Kisah Tragis Meninggalnya Desi Erianti, Sistem Kesehatan Tak Berpihak pada Rakyat Miskin

PEGANG KARTU KIS DITOLAK IGD RSUD RASIDIN PADANG

Senin, 02/06/2025 12:52 WIB
Desi Erianti dibawa dengan pulang dengan becak motor setelah pihak IGD RSUD Rasidin Padang menyatakan menolak layanaan kegawatdarutan terhadap pasien ini pada tengah malam. Akhirnya, Desi Erianti meninggal dunia. Sistem Kesehatan tidak berpihak kepada rakyat miskin. Foto bentengsumbar

Desi Erianti dibawa dengan pulang dengan becak motor setelah pihak IGD RSUD Rasidin Padang menyatakan menolak layanaan kegawatdarutan terhadap pasien ini pada tengah malam. Akhirnya, Desi Erianti meninggal dunia. Sistem Kesehatan tidak berpihak kepada rakyat miskin. Foto bentengsumbar

Padang, sumbarsatu.com—Di tengah malam yang dingin, Desi Erianti, 48 tahun, warga Jalan Pilakuik, Kelurahan Gunung Sariak, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, dilarikan keluarganya ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr. Rasidin Padang. Dengan napas tersengal-sengal, ia berharap pertolongan cepat. Sayangnya, harapan itu kandas.

Meski membawa Kartu Indonesia Sehat (KIS), ia ditolak dengan alasan tidak masuk kategori gawat darurat. Tak punya cukup uang untuk layanan umum, keluarga hanya bisa membawa pulang Desi Erianti menggunakan becak motor. Beberapa jam kemudian, ia meninggal dunia setelah sempat dibawa ke RSU Siti Rahmah.

Peristiwa memilukan ini terjadi pada Sabtu dini hari (31/5.2025) pukul 00.15 WIB. Pihak RSUD dr. Rasidin Padang menilai kondisi Desi Erianti tidak masuk kategori gawat darurat. Karena tak punya biaya untuk layanan umum, keluarga memilih membawanya pulang dengan becak motor.

"Kami memilih RSUD Rasidin karena dekat dari rumah. Tapi dokter jaga bilang sesak napasnya tidak darurat, jadi diarahkan ke puskesmas saja esok pagi," ungkap Yurnani, keluarga Desi Erianti.

Namun, kondisi Desi Erianti semakin memburuk. Sekitar subuh, keluarga kembali membawa Desi ke RSU Siti Rahmah. Sayangnya, nyawanya tak tertolong. Desi mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit milik keluarga Wali Kota Padang Fadly Amran itu.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kakak kami sudah meninggal. Kami menyesalkan penolakan medis dari RSUD Rasidin," kata Yudi, adik almarhumah yang juga wartawan Harian Padang Ekspres.

Pihak RSUD dr. Rasidin Padang menyatakan bahwa mereka telah menangani Desi selama satu jam dan berdasarkan pemeriksaan, tidak ditemukan kondisi kegawatdaruratan. Oleh karena itu, pasien disarankan untuk kontrol ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau puskesmas keesokan harinya.

Direktur RSUD dr. Rasidin Padang, dr. Desy Susanty, M.Kes., menyampaikan duka cita atas meninggalnya Desi. Namun ia menjelaskan bahwa berdasarkan pemeriksaan dokter jaga, kondisi pasien tidak menunjukkan kegawatdaruratan.

"Dokter dan petugas sudah memeriksa sesuai prosedur. Tidak ditemukan tanda-tanda emergency. Maka diarahkan untuk kontrol ke FKTP atau puskesmas pagi harinya," ujar Desy Susanty.

Terhadap meninggalnya pasien ini, Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang, dr. Srikurnia Yati, menyampaikan belasungkawa atas kejadian ini dan menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap prosedur penanganan pasien di IGD, khususnya bagi pemegang KIS. Ia menekankan pentingnya pelayanan kesehatan yang responsif dan empatik terhadap masyarakat.

Sementara itu, terkait dengan kasus yang memilukan ini, DPRD Kota Padang memanggil Direktur RSUD dr. Rasidin dan Dinas Kesehatan untuk memberikan klarifikasi. Ketua Komisi IV DPRD Kota Padang menyatakan bahwa kejadian ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelayanan kesehatan di kota tersebut.

KIS Tak Menjamin Akses Penuh

Kartu Indonesia Sehat (KIS) adalah bagian dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memungkinkan warga miskin mendapatkan layanan kesehatan gratis, termasuk di IGD, asalkan dinyatakan dalam kondisi gawat darurat.

Namun kasus Desi Erianti memperlihatkan persoalan pada pelaksanaan teknis. Definisi "darurat" seringkali menjadi perdebatan. Di satu sisi, keluarga panik dan melihat gejala berat. Di sisi lain, dokter berpegang pada standar klinis.

Dalam Peraturan BPJS Kesehatan No. 3 Tahun 2023, kegawatdaruratan mencakup kondisi yang mengancam nyawa atau fungsi tubuh secara tiba-tiba. Sesak napas—yang bisa jadi gejala dari penyakit jantung, asma, atau COVID-19—kerap berada di wilayah abu-abu.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Kota Padang pada Maret 2024 mencapai 6,52%, setara dengan lebih dari 60.000 warga. Bagi mereka, KIS adalah satu-satunya akses ke layanan kesehatan. Namun, bila akses itu dibatasi oleh tafsir sempit soal kedaruratan, maka nyawa warga miskin terus menjadi taruhan. Kasus Desi bukan yang pertama. Tapi bila terus dibiarkan, bisa jadi bukan yang terakhir.

“Kami berharap pemerintah kota mengevaluasi sistem layanan IGD dan memperkuat empati dalam pelayanan. Karena kadang, yang dibutuhkan pasien bukan hanya diagnosa, tapi juga kepedulian,” tutup Yudi.

Kriteria Gawat Darurat Menurut BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan menetapkan bahwa peserta dapat langsung mendapatkan pelayanan di IGD tanpa rujukan jika mengalami kondisi gawat darurat, seperti gangguan pernapasan akut, penurunan kesadaran, atau nyeri dada hebat. Namun, penilaian akhir tetap berada di tangan dokter yang memeriksa.

Kasus Desi Erianti menyoroti perlunya evaluasi terhadap sistem pelayanan kesehatan, terutama dalam menentukan kriteria kegawatdaruratan. Diperlukan standar yang jelas dan pelatihan bagi tenaga medis untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan pelayanan yang tepat waktu dan sesuai kebutuhan.

Kasus Desi Erianti menambah daftar panjang keluhan masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan berbasis jaminan sosial. Dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, pasien dengan KIS berhak mendapatkan layanan di IGD tanpa biaya, asalkan masuk kategori emergency sesuai Peraturan BPJS Kesehatan No. 3 Tahun 2023.

Namun, definisi medis tentang “gawat darurat” sering kali berbeda dengan kondisi nyata yang dirasakan pasien dan keluarga. Ketika sesak napas tak dianggap darurat, dan akses ke layanan umum terkendala biaya, risiko nyawa melayang jadi nyata.

Menurut data Kementerian Kesehatan, 87% kunjungan pasien JKN ke IGD pada 2023 berakhir dengan rujukan atau penolakan karena tidak masuk kategori emergency. Evaluasi terhadap sistem triage atau seleksi pasien di IGD semakin mendesak, terutama di daerah dengan angka kemiskinan tinggi seperti Padang, yang pada Maret 2024 mencatat 6,52% penduduk miskin (BPS Sumbar).

Meninggalnya Desi Erianti memunculkan pertanyaan: jika sesak napas pada malam hari tidak dianggap gawat darurat, apakah sistem kesehatan kita masih berpihak pada rakyat kecil? ssc/mn



BACA JUGA