Pengunjung sedang mendengarkan keterangan tentang Islam dan masjid.
REDAKSI
Tulisan “Haji Korea Kembali ke Negeri K-Pop” yang diturunkan pada Minggu 7 April 2024 ini merupakan edisi terakhir dari “HAJI KOREA: Dari Negeri K-Pop ke Tanah Para Nabi” yang dihadirkan sumbarsatu secara regular setiap hari Jumat dan Minggu sejak diterbitkan pertama kali Minggu 7 Januari 2024 lalu. Artinya sudah empat bulan catatan perjalanan dan pengalaman spiritual Haji Ivan Adilla dalam melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah kita baca dan nikmati.
Menurut penulisnya, perjalanan haji ini bukan sekadar pengalaman berhaji semata tetapi sesungguhnya merupakan catatan personal seorang Muslim setengah parewa yang melaksanakan petualangan keagamaan di negeri minoritas Muslim bernama Korea Selatan hingga ke Tanah Para Nabi.
Kita tunggu cacatan religiositas ini hadir dalam wujud buku. Terima kasih kesetiaan pembaca mengikuti kisah yang bergizi ini.
____________________________________________________________________________________________
SAMPAILAH saya pada hari terakhir di Tanah Para Nabi. Esok hari kami akan meninggalkan Mekah. Sejak sore, seluruh jamaah sibuk mengepak barang masing-masing. Sebagian anggota rombongan kami akan langsung pulang ke Indonesia, disebabkan kontrak kerja mereka telah berakhir. Ada juga yang pulang untuk berlibur menghabiskan cuti tahunan. Tiket untuk penerbangan ke Indonesia telah dibeli sejak dari Korea, jadi mereka tinggal menunggu jadwal untuk berangkat. Saya dan jamaah lainnya akan kembali ke Korea untuk melanjutkan tugas kami masing-masing.
Rombongan kami berangkat menuju Jeddah dengan bus. Beberapa dari sopir bus itu orang Indonesia, yang telah lama bekerja dan tinggal di Saudi Arabia. Salah seorang di antara mereka mengaku berasal dari Garut. Saya dengar dia berbahasa Sunda dengan Jamil, jamaah asal Sukabumi, Jawa Barat.
Di perjalanan kami berhenti untuk istirahat makan dan salat di sebuah rest-area. Menjelang turun, sopir bus minta uang tambahan karena ia harus menunggu kami. Rupanya menunggu penumpang yang istirahat untuk makan dan salat tidak dianggap sebagai bagian dari tugas sopir. Maka pimpinan rombongan mengajak kami berunding. Hasil rundingannya, kami sepakat memberikan uang tambahan untuk supir. Hmmm, ada-ada saja.
Pemalakan oleh supir bus terhadap jamaah haji sudah sering saya dengar. Biasanya dilakukan oleh sopir asal Afrika, yang sengaja membelokkan kendaraan ke arah yang salah, membawa penumpang berputar-putar, setelah itu minta uang tambahan. Selama di Mekah dan Madinah kami tak pernah dipalak oleh supir bus maupun taksi. Padahal anggota rombongan kami naik bus atau taksi ke berbagai tempat dengan supir asal Afrika. Ironisnya, justru menjelang pulang kami dipalak oleh supir asal negeri sendiri. Sungguh takdir malang yang aneh!
Menjelang sampai di bandara, kami singgah ke sebuah tempat untuk membeli air zamzam. Masing-masing jamaah hanya diizinkan membeli maksimal dua galon air Zamzam yang masing-masingnya berisi lima liter. Dengan menenteng air Zamzam di tangan, saya kembali ke bus yang membawa rombongan kami menuju bandara. Esok paginya kami sampai di bandara Incheon, Seoul.
Di Indonesia, jamaah haji yang baru pulang akan disambut dengan meriah. Sanak saudara akan mencarter kendaraan dan berbondong-bondong menjemput keluarga mereka ke bandara. Begitu sampai di kampung, kita akan disambut dengan kenduri syukuran dan doa selamat karena telah menunaikan ibadah paripurna bagi seorang muslim. Orang memanggil kita dengan Pak Haji, bukan lagi Buyung, Badu, atau Sutan. Gelar Haji itu kadang begitu sakralnya, sehingga sang pemilik bisa marah besar jika kita lupa mencantumkan gelar haji itu di depan namanya. Tak jarang juga disertai omelan “Emang mudah dapat gelar haji itu? Butuh duit banyak dan perjuangan berat, tau…!”
Sepanjang hari, topi putih kecil melekat di kepala sebagai pertanda sudah melaksanakan ibadah haji. Kalau ada acara kenduri dan peringatan keagamaan, Pak Haji tak boleh lupa diundang. Diberi tempat khusus sebagai warga kehormatan. Pada masa lalu, orang yang pulang haji akan mengenakan jubah dan sorban saat salat Idulfitri.
“Haji-haji berpakaian Arab, beserban besar dan jubah halus aneka warna, seperti said-said baru datang dari Makkah. Di antara semuanya, serban ayah yang terbesar”, tulis Muhammad Radjab (2019:180).
Jangan heran, sejahil-jahilnya manusia, begitu pulang haji ia akan berubah. Seperti yang dialami Rosihan Anwar, jurnalis dan sastrawan. Belasan tahun tak pernah salat dan puasa, sepulang haji ia malah jadi alim. Gelar Haji selalu dicantumkan di awal namanya, untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia telah tobat. Sistem dan nilai dalam masyarakat kita membuat Pak Haji jadi mawas diri.
Keadaannya dengan jamaah haji yang balik ke Korea. Begitu sampai di Korea, saya disambut ujung musim panas. Penduduk Korea sedang bersiap menyambut Lebaran Chuseok, atau perayaan Imlek, yang jatuh di awal musim gugur. Lampion kertas mulai dipasang di berbagai ruas jalan.
Hari raya Chuesok layaknya lebaran di Indonesia. Perantau dari kota besar akan mudik ke kampung halaman selama beberapa hari. Berkumpul dengan keluarga besar, berziarah ke kuburan keluarga, dan tentu saja makan bersama. Pemerintah memberikan libur antara tiga sampai lima hari untuk merayakan hari penting itu.
Hawa musim panas masih tersisa. Orang lebih suka berada di luar rumah pada sore hari untuk berolah raga atau berjalan-jalan santai bersama binatang piaraan mereka. Binatang piaraan paling favorit adalah anjing, dengan berbagai jenisnya. Di taman-taman kota, pada sore hari kita akan melihat wanita muda lalu-lalang sambil memegang tali anjing yang berwarna-warni.
Anjing piaraan itu diberi baju tipis dengan warna kuning, biru, merah hingga lembayung yang menutupi sebagian badannya. Kepala binatang kecil itu dihiasi pita merah, kuning atau putih. Kakinya yang kecil bergerak lincah dengan langkah pendek yang cepat, sementara lidahnya dijulur-julurkan sepanjang jalan. Bulu anjing yang halus-tebal itu selalu rapi dan bersih karena secara rutin dirawat di salon khusus untuk binatang piaraan. Bulu-bulu yang lembut itu berkibar ditiup angin sore yang sepoi. Sementara tuannya, memakai topi tipis-lebar warna terang; hijau dan biru muda, cokelat susu hingga abu-abu.
Wanita pemilik binatang piaraan itu dengan setia mengikuti dan mengawasi anjing-anjing yang berlarian di taman. Mereka memakai baju pendek tanpa lengan. Model baju atasan itu merendah di bagian punggung atau dada. Model demikian bukan sengaja untuk menunjukkan kulit punggung atau belahan dada yang putih mulus. Tapi semata-mata untuk mengurangi kegerahan akibat hawa panas. Pergelangan kaki mereka dihiasi gelang kecil, yang berkilau ditimpa cahaya senja. Tentu saja kaki tuannya itu mulus, tidak berbulu seperti piaraannya
Celana favorit musim panas adalah jeans butut-ketat sebatas pangkal paha. Seperti yang sering digunakan Lisa Blackpink dalam berbagai video klipnya. Celana jeans super-pendek itu dipakai ke mana-mana pada musim panas. Saat bermain di mal, jalan sore di taman, hingga ke kampus untuk kuliah.
“Musim panas, Bapak! Gerah,” jawab seorang mahasiswi ketika ditanya kenapa mereka senang memakai model celana demikian.
Celana jeans belel itu, tak lebih tak kurang, sama persis bentuknya dengan celana yang biasa dipakai orang kampung saya saat ke sawah, mencuci mobil, atau memancing di danau. Lazim juga digunakan sebagai kain basahan, penutup aurat saat mandi di sungai atau pancuran.
Sesungguhnya, celana itu adalah celana lama yang sudah robek karena bertahun-tahun dipakai. Nilainya, bagi masyarakat kampung kami, sedikit di atas pakaian bekas. Sementara di Korea, jeans belel seperti itu dipajang di etalase toko pakaian untuk menyambut musim panas. Berapa harganya?
“Tidak mahal kok, Pak. Cuma 10.000 KW,” jawab mahasiswa saya. Kalau dirupiahkan, kira-kira seratus tiga puluh ribu rupiah. Yang bermerek harganya bisa lebih mahal. Antara dua ratus hingga empat ratus ribu. Sementara di kampung saya di pedalaman, diberi gratis saja orang masih pikir-pikir untuk menerimanya.
Celana pendek dengan robekan berumbai-rumbai diujungnya itu, dengan leluasa memperlihatkan kulit mulus paha pemakainya yang kuning gading. Bila pemakainya berjalan, dengan baju dimasukkan ke dalam pinggang celana, gumpalan daging pantat mereka yang gempal-padat itu akan bergerak bagai gelombang, bergoyang-goyang menggoda indra mata hingga organ di balik celana.
Sungguh malang. Justru sepulang dari haji berbagai godaan terasa jadi lebih indah dan menarik. Bagaimana mungkin seorang haji setengah parewa seperti saya bisa menjaga diri di tengah metropolitan yang dihiasi syahwat duniawi ini? Tuhan, kenapa saya kembali dihadapkan pada godaan penuh dosa ini?
Saat haji, kami diajarkan untuk banyak-banyak berdoa. Menyaksikan pemandangan musim panas yang meriah dengan keterbukaan yang mempesona itu, saya hanya bisa mengurut dada sambil berdoa; ‘Tuhan, kuatkan hati hamba-Mu di tengah godaan yang sungguh memikat ini. Amin’. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)