
Aie Angek, sumbarsatu.com —Di antara desau angin tipis di atas panggung yang tidak begitu luas dalam siraman cahaya lelampu warna-warni modernitas, suara parau Tetew Lala, kini berusia 78 tahun, menggema memecah malam. Suaranya bernada cemas. Cemas pada Mentawai.
"Tanah, hutan, dan air harus dijaga!" seru Tetew Lala, salah seorang sikerei (dukun tabib adat) masyarakat Mentawai ini dengan mata berapi-api. Tangan kanannya diangkat: “Semangat, mari bersemangat jaga budaya,” teriaknya.
Malam itu, Tetew Lala mengenakan atribut lengkap seorang sikerei. Di tubuhnya yang ber-titti (tato tradisional), tersimpan pengetahuan turun-temurun tentang keseimbangan alam dan manusia.
Tetew Lala menjadi sikerei di usia 30 tahun. Sejak itu, pria ini telah menjadi jembatan antara dunia nyata dan spiritual masyarakat adat Mentawai. "Tidak benar jika saya dianggap tidak hadir," katanya lantang, menunjuk titti di lengannya yang merupakan arsip hidup pengalaman ritual. "Orang bisa punya banyak baju, tapi hanya titti yang ikut mati."
Di balik kata-katanya tersimpan keprihatinan. "Kita harus bersemangat menjaga budaya," desahnya, "tapi saya khawatir kita kewalahan." Ia meneyebut hutan di Kepulauan Mentawi mulai terkikis. "Ini tanggung jawab besar kita semua merawatnya."
Malam itu, suara keprihatinan sikerei Tetew Lala ditumpahkannya di kaki Gunung Singgalang yang sejuk. Ia bersuara lirih tapi tegas. Kampungnya kini sudah terusik signifikan.
Tetew Lala mengakhiri pidatonya. "Mari kita lestarikan bersama kehidupan alam Kepulauan Mentawai," tuturnya sederhana.
Di usianya yang senja, semua orang terus berharap, Tetew Lala tetap tegak bagai pohon beringin, yang akarnya menghujam dalam di tanah Mentawai, dahannya melindungi warisan yang semakin rentan diterpa zaman.
Sikerei dalam kehidupan adat dan sosial masyarakat Kepulauan Mentawai adalah dukun atau tabib adat sekaligus penjaga kearifan lokal Mentawai. Sedangkan titti (tato tradisional) menandakan pengetahuan dan pengalaman spiritual sikerei.
"Orang bisa punya banyak baju, tapi tak ada satu pun yang ikut masuk kubur. Hanya titti yang akan ikut mati dan masuk kubur," ulang Tetew Lala.
Sebelumnya, gema Turuk Laggai ia bawakan di panggung yang sama. Tarian ritual itu penuh magis. Seisi gedung terdiam saat Tetew Lala mengibaskan dedauanan.
Adalah Sanggar Sanggar Sikambang Manih menghelat peristiwa budaya peluncuran film dokumenter dan buku fotografi berjudul Sikerei: Sang Penjaga Tarian Ritual Turuk Laggai sebagai arsip budaya dalam format modern, Senin malam (30/6/2025), di Rumah Budaya Fadli Zon, Aie Angek Cottage, Tanah Datar.
Acara peluncuran yang dipadati seniman, pejabat daerah, akademisi, budayawan, dan rombongan dari Kepulauan Mentawai, diharapkan menjadi momentum penting dalam upaya menyelamatkan jejak pengetahuan yang nyaris punah.
“Turuk Laggai bukan hanya tarian. Ia adalah doa yang bergerak. Ia bagian dari pengobatan dan komunikasi spiritual,” ujar Susas Rita Loravianti, Ketua Tim Peneliti yang juga sekaligus Ketua Sanggar Sikambang Manih.
“Belum ada film atau buku yang secara khusus mengarsipkan seorang sikerei. Maka kami ingin menjadikan karya ini sebagai jembatan antargenerasi,” ujar Susas Rita Loravianti.
Pekerjaan mahapenting ini didukung Dana Abadi Indonesiana-LPDP bagian dari program Kementerian Kebudayaan untuk mendokumentasikan pengetahuan maestro dan warisan budaya yang terancam punah.
"Salah satu pesan penting dalam dokumenter ini datang dari kenyataan yang mengkhawatirkan: jumlah Sikerei menurun drastis. Dulu, Sikerei adalah penyembuh utama. Kini, kita bisa ke dokter, tapi apakah kita siap kehilangan kearifan mereka?” tanya Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III, mewakili Menteri Kebudayaan RI dalam sambutannya.
Ia menekankan pentingnya regenerasi sikerei dan mendukung upaya komunitas seperti Sanggar Sikambang Manih. “Kita perlu tua-tua adat yang mau menurunkan ilmu. Kalau tidak, pengetahuan ini akan mati pelan-pelan.”
Wakil Wali Kota Padang Panjang, Alex Saputra, turut memberikan apresiasi. “Upaya pendokumentasian ini bukan hanya untuk Mentawai, tetapi juga untuk Indonesia. Semangat kolaborasi adalah kunci,” ujar Alex Suputra.
Bupati yang diwakili Sekda Kepulauan Mentawai, Martinus Dahlan, menyebutkan kerja penting yang dilakukan tim dari Sanggar Sikambang Manih dan ISI Padang Panjang ini, menjadikan kekayaan budaya dan adat masyarakat Kepulauan Mentawai terdokumentasikan secara baik.
“Saya mewakili Bupati Kepulauan Mentawai dan masyarakatnya, sangat mengapresiasi kerja yang dilakukan tim Ibu Lora dan kawan-kawan. Ini sangat berharga dan penting bagi Kepulauan Mentawai. Untuk tari Bujai Le' Kai agar diajarkan di sanggar-sanggar dan sekolah, akan kita coba koordinasikan dengan OPD terkait,” kata Martinus Dahlan,
Tari Bujai Le' Kai
Selain peluncuran buku foto dan film dokumenter, juga dipentaskan koreografi yang berangkat dan terinspirasi dari ritual upacara adat E’eruk Pulaggajat di Kepulauan Mentawai dengan judul Bujai Le' Kai (Mohon Perlindungan) yang diciptakan Susas Rita Loravianti lewat riset mendalam pada tahun 2024.
Penonton menyimak dalam hening. Sebab yang dipertontonkan bukan semata seni, melainkan kehidupan itu sendiri — kehidupan yang diwariskan dari tubuh ke tubuh, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Karya tari yang diciptakan koreografer Susas Rita Loravianti ini merupakan hasil penelitian atas upacara adat E’eruk Pulaggajat di Kepulauan Mentawai pada tahun 2024. Upacara ini berkaitan erat dengan konsep menjaga keseimbangan semesta—menyatukan harmoni antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta.
“Rangkaian upacara dimulai dari inisiatif seorang Sikerei (dukun dan pemimpin spiritual dalam budaya Mentawai) yang mengundang sesama Sikerei untuk mempersiapkan ritual. Mereka berkumpul di dalam uma menyatukan visi dan emosi melalui proses meruwat, yakni penentuan arah serta niat dari ritual yang akan dijalankan,” jelas koreografer penciptaan tari ini.
Ia lanjutkan, setelah itu, barulah prosesi upacara dilangsungkan, disertai nyanyian dan tarian sakral yang diiringi musik tradisional Mentawai. Seluruh prosesi ditujukan sebagai bentuk permohonan perlindungan dari roh-roh leluhur dan makhluk halus, agar terhindar dari mara bahaya yang dapat mengancam individu maupun komunitas.
“Dari hasil pengamatan dan pemahaman atas ritual tersebut, koreografer menciptakan karya tari berjudul Bujai Le' Kai yang berarti mohon perlindungan. Karya ini dibangun dalam pendekatan koreografi vernakular—sebuah gaya penciptaan tari yang berpijak pada desain budaya lokal dan disesuaikan dengan konteks sosial serta ekologis setempat. Dalam hal ini, kekayaan budaya Mentawai menjadi fondasi utama,” sebut Yusril, sutradara teater, yang juga dosen ISI Padang Panjang.
Penari dalam karya ini merekonstruksi gerak dan ekspresi yang biasa dilakukan oleh para Sikerei dalam upacara E’eruk Pulaggajat. Proses rekonstruksi dilakukan oleh penari yang bukan Sikerei, sehingga muncul perbedaan gaya tubuh dan karakter, namun nilai-nilai inti dari budaya Mentawai tetap dijaga dan diolah secara cermat.
Susas Rita Loravianti berharap tari Bujai Le' Kai sebagai representasi visual yang menyeluruh dari upacara E’eruk Pulaggajat diajarkan di sanggar-sanggar dan sekolah-sekolah di Kepulauan Mentawai.
“Tujuan diajarkan di sanggar dan sekolah itu agar jika ada yang ingin menyaksikan tetarian masyarakat Kepulauan Mentawai bisa menampilkan tari kreasi “Bujai Le' Kai ini. Sebab, tari Turuk Laggai tak bisa dihadirkan setiap saat, begitu juga dengan E’eruk Pulaggajat. Maka, tari Bujai Le' Kai bisa menjawab kebutuhan itu,” jelasnya,
Ia bukan sekadar pertunjukan, melainkan bentuk pewakilan artistik dari upacara adat yang tidak selalu bisa dipertontonkan secara langsung karena sakralitasnya,” terang Dede Pramayoza, dramaturg, yang juga penulis narasi buku yang diluncurkan malam itu.
“Dengan demikian, karya ini berfungsi sebagai jembatan antara praktik ritual dan pertunjukan kontemporer—mempertemukan pengalaman spiritual dengan pengalaman estetis dalam satu peristiwa budaya,” tambah Sahrul N, peneliti seni
Film dan Dokumentasi Sikerei
Film dokumenter berjudul Sikerei: Sang Penjaga Tarian Turuk Laggai yang disutradarai Andri Yandi dan buku foto ini merupakan bentuk pendokumentasian pengetahuan tradisional masyarakat Mentawai, yang tersimpan dalam entitas ritual yang disebut Turuk Laggai—sebuah upacara penyucian kampung (kampaung) yang menjadi warisan budaya sekaligus wujud hubungan sakral antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Buku ini lahir dari keyakinan bahwa Sikerei, sang maestro spiritual dari Kepulauan Mentawai, adalah museum hidup yang menyimpan arsip pengetahuan budaya Mentawai. Di dalam dirinya terjaga pemahaman mendalam tentang filosofi dan tata cara ritual Turuk Laggai—pengetahuan yang selama ini diwariskan secara lisan dan penuh penghormatan dari generasi ke generasi.
“Kami menyusuri kampung-kampung, bertemu langsung dengan Sikerei, dan mendokumentasikan seluruh proses penyelenggaraan Turuk Laggai. Salah satu momen paling penting dari perjalanan ini adalah saat kami berkesempatan menyaksikan langsung upacara Turuk Laggai yang dipimpin oleh Tetew Lala—Sikerei sepuh yang menggelar ritual ini sebagai ungkapan syukur atas kelahiran cucunya dan perbaikan uma miliknya,” terang Susas Rita Loravianti, Ketua Tim Riset.
Setiap foto dalam buku ini merupakan hasil dari penelusuran intensif dan pengamatan yang penuh penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal. Gambar-gambar tersebut tidak hanya merekam peristiwa, tetapi juga berusaha menangkap esensi dari ritual Turuk Laggai—hal-hal yang barangkali tidak tertangkap oleh mata biasa dan tidak sepenuhnya terungkap oleh kata-kata.
“Buku foto ini kami harapkan dapat menjadi jendela bagi para pembaca untuk menyelami kekayaan budaya Mentawai secara mendalam, serta menjadi sumber pengetahuan berharga bagi generasi mendatang,” terang Ivan Saputra, salah seorang fotografer.
Dengan pendekatan visual naratif, karya ini mencoba menghadirkan semangat dan pengetahuan yang terkandung dalam diri seorang Sikerei. Tujuannya adalah agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ritual Turuk Laggai dapat dikomunikasikan kepada publik yang lebih luas—bukan hanya sebagai dokumentasi, tetapi juga sebagai upaya memperkaya literatur dan khazanah budaya Indonesia.
Buku foto Sikerei: Sang Penjaga Tarian Turuk Laggai ini merupakan karya dari tiga fotografer luar biasa: Benny Kurniadi, Yuli Hendra, dan Ivan Saputra. Narasi penyerta ditulis dengan penuh ketelitian dan empati oleh Dede Pramayoza.
“Saya, sebagai pimpinan tim, menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas dedikasi mereka, serta kepada seluruh anggota tim yang telah memungkinkan proses kreatif ini berjalan dengan lancar,” tambah Susas Rita Loravianti.
Berikut tim lengkap kerja penerbitan buku fotografi dan produksi film dokumentar Sikerei: Sang Penjaga Tarian Turuk Laggai, adalah Susas Rita Loravianti (pimpinan produksi/ketua tim), Yusril (Dramaturg), Afrizal Harun (penulis naskah), Adri Yandi (sutradara), Dede Pramayoza (peneliti), Pandu Birowo (teater narator), Benny Kurniadi (fotografer), Yuli Hendra Multi Albar (fotografer), Ivan Saputra (fotografer), Emri (penata artistik), Ahmad Zaidi (sound engineer), Berry Prima (koleksi seni budaya), Muhammad Agil Ulya (pilot drone), Rifqy Fahrizi Rachman (videographer), dan Achamad Ghozali Idham (humas), Muttakin (seni tari). ssc/mn