usaha, bukan dari intervensi teknokratik yang serba top-down.

Ia menutup kajiannya dengan seruan untuk bersikap lebih rendah hati dalam mengelola ekonomi, dan memberi ruang bagi mekanisme pasar untuk berfungsi sebagaimana mestinya.

“Pertumbuhan yang sehat dan kesejahteraan yang bertahan lama tidak lahir dari kontrol yang berlebihan, tetapi dari koordinasi alami antar pelaku ekonomi,” tegasnya.

Dengan membebaskan kebijakan moneter dari intervensi tak menentu dan mengembalikannya pada prinsip dasar yang sederhana dan tahan uji, Indonesia diyakini dapat melangkah ke masa depan ekonomi yang lebih stabil, terbuka, dan manusiawi. ssc/mn



BACA JUGA