Luka Kolektif di Katapiang: Respons atas Batalnya Pekan Kebudayaan Daerah Padang Pariaman 2025

Minggu, 06/07/2025 19:30 WIB
-

-

OLEH Mahatma Muhammad (Seniman)

TEPAT lima hari sebelum gelaran yang dinanti-nantikan oleh segenap pelaku budaya di Padang Pariaman, kabar pahit itu datang. Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) pertama, yang sejak Februari 2025 dirancang sebagai etalase kebesaran budaya kabupaten ini, tiba-tiba dibatalkan begitu saja oleh Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman. Tanpa forum resmi. Tanpa penjelasan yang menghormati akal sehat. Tanpa permintaan maaf yang sepadan dengan kekecewaan yang ditinggalkan.

Saya menulis ini bukan sebagai orang yang terlibat langsung dalam gelaran tersebut, tetapi sebagai warga yang sedari awal ingin turut menjadi penyaksi semangat dari beragam bentuk ekspresi para kawan di puluhan sanggar yang direncanakan tampil di Nagari Katapiang, Batang Anai, 10–12 Juli 2025.

Saya tidak sedang meratapi. Saya hanya merasa perlu menyampaikan dengan lantang: pembatalan ini adalah bentuk ketidakadilan yang telanjang, kealpaan institusional yang serius, dan kekerasan simbolik terhadap martabat para pelaku budaya.

Pemerintah kabupaten seharusnya tahu: di Padang Pariaman ini, budaya bukan milik museum. Budaya hidup secara kolektif di nagari-nagari, di laga-laga, di suara tambua tasa, di irama indang dan katumbuak, di halaman surau, di suara bersyair, dan di langkah silek ulu ambek yang diwariskan dan dikembangkan lintas generasi.

PKD yang dicanangkan sebagai agenda tahunan itu mestinya menjadi ruang perayaan semua itu. Sebagaimana tema yang mereka angkat: Baghalek Gadang—kembali ke akar, merayakan yang berserak, dan membangun kebanggaan bersama. Namun yang terjadi justru sebaliknya: pemerintah daerah sendiri pula yang membatalkannya secara sepihak.

Selama dua setengah bulan, lebih dari 20 sanggar dari 17 kecamatan menyiapkan diri. Mereka membayar ongkos latihan dengan waktu dari keluarga, pekerjaan, dan kelelahan yang tak selalu dihargai. Pelaku budaya dari berbagai sanggar dan sasaran telah hafal urutan beragam ekspresi—silek, tari, musik, dan syair. Tak sedikit yang membagikan proses latihan secara mandiri di media sosial. Saya sempat mengunjungi satu dua proses latihan kawan-kawan ini—semangat mereka sungguh menyala.

Sebagian peserta sudah menjahit kostum, menyewa properti, membuat konten publikasi, dan menyusun jadwal pertunjukan. Tapi semua kerja itu kandas seketika. Seolah proses yang mereka jalani tak pernah ada.

Pembatalan yang Tidak Bermartabat

Tentang alasan pembatalan, kami hanya mendengar kabar burung. Ada yang bilang soal efisiensi anggaran. Ada pula yang menyebut konflik antarpihak di internal Pemkab. Ada juga desas-desus soal “rebutan panggung”. Namun, tidak satu pun informasi disampaikan secara terang dan resmi ke para sanggar.

Yang pasti adalah: para pelaku budaya kembali menjadi korban inkonsistensi dan ketidakmampuan birokrasi menghormati kerja kebudayaan. Mereka diajak merayakan, dilibatkan dari awal, diminta hadir mewakili nagari, tetapi di detik terakhir justru ditelantarkan. Minyak habis, samba taserak! Ini bukan lagi soal teknis. Ini soal prinsip!

Pemerintah boleh tidak punya anggaran, boleh ada konflik internal, bahkan boleh gonta-ganti pejabat. Tapi mereka tidak boleh mempermainkan semangat masyarakat! Batalnya kegiatan ini adalah kegagalan moral dan administratif yang mencederai ekosistem budaya yang telah bekerja dengan penuh ketulusan.

Ini mempermalukan maestro budaya yang karyanya diminta tampil. Ini mengecewakan tokoh adat, pemain salawaik dulang, penari, pemuda-pemudi yang belajar bacarito dan pasambahan, anak-anak yang berlatih silek seusai sekolah, ibu-ibu yang memasak untuk lomba mamasak baga, seniman lukis yang menyiapkan pameran. Semua ini bukan demi hadiah, tetapi demi kehormatan dan kerja bersama. Bahkan Wali Nagari dan niniak mamak yang telah bersusah payah menyiapkan lokasi pun ikut dipermalukan.

Yang paling fatal adalah ketiadaan penghargaan dan komunikasi yang layak. Tidak ada surat resmi pembatalan. Tidak ada forum terbuka. Tidak ada penjelasan yang menunjukkan bahwa pelaku budaya layak dihargai. Apakah begini cara pemerintah memperlakukan pelaku budayanya?

Kebudayaan, kata mereka sendiri dalam rilis berita dan kutipan UU Pemajuan Kebudayaan, adalah tentang perlindungan, pengembangan, pembinaan, dan pemanfaatan. Tapi ketika pelakunya ditelantarkan begitu saja, mana perlindungan itu? Mana penghargaan terhadap semangat dan tenaga yang telah diberikan?

Pemangku kebijakan tampaknya lupa: kebudayaan tidak dibangun dari kebijakan, tapi dari komitmen. Bukan dari pidato, tapi dari konsistensi. Bukan dari jargon, tapi dari penghargaan konkret terhadap mereka yang menjaga nyala tradisi.

Catatan untuk Sejarah

Baiklah, saya sudahi saja tulisan ini. Saya memang tidak punya kewenangan administratif. Tapi saya ingin menulis sebagai catatan. Dan dalam catatan ini, saya dan para pelaku budaya akan terus mengingat bahwa pernah satu kali, pada Juli 2025, pemerintah daerah membatalkan semarak budaya masyarakatnya sendiri tanpa alasan yang bermartabat.

Ketika semangat telah menyala, mereka datang dengan ember dan memadamkannya diam-diam.

Saya tidak kecewa karena acara batal. Saya kecewa karena cara membatalkannya menunjukkan bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh menghargai kerja budaya.

Dan bila pemerintah masih berpikir bahwa budaya hanyalah soal panggung, bukan soal martabat dan harga diri, maka sejarah akan mencatat: pernah ada sebuah kabupaten yang memadamkan nyala warisannya sendiri. Ooo, Padang Pariaman... ingatlah ini baik-baik. []  



BACA JUGA