korea jambatan
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Rumputan hijau terawat menghampar di alun-alun kota yang terletak di sudut pertigaan jalan utama. Di seberangnya menjulang gedung pertokoan dan mal. Di City Hall, nama tempat itu, warga Seoul menikmati pertunjukan musik, pameran dagang, nonton bareng, hingga berdemontrasi untuk menurunkan presiden yang korup.
Hanya lima ratus meter ke arah timur City Hall, terdapat sebuah patung es krim raksasa warna kuning-hijau-biru yang melancip, dengan ruang terbuka berlantai semen yang rapi di bagian tapaknya. Tapaknya itu sesungguhnya adalah sebuah jembatan kecil, tanpa ada tiang maupun pembatas di kiri-kanannya, layaknya jembatan biasa. Begitu kecilnya jembatan itu, tak banyak orang yang menyadari bahwa mereka sedang berada di atas jembatan saat berdiri di sana.
Namun jika Anda ingin memastikan, ayunkanlah langkah sejauh lima puluh meter ke arah selatan. Persis di bawah jalan itu, Anda akan bertemu dengan sebuah air terjun mini. Sumber airnya berasal dari sebuah sungai besar yang disalurkan melalui terowongan bawah tanah. Air mancur itu adalah hulu sungai kecil yang mengalir sepuluh kilometer membelah wilayah pertokoan dan perkantoran di tengah kota.
Saya mengunjungi sungai kecil itu pertama kali pada musim semi 2018. Dan selalu menyinggahi tempat itu setiap kali saya menuju museum atau toko buku Kyobo yang tak jauh dari sana.
Menuju pinggir sungai, saya turun melewati tangga semen berpagar besi. Kedua sisi sungai setinggi tiga meter di dinding dengan batu alam yang disusun rapi. Sepanjang bantaran sungai terdapat pedestrian untuk berjalan kaki, dengan bahan semen dan batu alam kecil yang ditata menjadi ornament berbentuk bulat. Batu alam yang lebih besar disusun di pinggir sungai, mengikuti kontur sungai secara alamiah. Di antara bebatuan itu tumbuh rumput jenis alang alang, teki dan dan gulma lainnya. Di arah ke muara, terlihat semak yang lebih tinggi dan rapat, beberapa pepohonan rindang, serta tiga ekor bangau menyusuri semak untuk mencari makan.
Saya menyeberang melalui susunan batu ukuran besar dari semen yang ditata tak terlalu lebar agar orang bisa melangkah di atasnya. Sungai itu tidak terlalu dalam. Bagian yang terdalam hanya setinggi dada orang dewasa. Sehingga kita bisa menyaksikan ikan-ikan berwarna kuning, merah, hitam dengan ukuran sebesar lengan berenang mencari lumut di antara bebatuan.
Namun demikian, tak ada orang yang mencebur untuk menangkap ikan, maupun mandi di sana. Pengunjung lebih suka duduk di pinggir sungai melepas penat, bercengkerama bersama keluarga dan kekasih. Kadang menjatuhkan kaki ke sungai menikmati arus sungai yang bergerak lambat.
Cheonggyecheon, nama tempat itu, bukanlah sungai besar. Lebarnya sepuluh hingga lima belas meter, sedikit lebih besar dari selokan di tempat kita. (ivan adilla)