
OLEH Indra Utama (Koreografer dan Akademisi Seni)
KABA Festival Nan Jombang lahir dari sebuah perjalanan yang panjang. Lembaga ini wujud melalui proses penuh perjuangan yang secara konsisten dilakukan secara berkesinambungan hingga saat ini mencapai predikat gemilang. Secara resminya, KABA Festival hadir pada tahun 2014, tetapi jauh sebelum itu, ia mulai tumbuh dari sebuah peristiwa festival getir bernama Gelanggang Tari Sumatra pada tahun 1988. Dari peristiwa getir itu, kemudian berkembang menjadi Festival Padang Bagalanggang, dan seterusnya wujud menjadi KABA Festival.
Teman-teman yang ikut berpartisipasi di tiga festival tersebut, yaitu Gelanggang Tari Sumatra, Padang Bagalanggang, dan KABA Festival, baik yang terlibat langsung sebagai koreografer ataupun penulis (baca: akademisi dan wartawan) yang ikut membesarkan peristiwa tersebut sebahagiannya menuliskan pengalaman mereka dalam buku yang hari ini (Senin, 23 Juni 2025) dilounching. Kenyataan ini menjadikan buku yang diberi tajuk Retrospeksi: Gelanggang Tari Sumatera-Padang Bagalanggang-KABA Festival (1988-2025) menjadi sangat bermakna. Terasa lengkap untuk mengenang proses perjuangan yang dilalui terutama oleh Ery Mefri dengan Nan Jombang-nya yang menjadi pengasas tegaknya festival tari di Kota Padang sehingga mencapai level nasional dan bahkan internasional.
Kenyataan ini ditandai dengan partisipasi dari berbagai group kesenian yang datang dari dalam dan luar negeri untuk tampil di KABA Festival sehingga forum seni ini mencapai kegemilangannya. Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Nasrul Azwar dan Hermawan yang bertindak sebagai editor buku ini, menyatakan bahwa seni bukan hanya soal hasil, tetapi juga soal proses. Proses yang kerap melelahkan, menuntut konsistensi, dan tidak selalu mendapat sambutan hangat. Namun di dalamnya terkandung kegembiraan yang tulus, kepuasan yang lahir bukan hanya dari tepuk tangan penonton, tetapi dari keberhasilan menjaga bara semangat agar tetap menyala di tengah berbagai tantangan, dan membangun peluang serta kesempatan untuk mengabarkan karya cipta seni kepada dunia.
Untuk itulah mungkin buku ini diberi judul “Retrospeksi” yang berisikan peristiwa demi peristiwa festival tari di Sumatra Barat yang diasaskan oleh Ery Mefri dan Nan Jombang sehingga akhirnya wujud menjadi KABA Festival.
Hari ini saya diundang untuk menjadi narasumber pada acara peluncuran buku sekaligus bedah buku berjudul Retrospeksi: Gelanggang Tari Sumatera-Padang Bagalanggang-KABA Festival (1988-2025). Buku ini diterbitkan oleh Nan Jombang atas dukungan dana Indonesiana-LPDP, Kementrian Kebudayaan Republik Indonesia.
Jujur saja, setelah membaca buku yang ditulis oleh berbagai kalangan yang secara langsung terlibat di dalam peristiwa festival yang dimulai dari Gelanggang Tari Sumatra, terus menjadi Padang Bagalanggang, dan kini dikenal dengan nama KABA Festival itu, saya sungguh merasa kesulitan untuk membedah isi kandungannya.
Secara akademis, pekerjaan membedah buku sama halnya dengan membuat review sebuah bacaan dengan mengkaji, membahas, dan mendalami isi buku secara komprehensif dan kritis. Bagi pandangan saya, buku ini sudah tidak perlu dibedah lagi. Kita hanya perlu membacanya dan memahami isi kandungannya untuk seterusnya mengambil hikmah serta mengutip semangat untuk terus berproses sepertimana yang menjadi hashtag Nan Jombang yaitu #terusberproses sehingga festival bergengsi yang sudah diasaskan berdirinya oleh Ery Mefri dengan Nan Jombang-nya tetap bergema di Kota Padang.
Sebab sebenarnya, sesuai dengan tujuannya, semua tulisan yang disampaikan oleh para penulis di buku ini terasa sudah sangat memadai. Informasi yang diberikan pun sudah sangat lengkap. Semuanya memberikan inspirasi kepada generasi pelapis untuk bekerja lebih giat bagi meneruskan pencapaian yang sudah dibentangkan. Kenyataan ini menyebabkan hampir tidak ada lagi celah yang dapat dibedah untuk melengkapi isi buku ini.
Oleh karenanya, tanpa mengulas kembali kandungan isi buku ini, saya hanya mencoba memberikan sebuah refleksi sederhana saja dalam forum ini dengan harapan dapat memperkaya pemahaman kita untuk meneruskan perjuangan kehidupan tari di Sumatra Barat sehingga dapat mengalih pandang kegiatan tari di Indonesia dan dunia ke Kota Padang.
Sebuah festival seni dapat dimaknai sebagai sebuah perayaan kolektif yang dilakukan secara berkala untuk mengangkat nilai budaya melalui karya seni tertentu. Ianya tidak hanya menjadi sekedar pertunjukan, karena sebuah festival dapat menjadi ruang silaturahim yang mempertemukan gagasan, memperkuat identitas dan membangun komunikasi antara peserta festival serta menjadi jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa hadapan.
Apa yang dilakukan oleh Ery Mefri dan Nan Jombang yang membuat Festival Tari Sumatra, Padang Bagalanggang, dan KABA Festival di Sumatra Barat dengan konsep festival tari kontemporer berbasis tradisi, jelas telah membuka ruang kepada koreografer untuk mencipta karya di dalam memadukan kekayaan tari tradisional dengan semangat baru yang menghasilkan tidak hanya karya estetik, tetapi juga reflektif, menggugah dan penuh makna.
Tari tradisional adalah akar budaya yang mengandungi nilai-nilai filosofis, ritual dan sejarah. Ia lahir dari masyarakat, menyatu dengan alam persekitaran serta spiritualitas. Sementara tari kontemporer hadir sebagai respons terhadap dinamika zaman. Ia bebas, kritis dan ekspresif.
Tidak dapat dinafikan, bahwa Sumatra Gelanggang Tari, Padang Bagalanggang dan KABA Festival telah menjadi ruang interkultural yang mempertemukan seniman untuk bereksperimen melalui penciptaan karya-karya baru yang melampaui batas-batas konvensi yang segar namun berakar pada tradisional. Kenyataan ini telah membuka kesadaran baru terhadap pentingnya mengangkat isu-isu berkaitan perubahan iklim, ketimpangan sosial, pembabatan hutan, hak perempuan, warisan budaya dan lainnya yang kesemua itu menjadikan festival sebagai media untuk mengedukasi publik.
Banyak festival tari kontemporer dilaksanakan di Indonesia seperti yang dilaksanakan di Jakarta dan di berbagai daerah di Pulau Jawa. Biasanya peserta dari Sumatra Barat sangat antusias datang berpartisipasi menjadi peserta untuk mengisi festival tersebut dengan menampilkan karya-karyanya. Selalunya datang melalui perjuangan yang susah terutama dari segi penyediaan dana.
Koreografer Sumatra Barat menyadari bahwa penyertaan mereka di dalam ajang festival bukan hanya sebagai ajang pertunjukan semata, melainkan juga dapat menjadi ruang penting untuk pengembangan karir dan meningkatkan kualitas artistiknya. Selain itu, festival tari kontemporer juga menjadi bahagian dari usaha membangun jaringan, baik secara nasional dan internasional. Melalui forum diskusi, lokakarya yang sering dilaksanakan pada festival, para koreografer dapat terhubung dengan komunitas tari secara global.
Hal tersebut tentu dapat membuka peluang untuk melakukan kolaborasi lintas negara, pertukaran budaya serta berpartisipasi pada festival internasional lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyertaan koreografer Sumatra Barat pada berbagai festival di Indonesia menjadi batu loncatan untuk memperluas karir di ranah pertunjukan, pendidikan dan produksi seni di level nasional dan internasional.
Secara nyata, pelaksanaan festival tari kontemporer berbasis tradisional pada suatu daerah kebudayaan tertentu seperti yang dilakukan oleh Ery Mefri dengan Nan Jombang-nya ini sangat memberi dampak positif di dalam mendorong kemajuan kebudayaan daerah Sumatra Barat. Para koreografer yang berkarya menggunakan unsur-unsur tradisi seperti gerak, musik, kostum dan nilai-nilai tradisional di dalam karya tari kontemporernya yang dapat menciptakan ruang dinamis kepada budaya lokal untuk terus hidup dan berkembang sesuai perubahan zaman.
Hal tersebut akan membantu menjaga keberlangsungan nilai-nilai budaya lokal sekaligus memperkenalkannya kepada generasi muda dan orang ramai lainnya. Memandangkan hal sedemikian, sebenarnya, sudah selayaknya pemerintah Sumatra Barat dapat membuka ruang kreatif kepada para seniman dengan menyediakan fasilitas secukupnya seperti gedung pertunjukan, studio-studio untuk berolah seni, serta ruang kreatif lainnya bagi menampung kegelisahan kreativitas seniman di Sumatra Barat.
Penyelenggaraan KABA Festival, seperti yang sudah dijelaskan di atas ternyata tidak hanya berdampak secara internal, tetapi juga mampu mengangkat citra daerah menjadi pusat perhatian nasional dan internasional. Melalui ide kreatif Ery Mefri dan Nan Jombang yang dilandasi konsep yang kuat ini, KABA Festival telah menjadi magnet budaya yang mengundang perhatian publik luas, media, dan komunitas seni secara nasional dan internasional, sehingga saat ini dapat mengalih pandang menjadi pusat kegiatan tari kontemporer di Kota Padang.
Kota Padang, pastinya mendapat manfaat besar dengan adanya KABA Festival. Cuma saja, kembali kepada persoalan bedah buku tadi, bilamana masih ingin disebutkan juga sebuah kritik ringan, mungkin perlu disediakan satu bab lagi untuk menuliskan harapan ke depan yang memprovokasi para koreografer muda Sumatra Barat untuk lebih bergiat tampil di ajang festival yang lebih luas.
KABA Festival Nan Jombang tentu dapat menjadi forum uji nyali untuk merambah ke dunia yang penuh tantangan ini. Sebab, setelah diamati secara seksama, sampai saat ini belum nampak muncul koreografer muda Sumatra Barat sesudah generasi Ery Mefri yang berkiprah di level nasional dan internasional.