Jamaah setelah lakukan tahallul di Mina. Tahallul disimbolkan dengan mencukur minimal 3 helai rambut
UNTUNG saja kami tak lama menempati penginapan di bukit karang itu. Hanya dua malam di sana, kami menuju Mina dalam persiapan menuju Arafah. Di Mina, saya dan teman-teman menginap di maktab sembilan puluh enam. Kata Ustadz Syaukani, pembimbing kami yang menetap di Mekah, maktab itu khusus untuk jamaah yang diberangkatkan oleh biro perjalanan swasta. Mereka umumnya berasal dari negara non-muslim, yang tidak difasilitasi negaranya untuk naik haji.
Sebagian besar tetangga kami adalah jamaah asal Asia Tenggara. Di tenda depan, menginap jamaah perempuan asal Thailand. Di sampingnya, jamaah dari Kamboja. Agak di belakang, tempat menginap jamaah dari Vietnam dan Laos. Di sebelah kiri, jamaah dari Uzbekhistan. Sementara jamaah dari Jepang dan Hongkong terpisah beberapa blok lebih ke belakang.
Masjid yang agak besar terletak jauh dari maktab kami. Jadinya banyak penghuni lebih suka salat berjamaah di tenda masing-masing. Begitu suara azan dikumandangkan dari pengeras suara di masjid, jamaah di masing-masing tenda bersiap untuk salat berjamaah dengan membentangkan tikar di tenda masing-masing. Pada malam hari, suara imam dari masing-masing tenda jelas terdengar. Beberapa tenda bahkan menggunakan pengeras suara. Irama, nada dan tempo bacaan salat dari setiap tenda ternyata berbeda-beda.
Usai salat Magrib, saya berjalan di lorong sekitar maktab. Dari tiap tenda terdengar suara penceramah agama berdakwah dalam bahasa masing-masing. Penceramah Uzbekhistan di tenda bagian kiri, suaranya keras dan nada bicaranya tinggi, penuh semangat. Dari tenda di bagian depan terdengar suara penceramah dalam bahasa Thai, yang lemah-lembut dan irama yang mendayu.
Suara penceramah dalam bahasa Vietnam terdengar unik di telinga saya. Nadanya melompat-lompat dan meliuk. Mungkin karena bahasa Vietnam memang memiliki tangga nada lebih beragam untuk membedakan arti kata. Agak jauh, sayup-sayup terdengar ceramah dalam bahasa Jepang. Saya tak sempat lagi mengamati suara penceramah dari Laos maupun Philipina yang juga dalam lingkungan maktab kami. Ketika saya sampai dan berdiri di sebuah tempat yang agak tinggi, suara penceramah agama dalam aneka bahasa itu terdengar bagai dengungan panjang yang bergema memenuhi lembah Mina.
Cuaca nyaman. Langit cerah tanpa awan. Beberapa bintang berkelip di ketinggian langit malam. Lembah Mina layaknya kuali besar yang ditempati hamnpir dua juta jamaah dari berbagai belahan bumi. Sekelilingnya bukit-bukit karang yang gersang. Kala malam, perbukitan itu terlihat seperti siluet raksasa yang berjajar mengawal lembah Mina.
***
Prosesi ritual haji belum dimulai. Tinggal di Mina adalah bagian dari persiapan untuk ritual panjang dan melelahkan dalam beberapa hari ke depan. Di masa persiapan ini, ujian terhadap kesabaran dan penguasaan diri sudah dimulai. Rasa persaudaraan dan tenggang rasa harus diperkuat. Kami berkumpul di satu tenda besar untuk empat puluh orang. Ruang privat untuk setiap orang hanyalah selebar badan, kira-kira satu meter. Untuk mandi, harus antri di depan jejeran dua puluhan kamar mandi bersama ratusan jamaah dari berbagai negara.
Suatu pagi, saya mengantri bersama jamaah lain di kamar mandi. Tiba-tiba jamaah yang lagi mandi berteriak bahwa air tak mengalir dari shower. “Water. Water. Help me!”, katanya sambil melongok keluar minta tolong. Di kamar mandi itu tidak ada bak untuk menampung cadangan air.
Seorang jamaah menyodorkan handuk untuk mengelap muka jamaah yang sedang mandi. Setelah matanya bersih, baru ada jamaah lain yang berinisiatif memberikan air mineral botolan untuk mencuci muka.
Tak ada yang tahu berapa lama kami harus menunggu. Makin lama, antrian makin panjang. Sedangkan yang di kamar mandi belum juga keluar. Beberapa orang mulai mengomel dalam bahasa masing-masing. Daripada menunggu tanpa harapan, saya beranjak menuju kamar mandi maktab lain di seberang jalan.
Hampir tengah malam, saya bersiap-siap untuk tidur. Tiba-tiba terdengar suara suitan keras yang panjang dan berat. Suitan itu kemudian berubah jadi gemuruh ketika angin deras menghantam tenda-tenda yang terbuat dari terpal. Tenda terguncang keras di semua sisinya. Tali pengikat tenda bergetar hebat, sementara rangkaian tiang alumunium berderak-gemeretak. Lubang angin di bagian atap tenda kami terlepas, meninggalkan bagian yang terbuka. Lembah Mina sedang dihantam badai besar.
Jamaah beristirahat di tenda-tenda penginapan
Semua kami mengurungkan niat untuk istirahat. Saya mengamati tiang alumunium yang terus bergetar dan berderak dihantam badai. Semua kami khawatir kalau-kalau tenda terangkat dan diterbangkan angin. Saya lihat wajah Mas Faizin, jamaah asal Blitar, Jawa Timur, mulai cemas. Begitu juga Imran, Anwar, dan Dedy yang duduk bersedekap memeluk lututnya di sudut tenda. Beberapa anggota tenda lain malah bengong dan terpana. Seakan tak menyadari bencana yang mengancam.
Badai gurun menerbangkan pasir halus yang memenuhi tenda. Saya pun segera mengambil sorban dan sarung. Saya Menutup kepala dengan sorban dan menyelimuti badan dengan sarung agar tak disiram pasir. Dalam suasana mencekam itu, tiba-tiba Sangker, jamaah asal Makassar, mengucapkan takbir dengan suara lantang. Jamaah lain langsung mengikuti dengan suara tak kalah lantangnya. Suara takbir menggema memenuhi tenda dan maktab. Nadanya sumbang dan gemetar karena cemas.
Badai kencang itu berlangsung sekitar 45 menit. Setelah badai berlalu, suasana pun jadi lega. Namun ketegangan baru benar-benar mencair begitu seorang jamaah memberi tafsiran unik atas kejadian itu.
“Hmm… syukurlah ada badai kencang malam ini,” ujar Toriq asal Jawa Timur dengan suara datar.
“Badai kencang begitu, kok malah disyukuri? Kamu sehat?”, tanya Aslam, jamaah lain, dengan heran bercampur kesal.
“Badai itu pertanda malaikat datang ke bumi,” jelas Toriq.
“Maksudmu?” tanya yang lain lagi dengan heran.
“Menurut Kiyai yang mengajar aku di pesantren, badai di tanah suci itu sesungguhnya wujud malaikat yang sedang turun ke bumi. Ia ditugaskan untuk mengamati dan membantu jamaah,” ujarnya. “Jadi kenapa kita harus cemas?” katanya lagi.
“Ah, sembarangan wae. Malaikat apa tho itu yang bisa berubah jadi badai?” tanya seorang jamaah sambil menoleh ke arah saya.
“Yo, mbuh,” jawab saya tak tahu.
Benarkah yang datang bersama badai kencang itu malaikat? Kalau benar, apa yang ingin disampaikan malaikat dengan kedatangannya mencemaskan itu? Yang jelas, keyakinan Toriq, membuat perasaan kami jadi lebih tenang.
***
Di kamar mandi maktab, air belum juga mengalir. Tetangga kami, jamaah wanita dari Kamboja, mengambil inisiatif unik mengatasi situasi itu. Sejak subuh, jamaah di depan tenda kami itu menjadikan lorong di depan tenda untuk tempat berwudu. Mereka mengambil botol air mineral yang bertumpuk di ujung gang, membukanya, dan menggunakan air minum itu untuk berwudu. Mulanya, perilaku itu dilakukan satu-dua jamaah berusia tua. Setelah itu diikuti jamaah separuh baya dan yang lebih muda.
Menjelang siang, ‘kreativitas’ tetangga kami makin menjadi-jadi. Kini mereka menggunakan air mineral untuk mencuci kaos dan jilbab. Guci dan wadah tempat es, dialih-fungsikan jadi ember cucian. Dengan cepat gang itu jadi becek. Botol plastik bekas air mineral berserakan, dibuang begitu saja. Semuanya dilakukan tanpa rasa bersalah.
Meski sebagian besar teman saya bekerja di pabrik, tapi mereka amat terbiasa hidup bersih, tertib, dan rapi sebagaimana kebiasaan mAsarakat Korea. Kami sunggguh tak nyaman dengan sikap jamaah di tenda depan. Selepas Isya, ketua rombongan kami berinisiatif membersihkan lorong di depan tenda. Bergotongroyong selama tiga puluh menit, lorong di depan tenda kampi jadi rapi dan bersih.
Rupanya kondisi rapi itu hanya bertahan hingga pagi hari. Paginya ibu-ibu tetangga kami berulah lagi; mencuci muka dan berwudu menggunakan air mineral. Ingin kami memberitahu baik-baik pada tetangga itu, tapi bahasanya tak kami mengerti. Mereka umumnya ibu-ibu tua, yang tak bisa berbahasa asing. Jadi apa akal?
Pimpinan biro perjalanan kami, Mbak Dyas, mengusulkan untuk melakukan operasi semut alias bersih-bersih lingkungan. Ide itu dibagikan di grup Facebook, dan dengan cepat ditanggapi jamaah. Maka turun tanganlah jamaah dari Korea untuk membersihkan lingkungan maktab jamaah Asia itu. Mbak Dyas berkoordinasi dengan kepala mutawwif, pemandu haji. Mutawif menyediakan sapu, serokan, dan plastik besar untuk menampung sampah. Sekitar seratus lima puluh orang pasukan kuning Korea menyapu, memungut sampah, memasukkannya ke dalam plastik dan menumpuknya di tempat sampah di luar maktab.
Dari maktab, kami bergerak ke arah tempat wudu dekat jalan raya. Orang-orang Badui Arab yang sedang menggelar dagangannya, dengan toleran meminggirkan lapak mereka agar kami leluasa membersihkan sampah. Mereka juga tampak senang karena lingkungan tempat berjualan jadi bersih dan nyaman. Membersihkan maktab menjadi kegiatan rutin kami selama berada di Mina. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)