Minggu, 31/03/2024 00:57 WIB

Memeluk Iblis di Genggaman

Berfoto di halaman luar masjid Nabawi.

Berfoto di halaman luar masjid Nabawi.

MELIHAT perangai manusia selama di Tanah Suci, di benak saya muncul pertanyaan begini; benarkah manusia sebanyak ini datang untuk beribadah? Jangan-jangan mereka datang untuk berwisata sambil berfoto di depan Ka’bah atau Masjidil Haram. Foto itu kemudian dibingkai dan dipampangkan di ruang tamu untuk memberitahu bahwa penghuni rumah ini seorang haji. 

Beragam motivasi orang untuk naik haji. Bapak Kos tempat saya tinggal pada masa kuliah di Padang, misalnya, punya alasan aneh. Bapak Kos itu seorang pedagang benang dan aneka aksesoris yang memiliki beberapa kios di Pasar Raya, Padang, Sumara Barat. Ketika saya menyewa di rumahnya, beliau telah lima kali naik haji. Jadi orang sekeliling wilayah tempat tinggal kami memangil beliau dengan panggilan Pak Haji. Meski telah naik haji berulang kali, Bapak Kos saya itu masih juga ingin naik haji pada musim berikutnya.

“Paling tidak, dua kali lagi,” katanya.

“Naik haji yang sempurna itu adalah tujuh kali, kenapa?”

“Pemilik toko emas di sebelah kedai saya, telah tujuh kali naik haji. Sejak itu rezekinya tak berhenti mengalir. Tiap tahun kedainya bertambah. Tentu juga kekayaannya,” jelas Bapak Kos itu memberikan alasan. “Jadi saya mau naik haji sampai tujuh kali, agar bisa kaya-raya juga seperti pedagang emas itu.” 

Saya percaya pernyataan Bapak Kos itu diucapkan dengan jujur. Karena niatnya memang untuk mendapatkan kekayaan, maka bagi beliau tak ada hubungan naik haji dengan ibadah harian. Meski telah lima kali naik haji, hampir tak pernah saya melihat Bapak Kos itu melakukan salat. Baik di rumah, apalagi di masjid yang terletak lima belas meter dari rumahnya.

Saya juga belum pernah mendengar beliau membaca ayat suci seperti para haji yang lain.  Sebaliknya, hampir tiap hari terdengar dia bercarut dan mengucapkan sumpah serapah saat memarahi anaknya. Bapak Kos saya menunarikan haji untuk mendapat kekayaan, bukan untuk beribadah.

Sejak hampir empat abad yang lalu, di Mekah terdapat banyak mukimin dari Indonesia. Mereka adalah para alim yang datang ke Mekah untuk menyempurnakan rukun Islam, kemudian menetap hingga bertahun-tahun di sana untuk belajar agama di berbagai halaqah yang dipimpin ulama terkenal. Setelah puas menuntut ilmu, mereka pulang sebagai alim ulama berpengetahuan luas.

“Hampir semua ulama yang memainkan peran penting dalam pembaharuan dan dinamika intelektual dan sosial Islam di Nusantara sejak abad ke-17 dan seterusnya adalah jebolan Makkah,” tulis Azyumardi Azra dalam bukunya tentang jaringan ulama Nusantara. 

Di zaman milenial ini, ternyata motivasi naik haji lebih beragam lagi. Ada yang naik haji karena gengsi atau agar dipilih menjadi anggota parlemen. Sedangkan perkembangan teknologi telah memungkinkan manusia naik haji untuk memuaskan hasrat berselfie ria.

***

Sejak awal penciptaan, Iblis telah menjadi musuh manusia. Dia bukan saja tidak mau sujud kepada Adam sebagaimana diperintahkan Allah, tapi juga bersumpah untuk menggoda turunan Adam hingga hari kiamat. Apa boleh buat, Tuhan meloloskan keinginan Iblis itu. Maka, berbagai cara mereka lakukan untuk menggoda agar manusia jadi lalai. Pada orang penakut yang suka klenik, mereka tampil sebagai hantu berbagai wujud. Sejak dari pocong sampai gendoruwo. Di hadapan pencinta harta dunia, Iblis menyaru dalam bentuk perhiasan, rumah, atau jabatan.

Berbagi kebahagiaan

Di Masjid Nabawi hingga Masjidil Haram, saya melihat Iblis dengan wujud berbeda. Bentuknya segi empat kecil. Beragam warna, model, dan mereknya. Untuk mendapatkan Iblis kecil itu, orang harus membelinya dengan harga mahal. Tapi manusia toh tak keberatan membelinya. Karena barang mahal itu bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Sejak dari menelepon, mengambil foto hingga video. Lagi pula, Iblis berukuran tipis-kecil itu dapat dengan mudah disimpan di saku.

Hampir setiap kali salat berjamaah di Masjid Nabawi, saya mendengar suara dering telepon genggam. Sejak dari nada panggilan masuk, bunyi alarm, hingga lagu. Jamaah dengan senang hati disibukkan oleh Iblis kecil itu. Mengutak-atik telepon genggam untuk membaca dan mengirim   chat, menonton video, hingga melakukan video call di ruang suci itu.

Di mana-mana, orang sibuk bergaya untuk berfoto. Sejak dari halaman masjid dengan payung elektrik, bagian dalam dengan hamparan permadani warna cerah, hingga ke mihrab yang penuh ukiran kaligrafi. Bahkan saat dalam antrian menunggu giliran untuk masuk ke Raudhah pun, orang sibuk berswafoto daripada berzikir. Meski semua jamaah tahu bahwa beribadah di Masjid Nabawi itu pahalanya berlipat ganda dibanding di tempat lain, akan tetapi hasrat berswafoto  lebih menarik daripada lipatan pahala.

Polisi kerajaan Saudi berkali-kali mengingatkan jamaah untuk tidak berswafoto dan mengambil video. Berbagai cara polisi melakukan larangan. Sejak dari ucapan, aba-aba, hingga menyita telepon genggam milik jamaah. Reaksi jamaah? Serajin-rajinnya polisi mengingatkan, lebih rajin lagi mereka memelihara kebandelannya.

Seusia salat Asar dan berjalan ke luar masjid, saya melihat seorang wanita muda asal Timur Tengah tersenyum manis sambil menyandarkan tubuhnya yang ramping ke tiang marmer Masjid Nabawi yang kokoh-indah itu. Klik! Sesaat kemudian ia membuka galeri telepon genggam untuk melihat hasil swafoto yang baru dilakukan. Setelah mengamati sejenak, bibir tipisnya terbuka menyunggingkan senyum tanda puas. Matanya berbinar dan aura kecantikan menguar dari wajahnya. Di antara sinar matanya yang bening saya seakan melihat kelebatan Iblis yang melintas sambil tertawa senang.

Godaan telepon genggam lebih kuat lagi saat di Mekah. Di mana-mana, sepanjang ritual ibadah saya menyaksikan orang memainkan telepon genggam. Saat mengelilingi Ka’bah, beberapa bertawaf sambil mengaktifkan telepon dari balik pakaian ihram. Membuat video tentang perjalanan ibadah di tanah suci.  Seakan-akan rekaman itu bisa disimpan dan dibawa ke akhirat buat dijadikan bukti bahwa mereka telah melakukan haji.

Begitu juga di antara Syafa dan Marwa. Ruang untuk sa’i itu ditutup atap dan cukup luas untuk untuk menampung jamaah yang melakukan ibadah. Pada kenyataanya, kemacetan terjadi di awal dan akhir lintasan. Penyebabnya adalah gerombolan jamaah yang sibuk berfoto di kedua tempat itu. Yang berfoto bukannya satu-dua orang, tapi rombongan berjumlah  belasan orang. Setelah berfoto ramai-ramai, masing-masing anggota rombongan kemudian juga berswafoto. Sama sekali tak peduli pada jamaah lain yang sedang beribadah di lintasan itu. 

 Jamaah asal Afrika atau Turki yang lebih senang berfoto di arah Marwa, ujung lintasan sa’i, sedangkan jamaah Indonesia lebih suka berfoto sambil berjalan atau berlari kecil saat melakukan ibadah sa’i.  Mereka  berpose sambil berjalan, tersenyum, dan klik! Atau berfoto sambil mengangkat tangan ramai- ramai dengan gaya bebas. Yang lainnya berfoto sambil melompat, layaknya berpose saat jalan-jalan di tempat wisata.

Saya menyaksikan semua tingkah jamaah itu dengan takjub bercampur heran. Bertahun-tahun mereka mengumpulkan uang dan menunggu kesempatan agar bisa beribadah ke Tanah Suci. Ada yang membayar biaya haji dengan menabung sedikit demi sedikit. Mungkin juga dengan mengumpulkan hasil panen padi atau tanaman lain selama bertahun-tahun. Malangnya, begitu berada di Tanah Suci mereka malah sibuk mengulik telepon genggam daripada berzikir dan berdo’a? Alangkah luarbiasanya godaan Iblis dalam genggaman tangan para jamaah haji. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)   

 

BACA JUGA