Jum'at, 05/04/2024 00:48 WIB

Salat Jumat di Masjidil Haram

Lantai atas Masjid Nabawi di senja hari.

Lantai atas Masjid Nabawi di senja hari.

SEJAK dua hari lalu kami telah pindah ke hotel bintang empat di Mekah. Letaknya tak terlalu jauh dari Masjidil Haram. Tinggal naik bus, sepuluh menit kemudian sampai di pintu King Abdul Azis. Kami masih punya waktu untuk beribadah beberapa hari lagi, menjelang pulang.

Teman-teman memanfatkan waktu luang itu dengan mengunjungi asrama jamaah Indonesia, menemui famili yang naik haji. Ada juga yang berkeliling di sekitar Mekah. Atau belanja oleh-oleh yang masih kurang. Saya lebih suka berdiri di depan hotel untuk melihat-lihat.

Karena sudah membeli oleh-oleh ketika di Madinah, saya tidak perlu lagi menyediakan waktu khusus untuk belanja. Saya justru memanfaatkan waktu luang untuk mengumrahkan Papa, kakek dan dua nenek, yang semuanya telah meninggal dunia. Bersama dengan tiga teman lain, kami mencarter taksi ke Masjid Tana’im, untuk memulai umrah. Biaya taksi pulang-pergi enam puluh riyal, kami bagi berempat.

Pemandu dan pimpinan rombongan selalu berpesan agar membayar taksi setelah sampai di tujuan.

“Jangan bayar taksi sebelum sampai di gerbang Masjidil Haram. Nanti kita ditinggal begitu saja oleh supir taksi di tempat yang tidak kita kenal,” kata seorang Ustad Syaukani, pemandu kami.

Jarak ke Masjid Tana’im ternyata cukup jauh. Taksi melaju di jalan mulus di tengah padang pasir. Hanya terlihat beberapa semak di kejauhan. Tak ada pohon sama sekali. Di Tana’im kami memakai ihram, berwudu, salat sunat dan segera kembali ke taksi. Sampai di Masjidil Haram, taksi kami bayar dan bergegas melaksanakan umrah. Selesai umrah pertama, kami carter lagi taksi menuju Masjid Tan’im. Dengan cara seperti itu, satu hari saya bisa mengumrahkan dua orang setiap hari.

Umrah pertama saya lakukan untuk Papa. Papa sakit dan meninggal dunia saat saya sedang menjalani program S2 di Yogyakarta. Kabar wafatnya Papa saya ketahui sepuluh hari kemudian melalui surat yang dikirim Ibu. Air mata saya menetes begitu menerima kabar duka itu. Di mata saya, Papa pejuang yang tangguh. Di masa muda, Papa adalah pemain sepakbola profesional yang bermain di klub-klub sepakbola di berbagai kota. Usai PRRI, beliau merantau ke mana-mana sambil terus sekolah. Setelah menikah, Papa tinggal di kampung dan bekerja apa saja. Menjadi petani, pemborong, tukang kayu, hingga manejer klub sepakbola. Tapi nasib tampaknya belum berpihak pada beliau. Hingga akhir hayatnya, lelaki bijak yang amat dihormati keluarga besarnya itu hidup sederhana di kampung.

“Tak ada yang bisa Papa berikan dan tinggalkan untuk kalian, anak-anak Papa” ujar Papa menjelang saya berangkat untuk studi S-2.

“Kalau ada kesulitan, datangi teman-teman Papa yang kalian kenal…”

Persahabatan Papa dengan banyak orang adalah kekayaan tak ternilai yang kami warisi. Begitu tahu kami anak Papa, teman-teman Papa selalu menerima kami dengan baik.

Saat Papa wafat, saya baru saja menata hidup. Tak banyak yang bisa saya bantu untuk menolong dan membahagiakan beliau. Saya tak menemani ketika Papa sakit hingga meninggal. Juga tak ikut mengantar beliau ke liang lahat. Maka saya ingin membahagiakan Papa di alam akhirat dengan membadalkan haji untuk beliau.  Agar Papa menjadi lebih bahagia, saya pun mengumrahkan beliau.  

Umrah kedua untuk Angku, kakek dari pihak ibu. Angku amat berjasa  membantu membiayai saya saat sekolah di Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah di Kauman, Padangpanjang, Sumatra Barat. Angku senang membaca, punya banyak koleksi buku agama dan majalah Islam. Tiap bulan, saat berkunjung ke tempat Angku, saya diberi buku untuk dibaca. Di antaranya karya M.Natsir, Hamka, Sidi Gazalba, hingga Sayyid Qutub. Juga majalah Panjimas, Suara Masjid dan Media Dakwah.

“Saya ingin kamu bisa menulis seperti orang-orang hebat yang membuat buku dan majalah itu,” pesan Angku.

Setiap kali menulis, saya bagai menunaikan tugas yang diberikan Angku pada masa sekolah.

Umrah ketiga, pada hari kedua, saya lakukan untuk Amak, nenek dari pihak ayah. Amak adalah wanita tegas yang mengajarkan cucu-cucunya untuk bertanggungjawab pada hidup. Caranya, beliau melarang kami makan nasi pada pagi hari. Setiap orang hanya boleh makan sarapan berupa goreng pisang, ketan dan segelas kopi.

“Jika belum bekerja, tak ada hak kalian menyentuh nasi,” kata Amak.

Kami para cucunya patuh. Nasehat Amak saya lakukan hingga sekarang; hanya makan nasi jika telah mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan produktif.

Setelah itu saya melaksanakan umrah untuk adalah untuk Mak Piah, sepupu nenek saya dari pihak Ibu. Nenek kandung saya telah meninggal dunia saat saya masih bayi. Maka Mak Piah yang mengasuh dan menjaga saya saat kecil. Saat Ibu mengajar ke kampung lain, saya tinggal bersama Mak Piah yang penuh kasih. Beliau meninggal saat saya baru saja menyelesaikan kuliah sarjana.

Pada hari berikutnya, saya berencana mengumrahkan kakek dari pihak ayah. Tapi saya tidak mampu melakukan umrah hari itu karena sejak malam saya diserang demam. Pilek makin menjadi-jadi, kepala terasa berat, dan pusing. Akhirnya saya memilih beristirahat.

Cuaca panas, mobilitas tinggi dan debu Padang Pasir membuat kita mudah terserang pilek. Banyak juga teman yang mulai diserang pilek. 

“Biasa itu. Hanya onta yang tak kena pilek di Mekah ini,”  kata Mbak Dyas sambil tersenyum.

***

Meski pilek, dan sedikit deman, saya masih saja merokok.  Saya sedang berdiri sambil merokok di sudut luar hotel. Seorang Arab dengan sorban putih di kepalanya mendatangi saya. “Cigarette...” katanya sambil mendekatkan jari ke bibir, layaknya orang sedang merokok. Saya memberinya sebatang rokok putih seperti yang sedang saya hisap.

No..No...” ujarnya. “Indonesian Cigarettes..!”

Rupanya Arab bersorban itu sudah pernah merasakan rokok Indonesia. “Okay. Wait a minute!”

Saya pun bergegas ke kamar mengambil rokok kretek yang saya beli dari Sang Ketua saat di Mina.

Saya menyerahkan sebatang rokok kretek yang dibungkus timah berwarna kuning. Arab bersorban itu menyambutnya dengan wajah cerah. Didekatkannya rokok yang masih berbalut timah itu ke hidungnya yang mancung, kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil memicingkan mata.

Alhamdulillah…,” ujarnya. “Syukran..Syukran…” katanya mengucapkan terima kasih sambil mengenggam tangan saya.

***

Jumat, jam sembilan pagi, kami berangkat untuk salat Jumat di Masjidil Haram. Seorang teman mengingatkan, bahwa pada jam sepuluh pintu masjid akan ditutup. Pagi itu, jamaah kelihatannya belum terlalu ramai. Kami sampai di pintu King Abdul Aziz jam setengah sepuluh, tapi pintu utama sudah tutup dan dijaga polisi.

Banyak jamaah antri di dekat pintu dan berharap bisa masuk. Polisi mengarahkan agar jamaah menuju lantai atas atau masuk melalui pintu lain. Seorang Arab berpakaian necis dengan dua pengiring berusaha masuk, tapi dilarang oleh polisi. Dia berdebat sambil marah-marah. Polisi diam saja dan putusannya tetap; dilarang masuk. Sambil mengomel, Arab berpengawal itu kemudian meluncur ke pintu lain.

Saya antri menuju lantai empat. Orang-orang tak sabar dan saling berdesakan di eskalator. Seorang Arab tak sengaja terdorong jamaah di belakangnya. Orang itu tersinggung dan protes. Orang di belakangnya membela diri bahwa dia juga didorong orang lain di belakangnya. Keduanya terlibat dalam diskusi panas. Mengacung-acungkan tangan dengan muka tegang. Layaknya aktor teater memainkan adegan marah di panggung. Begitu antrian mulai bergerak, adegan panas itu berakhir begitu saja.

Tak semua jamaah terbiasa dengan sarana seperti eskalator. Misalnya seorang jamaah dari Afrika yang saya saksikan pagi itu.  Tiba-tiba saja ia melompat ke arah eskalator dan berdiri persis di depan saya. Segera saja ia celingak-celinguk dan membungkuk di handrail mencari temannya yang masih di bawah. Saya tepuk bahunya, dan dengan bahasa isyarat mengatakan bahwa tindakan itu bisa membahayakan dia. Kepalanya bisa terantuk ke pembatas beton di depan. Dengan patuh dia segera menghadap ke arah depan dan berdiri diam.

Di depan kami, jalan keluar dari eskalator macet. Rupanya banyak jamaah berdiri di ujung eskalator untuk menunggu temannya yang masih dibawah. Polisi sibuk mengingatkan agar jamaah tidak berhenti di lantai akhir eskalator itu.

Lantai empat adalah lantai paling atas, dengan sedikit atap di pinggir. Panas matahari terik sekali. Jamaah berusaha mencari tempat yang terlindung. Saya akhirnya menemukan tempat yang telindung dan nyaman di dekat galon air zamzam. Meski menunaikan Salat Jum’at di lantai yang panas, beribadah di Masjidil Haram terasa amat menyenangkan. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)

BACA JUGA