
"Asok dari Tungku" dipentaskan di KABA Festival X Nan Maurak Alek di Gedung Manti Menuik Ladang Tari Nan Jombang, Jumat (25/4/2025). Koreografi karya Ery Mefri ini menarasikan kritik terhadap nirfungsi pemimpin Minangkabau
Laporan Angelique Maria Cuaca (jurnalis sumbarsatu)
EMPAT lekai berkepala plontos itu tampak gelisah. Tangannya menghantam tambua (tambur) sekuat tenaga, tak henti-henti. Suara tambua terdengar makin kencang, bersahut-sahutan dengan nada tak beraturan yang keluar dari kerongkongan mereka.
Perkusi yang terbuat dari rongga kayu dan kulit hewan itu mulai dibanting-banting ke lantai panggung. Seketika, panggung pertunjukan di Gedung Manti Menuik, Ladang Tari Nan Jombang, berubah jadi arena laga.
Napas mereka terdengar menderu, mukanya memerah. Kini, para lelaki itu mulai saling melempar tambua dengan penuh amarah. Tubuh mereka tampak menyala disirami lampu panggung yang berwarna merah. Seolah api sedang berkobar dalam dirinya masing-masing.
Di saat yang bersamaan, visual mapping di layar panggung menampakkan gambar rumah gadang yang perlahan mulai runtuh. Diikuti dengan petir yang menyambar dari balik awan gelap. Lelaki-lelaki itu berhenti sejenak. Mereka sadar bahwa rumah gadang itu ternyata telah roboh karena ulahnya.
Namun mereka sepertinya tampak tidak peduli. Tubuh keempat orang itu masih sirah (merah). Warnanya menyamai celana galembong yang mereka pakai. Suara itu mulai terdengar lagi, makin riuh rendah, melolong seperti gerombolan serigala yang hendak saling terkam.
Tambua yang mereka pegang kembali ditabuh bertalu-talu tanda perseteruan akan berlanjut. Semuanya memasang kuda-kuda silek, siap menghantam satu sama lain. Gerakan itu dilakukan berulang, artinya ketegangan belum usai.
Tak lama, para Bundo Kanduang (Angga Mefri dan Ririn Mefri) muncul sembari menggendong tambua. Mereka menggenakan pakaian merah. Para lelaki itu kembali terdiam. Angga berjalan ke arah tengah panggung dengan langkah pelan sembari melantunkan ratok yang menyayat hati.
Tubuhnya disirami cahaya biru dan suasana makin terasa pilu. Tubuh Angga bergerak lembut namun bertenaga. Kini tangannya menengadah ke langit. Wajah itu terlihat kuyu. Kedua alisnya bertaut.
Tubuh hawa itu tampak sedang berbicara tentang kesedihan dan kesakitan karena melihat rumah gadang yang telah hancur. Sekali lagi para lelaki itu tidak peduli. Sengketa tetap berlanjut. Salah satu lelaki mengulurkan tangan ke arah yang lainnya, tapi tak ada balasan. Tak ada musyawarah lagi di antara mereka.
Adegan tersebut adalah bagian klimaks dari alur cerita yang dibangun sekaligus akhir dari pertunjukan Asok dari Tungku, koreografer Ery Mefri yang ditampilkan Nan Jombang Dance Company pada Jumat 25 April 2025.
Kehancuran Minangkabau
Pertunjukan ini merupakan penampilan di malam pembuka dari KABA Festival X Nan Maurak Alek, yang digelar pada 25–28 April 2025 di Ladang Tari Nan Jombang, Kuranji, Padang.
“Ini yang terjadi jika tungku tigo sajarangan tidak lagi menjalankan perannya. Kehancuran datang menghampiri Minangkabau,” ujar Ery Mefri ketika diwawancarai oleh sumbarsatu, Jumat (25/4/2025) setelah pertunjukan.
Ery Mefri mengaku sedih melihat kondisi Minangkabau hari ini. Kasus pemerkosaan, pembulian, bahkan pembunuhan marak terjadi. “Siapa yang akan menyelesaikan? Ke mana kita hendak mengadu? Di mana tungku tigo sajarangan itu?” tegasnya.
Tungku tigo sajarangan adalah istilah kepemimpinan di Minangkabau, terdiri dari panghulu (ninik mamak/pemimpin adat), alim ulama (ulama), dan cadiak pandai (orang cerdik dan pandai).
Ketiga unsur ini saling berkaitan dan berperan penting dalam menjalankan pemerintahan dan norma sosial di Minang. Mereka juga mediator dan penengah dalam menyelesaikan konflik antarwarga nagari.
“Pepatah Minangkabau menyebut basilang kayu dalam tungku, mangko api ka hiduik. Artinya, ketika kayu bersilang dalam tungku maka api akan hidup. Jika kayu tidak bersilang (saling topang menopang), maka yang muncul cuma asok (asap). Hilanglah fungsi tungku yang menghasilkan api guna memasak kehidupan,” jelas maestro tari asal Indonesia ini.
Menurut Ery, jika nilai-nilai adat dan budaya hilang maka akan berdampak pada hubungan antarmanusia, alam dan pencipta. Nilai itu yang selama ini jadi pengikat ketiga hubungan tersebut. Kondisi makin mencemaskan ketika tungku tigo sajarangan yang menjadi penjaga nilai juga tidak lagi menjalankan perannya.
Refleksi ini diramu pendiri Nan Jombang Company itu menjadi karya “Asok dari Tungku”. Proses kekaryaan sebenarnya telah berlangsung sejak 6 tahun lalu. Namun tari ini pertama kali tampil di Festival Indonesia Bertutur, Nusa Dua Bali tahun lalu.
“Biaya produksi “Asok dari Tungku” cukup besar. Kebetulan tahun lalu disokong Indonesia Bertutur. Tahun 2025 oleh Dana Indonesiana Kementerian Kebudayaan. Hari ini adalah penampilan kedua Asok dari Tungku,” ujar Ery.
Sendi-sendi Minangkabau yang Goyah
Ery menggambarkan Minangkabau bisa berdiri kokoh karena peran bundo kanduang dan tungku tigo sajarangan. Pada menit awal, tiga penampil laki-laki duduk di atas tambua sembari meniup saluang (seruling).
Di tengahnya, bundo kanduang (Angga Mefri) menari dengan kain putih. Gerakannya halus namun bertenaga seperti gerakan silek (silat) pada randai. Di belakang mereka, tampak gambar rumah gadang megah selebar panggung yang dihasilkan dari ilusi optik proyektor.
Bunyi saluang melantun indah, menuntun ingatan setiap orang pada hamparan sawah yang ada di pedalaman Minangkabau. Suasana semakin syahdu ketika kucapi Minang (kecapi Minang) ikut dipetik. Tubuh para penonton serasa dibawa dalam landscape indah itu.
Bundo mendendangkan lagu:
Muluik jo hati, nan tadorong (ucapan dan ungkapan hati yang akan disampaikan)
Kinilah jangko disampaian (sekarang waktunya untuk disampaikan)
Janji nan mintak, ditabusi (semua janji harus ditepati)
Padoman jadi buah rasian (jika tidak, pedoman hanya akan jadi bunga mimpi)
“Bundo kanduang memiliki peran sentral di masyarakat Minangkabau. Selain pewaris dari harta pusaka, ia juga selalu mengingatkan agar tungku tigo sajarangan itu menjalankan tugasnya. Tapi kini bundo kanduang malah disakiti, sama sekali tidak didengar,” tambah Ery.
Ia berharap karya ini bisa membuka ruang kontemplasi bagi para penonton untuk kembali memaknai Minangkabau. Bagi Ery, selagi manusia masih hidup maka mereka punya kesempatan memperbaiki diri.
“Karya ini lahir sebagai pengingat agar tungku tigo sajarangan di Minangkabau menjalankan fungsinya lagi seperti dulu,” cerita lelaki kelahiran Saniang Baka, Solok ini.
Ery Mefri merupakan maestro tari yang selalu menghadirkan tokoh perempuan pada setiap karyanya. Hal itu adalah bentuk penghormatan kepada perempuan, terutama untuk ibunya. Karya “Asok dari Tungku” sama epik dengan puluhan karya Ery lainnya.
Apresiasi Penonton
Pertunjukan yang berdurasi kurang lebih 1 jam ini berhasil memukau penonton. Para penampil yakni Angga Mefri, Rio Mefri, Ririn Mefri, Hadi Gustian, Reynaldo, Andi Saputra, Irmun Krisman dan Eko Febrianto sukses mementaskan karya ini dengan baik. Tentu keberhasilan ini tak lepas dari kerja Ricco Ocir sebagai lighting designer, Indra Samiaji sebagai video mapping, dan Om Jack sebagai sound enginering.
Malam itu Gedung Manti Menuik padat. Para penonton juga berela diri berdiri dan terjepit di antara banyak orang yang tidak mendapat tempat duduk untuk melihat pertunjukan secara langsung. Di luar gedung, ada layar di Taman Ladang Nan Jombang yang menayangkan proses pementasan di dalam gedung. Di luar pun para penonton ramai memenuhi taman.
“Kami sudah memprediksi bahwa penonton akan membludak. Karenanya tim menyediakan layar besar di taman agar penonton yang tidak kebagian masuk bisa menonton dari luar. Bagi yang tidak sempat hadir, bisa menonton live streaming di akun Youtube Nan Jombang Festival,” ujar Angga Mefri, direktur festival Nan Maurak Alek.
Semenjak Jumat sorenya, warga sekitar Ladang Tari Nan Jombang mulai berkumpul di sekitar lokasi. Mereka menonton arak-arakan musik kolosal Gandang Tambua Tansa dari Nagari Sungai Batang, Agam, Kabupaten Agam.
Pada pukul 17.00, arak-arakan dimulai. Puluhan pemuda berpakaian adat warna hitam bernuansa emas dan oranye dengan semangat menabuh tambua (tambur/gendang) dan tansa. Mereka berjalan dari mengelilingi perkampungan untuk melewakan kepada warga bahwa Nan Maurak Alek sudah dimulai. Warga pun tampak keluar antusias menuju ke sumber suara. Ramai nian warga jadi saksi peristiwa budaya arak-arakan kolosal atraksi gandang tambua tansa yang pertama kali mereka saksikan di Balai Baru ini.
“Arak-arakan bentuk pemberitahuan kepada warga sekitar bahwa Nan Maurak Alek KABA Festival sudah dimulai dan silakan menikmatinya. Sebagian besar penonton yang datang malam ini adalah warga sekitar sini. Sebagian lagi dari jejaring penggiat seni” ujar Angga.
Bunda Femi (53 tahun), warga Kuranji, hadir bersama suaminya pada malam pembukaan. Ia menyebutkan bahwa sering hadir setiap gelaran yang diadakan Nan Jombang. Bahkan ketika hujan pun mereka tetap hadir.
“Pertunjukan malam ini bagus, mengingatkan kita tentang pentingnya peran tungku tigo sajarangan dan bundo kanduang di Minangkabau,” ujar Bunda Femi.
Ia dan suaminya menonton dari bangku taman karena Gedung Menti Menuik sudah penuh dengan penonton yang lebih dulu datang.
“Kami senang dengan kehadiran Nan Jombang di pemukiman warga. Warga antusias datang tiap ada acara. Harapannya Nan Jombang tetap menampilkan karya-karya seniman,” lanjutnya.
Pementasan Asok dari Tungku sebetulnya juga menjadi kritik nyaring bagi pemangku kebijakan di Sumatera Barat. Ketika Nan Jombang dan komunitas seni lainnya memilih membuat ruang kesenian di tengah pemukiman, tanda bahwa pemerintah daerah tidak mampu menyediakan gedung pertunjukan representatif.
Ketika pemerintah daerah menjadikan kesenian sebagai anak tiri, maka Gedung Taman Budaya Sumatera Barat akan tetap dibiarkan mangkrak dan jadi puing-puing. Karena itu, Pemerintah Sumatera Barat bisa juga diibaratkan seperti Asok dari Tungku, ada tapi tak lagi menjalankan perannya. ***