Membaca Lagi Posisi Seni Pertunjukan di Ranah Lokal dan Global

SEMINAR SENI PERTUNJUKAN KABA FESTIVAL 2025

Rabu, 14/05/2025 21:43 WIB

Padang, sumbarsatu.com—Nan Jombang Dance Company dan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang selenggarakan Seminar Nasional Seni Pertunjukan pada Rabu, 14 Mei 2025, di Auditorium Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Padang (UNP) Air Tawar Padang. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari KABA Festival 2025 yangmerupakan program strategis Kementerian Kebudayaan didukung penuh Dana Indonesiana-LPDP.

Seminar dibagi menjadi 2 sesi. Pembahasan sesi 1 tentang “Menelisik Perubahan Sosial di Sumatera Barat Melalui Seni Pertunjukan”. Narasumbernya adalah Prof. Indrayuda, S.Pd., M.Pd., Ph.D. (dosen FBS UNP) ; Dr. Roza Muliati, S.S, M.Si (dosen ISI Padangpanjang), dan Armeynd Sufhasril (praktisi teater).

Pada sesi ini, narasumber membahas tentang ketegangan antara tradisi dan kontemporer. Pembahasan yang rutin muncul pada seminar budaya yang ada di Sumatera Barat. Prof. Indrayuda membahas diskursus antara tari tradisi dan kontemporer di Sumatera Barat.

“Pertunjukan tradisi mulai bergeser maknanya. Dulu warisan budaya. Kini jadi penanda status sosial ketika acara pernikahan dan acara resmi pemerintah,” ujarnya. 

Roza Muliati paparkan tentang Hoerijah Adam dan Gusmiati Suid. Karya mereka berbasis pada ketubuhan silek. Bagi Roza, itu bentuk perlawanan dari hegemoni kaum elite perkotaan.

“Tari Melayu awalnya diajarkan di sekolah milik Belanda. Sampai akhir 1960-an, tari itu sering ditampilkan di Minang dan dianggap sebagai tari Minang. Padahal bukan,” jelas Roza.

 Menurutnya, kedua perempuan itu berhasil mengangkat tradisi silek ke dalam tari dan diperkenalkan di panggung internasional. Sampai saat ini, silek menjadi identitas koreografer asal Minang. Sebut saja Ery Mefri, Boy G.Sakti, Hartati, Deslenda, Susasrita Loravianti, Rasmida, Ali Sukri, Kurniadi Ilham, dan lainnya. Seluruhnya memulai basis pengkaryaan dari gerak tubuh silek.

Pemateri Armeynd Sufhasril membaca peta perjalanan kekaryaan Ery Mefri. Ia menginterpretasikan 4 karya yaitu Sarikaik (2004-2007), Rantau Berbisik (2007), Sang Hawa (2010), Tarian Malam (2012)

“Keempatnya mempertahankan idiom gerak tradisi Minangkabau di tengah wacana seni global. Ini cara untuk merumuskan identitas baru. Tubuh tradisi Ery tidak hanya mewakili masa lalu, tapi bernegosiasi dengan masa kini,” jelas Armeynd.

Di sesi 2 temanya, “Posisi Seni Pertunjukan dalam Spektrum Perubahan Kebudayaan saat ini dan akan datang. Narasumbernya adalah Melati Suryodarmo dari Studio Plesungan-Solo, Kusen Alipah Hadi dari Yayasan Umar Kayam – Jogjakarta dan Dr. Yusril, S.Sn., M.Sn akademisi ISI Padang Panjang dari Komunitas Seni Hitam Putih – Padang Panjang.

“Seni pertunjukan hari ini berdiri di persimpangan: antara yang ditinggalkan dan yang akan datang. Antara yang dianggap sakral dan yang terus berubah. Ia bukan hanya cermin masyarakat, tetapi juga jendela yang membuka kemungkinan baru tentang menjadi manusia,” papar Melati pada pemaparannya yang berjudul Seni yang Tak Selesai: Tradisi, Ingatan dan Kebebasan.

Melati membaca bagaimana pergerakan kesenian dari setiap perodeisasi. Mulai masa kolonial, pasca kemerdekaan, Orde Baru dan pasca reformasi. Menurutnya ada 5 hal yang perlu dihidupkan agar seni pertunjukan bisa bernafas lebih lapang. Diantaranya kebebasan, ekonomi, pendidikan, kontemporer, dan kemandirian.

Sedangkan Yusril membahas tentang transformasi sosial: praktik seni pertunjukan dari ruang fisik ke ruang virtual. Sejak ada media sosial, ruang pertunjukan melebur ke dunia virtual; tanpa batas, jarak, dan waktu.

Ia juga melihat perubahan ini di soal isu yang diangkat. Tidak melulu karya pertunjukan berangkat dari tradisi. Ia melihat seniman muda hari ini berani mengangkat tema kontemporer: krisis lingkungan, urbanisasi, identitas gender, hingga distrupsi digital.

“Pada akhirnya, seni pertunjukan di Sumatera Barat tidak hanya bercerita tentang masa lalu, tetapi juga mengarsipkan masa kini dan membayangkan masa depan. Ia akan menjadi ruang refleksi, kritik budaya dan jembatan komunikasi lintas generasi, dan lintas ruang,” ujar Yusril.

Angga Mefri, Direktur Festival Nan Jombang Dance Company menyebutkan bahwa seni pertunjukan menjadi identitas masyarakat sekaligus cerminan dari kehidupan sosial. Seminar ini diharapkan dapat memberikan masukan dan kontribusi untuk pengembangan seni pertunjukan.

“Kerja sama dari Nan Jombang Dance Company merupakan wujud pengabdian dari Universitas Negeri Padang. Khususnya di bidang seni dan kebudayaan. Harapannya ini berdampak positif bagi masyarakat, secara khusus masyarakat seni,” ujar Prof. Dr. Ermanto, S.Pd., M.Hum, Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Padang (UNP).

Mia Fahmiati, dosen FBS UNP yang juga menjadi peserta dari kegiatan ini menyampaikan apresiasinya.

“Seminar hari ini menarik dan sangat bermanfaat. Saya mendapatkan banyak sharing pengalaman dan pengalaman dari para narasumber. Saya berharap para dosen dan mahasiswa FBS UNP bisa berkontribusi maksimal untuk pengembangan seni pertunjukan di Sumatera Barat,” ujar Mia.

Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan seniman, akademisi, peneliti seni budaya, anggota sanggar/komunitas, mahasiswa, dosen, pemerhati budaya, dan jurnalis yang ada di Sumatera Barat. ssc/like



BACA JUGA