-
MASJID di Korea Selatan layaknya barang antic, langka tapiada. Menemukan masjid di Korea bagai mencari lapo tuak di Tanah Aceh atau mencari diskotikdi Ranah Minang. Hanya dengan tekad kuat dan perjuangan saja kita bisa mendapatkannya. Situasinya kontras sekali dengan daerah asal saya, tempat masjid dan musala berserakan sejak dari jalan utama hingga ke pelosok terpencil.
Masjid yang berlimpah itu dibangun dengan berbagai cara. Ada masjid yang didanai orang kaya dari rantau sehingga dalam waktu setengah tahun saja sudah berdiri megah. Terbanyak adalah masjid yang dibangun perlahan dan bertahap dengan sumbangan dari jamaah. Lama masa pembangunannya tergantung kemampuan keuangan jamaah. Bisa beberapa tahun saja selesai tapi banyak juga yang meski sudah belasan tahun masjid itu masih berupa kerangka tanpa dinding. Di setiap ibu kota kabupaten, pemerintah daerah berpacu membangun masjid megah untuk warganya. Masjid-masjid itu diberi nama dengan kata yang bagai doa agar manusia menjadi beriman, mendapat petunjuk, dan masuk surga: Nurul Iman, Nurul Ilmi, Baburrahman, Baitul Jannah, Babbul Jannah, Al Muttaqin, dan seterusnya.
Sejak lima tahun terakhir, ada tren baru di kampung kami, yakni banyak orang kaya murah hati yang beriman teguh. Orang-orang dengan harta berlimpah itu membangun masjid dengan dana pribadi dan diniatkan sebagai sedekah untuk orang tua mereka yang telah wafat. Nama ayah atau ibu yang menjadi alamat sedekah diabadikan sebagai nama rumah ibadah yang baru dibangun itu. Kalau Anda berkunjung ke Sumatra Barat hari ini, tentu Anda akan bertemu Masjid Taufik, Masjid Alius, Masjid Ilham, Masjid Alisma, atau Masjid Rohana. Di kampung kami kini, nama orang dan nama masjid tak ada bedanya. Bisa jadi, beberapa tahun lagi di daerah kami akan ada masjid Ivan, Alex, Rony, Yessi, Kyo, Kiki, Diana dan lainnya. Entahlah.
Saat di kampung, bila waktu salat tiba, suara azan dari corong masjid menyembur memenuhi udara, menyerbu anak telinga paling dalam, menyusup ke ruang-ruang rumah gadang, menjangkau persawahan dan ladang, menyasar rimbunan semak, hingga pepohonan di perbukitan. Semua masjid berlomba memiliki pengeras suara dengan volume kuat. Konon, kualitas sound-system berkorelasi paralel dengan kemakmuran masjid dan tingkat keimanan jamaahnya.
Suara panggilan salat itu beragam nada dan iramanya. Ada muazin yang bersuara lantang dengan bacaan yang jelas. Iramanya pun merdu sehingga enak didengar. Ada lagi yang suaranya terdengar sayup-sayup, diselingi batuk-batuk kecil. Bacaannya bergumam. Mendengar suara azan seperti itu, hati saya seringkali pilu.
Bagaimana dengan Korea? Negeri Semenanjung adalah tempat yang sunyi dari suara azan. Sepanjang tahun, di ruang terbuka Negeri K-Pop itu hampir tak pernah terdengar panggilan azan. Azan dikumandangkan hanya di dalam masjid dengan pengeras suara yang kecil dan terbatas. Lagipula, masjid yang agak besar hanya ada di kota utama seperti Seoul, Busan, Daeju, dan Suwon. Itu pun hanya satu masjid di setiap kota. Di Seoul, misalnya, terdapat masjid besar yang terletak di wilayah Itaewon. Di Busan, ada masjid Al Fatah, di wilayah Geumdan-ro, Geumjeong-gu, wilayah pemukiman muslim asal Afrika, Maroko dan Mesir.
Dalam keterbatasan seperti itulah para pekerja Indonesia berinisiatif mendirikan masjid non-permanen untuk beribadah. Masjid non-permanen itu berupa ruang besar apartemen atau ruko yang disewa bulanan atau tahunan. Harga sewanya, jika dikonversi ke dalam rupiah, sekitar lima belas sampai dua puluh juta rupiah per bulan. Ditambah biaya perawatan masjid, air, listrik, menyediakan peralatan ibadah, dan menyelenggarakan berbagai kegiatan. Sedikitnya, tiap masjid membutuhkan biaya lebih dari tiga puluh juta rupiah setiap bulannya.
Padahal, jumlah jamaah tetap masjid ini hanya sekitar empat puluh hingga lima puluh orang saja. Merekalah yang bertanggungjawab atas seluruh kebutuhan biaya itu. Jika dibagi rata, maka setiap jamaah harus menyumbang sedikitnya enam ratus ribu rupiah setiap bulan agar semua biaya itu terpenuhi. Para jamaah, yang sebagian besar merupakan pekerja migran, itupun dengan suka rela menyisihkan gaji mereka setiap bulan untuk membayar semua kebutuhan itu. Sumber lainnya berasal dari sumbangan yang dimasukkan jamaah ke kotak sumbangan di masjid.
Hingga tahun 2020, terdapat lebih dari lima puluh buah masjid non-permanen yang dikelola jamaah asal Indonesia. Para pengelola masjid itu bergabung dalam wadah Ikatan Keluarga Muslim Indonesia (IKMI). Melalui organisasi inilah para pengurus masjid berbagi pengalaman, bersilaturahmi, dan tentu saja saling membantu.
“Terus terang, saya malu hati pada teman-teman para TKI ini. Pendidikan mereka hanya sekolah menengah. Bekerja di rantau sebagai buruh pabrik atau perkebunan. Tapi, semangat mereka untuk beribadah dan dakwah agama Islam jauh melebihi kita yang berpendidikan tinggi dan berprofesi sebagai dosen,” kata Sailal Arimi, ahli linguistik forensik dan dosen di UGM, Yogyakarta. Ia adalah kolega saya saat mengajar di Hankuk University for Foreign Studies (HUFS), Yongin-shi, Korea Selatan. Saya hanya mengangguk mendengar pernyaan Pak Sailal.
***
Saya dan Pak Sailal suatu hari mengunjungi Masjid Darussalan di Hwangseong, sebuah kota di arah pantai barat. Perjalanan ke Kota Hwangseong butuh waktu tiga jam dari tempat tinggal kami di wilayah Yongin. Meskipun cukup jauh, saya senang melakukan perjalanan ke daerah ini karena jalannya melewati pedesaan sepi dengan panorama daerah pertanian yang hijau. Kami diberitahu bahwa jamaah masjid akan piknik ke Nami Island. Saya dan Pak Sailal memutuskan untuk ikut.
Dr. Sailal Arimi di depan Masjid Nu Hidayah, Hwangseong, Korea Selatan
Terletak di lantai dua sebuah apartemen dekat perempatan, Masjid Darussalam menjadi tempat berkumpul pekerja Indonesia di wilayah ini pada akhir pekan. Suasana Masjid Darussalan mengingatkan saya pada kehidupan surau di kampung pada masa kecil. Selain ruangan salat, di bagian dalam masjid terdapat dapur, ruang tidur, juga koperasi. Dapurnya dilengkapi dengan kuali dan dandang besar. Kompornya dua tungku, yang diberi tambahan besi bulat besar, agar masakan tidak mudah tumpah. Di rak bumbu yang menempel di dinding, ada jahe, kencur dan kunyit. Sermuanya didatangkan langsung dari Indonesia.
Ruang tidur terletak di arah timur, lengkap dengan matras dan selimut tebal yang lembut. Siapa saja boleh tidur di sana. Ruangannya tidak besar, hanya bisa menampung untuk dua sampai tiga orang. Sebuah lemari pakaian terletak di sudut. Jika lupa membawa peci, sarung, atau baju koko, bisa menggunakan pakaian yang tersedia di lemari itu.
Tak lama setelah kami sampai, jamaah dari kota lain juga mulai berdatangan. Usai salat Magrib, secara gotong-royong jamaah memasak menu untuk makan malam; tongseng, telur dadar, ikan asin, dan sayur kangkung serta bayam. Makanan dihidangkan di atas talam-talam besar. Lauk ditaruh di tengah, di kelilingi oleh tumpukan nasi. Satu talam untuk tiga sampai empat orang. Mirip dengan makan bajamba saat acara perhelatan di Minangkabau. Malam itu kami makan dengan lahap. Seluruh nasi dan lauk ludes tanpa sisa. Menjelang tengah malam semua kami bergelimpangan tidur di ruang masjid itu. Entah disebabkan kelelahan, entah karena kekenyangan. Jamaah wanita menempati ruang tidur, sedangkan jamaah pria tidur di pinggir ruang salat.
Ada ruang spesial yang menarik di masjid ini; Koperasi Jujur. Seperti halnya di Indonesia, koperasi jujur di sini tidak memiliki petugas khusus. Pembeli bebas mengambil barang dan menaruh uang sesuai harga. Di Koperasi Jujur dijual kebutuhan harian, daging, bumbu-bumbu dan makanan halal. Ada juga kerupuk udang, dodol, rempeyek, hingga keripik tempe.
Ternyata nasib koperasi jujur di Indonesia dan Korea amat berbeda. Di negeri sendiri banyak koperasi yang merana, sementara yang di Korea justru berjaya. Padahal pemilik, pengelola dan pelanggannya sama-sama orang Indonesia juga. Sejak awal pendirian masjid, Koperasi Jujur tetap bertahan sampai sekarang. Tak pernah merugi. Meski Namanya Koperasi Jujur, banyak pelanggannya yang ‘tidak jujur’. Mereka lebih sering menaruh uang melebihi harga yang seharusnya.
“Itung-itung belanja sambil beramal,” ujar Mas Yanto, jamaah masjid yang bekerja di pabrik payung.
Selain acara keagamaan, masjid ini punya acara pengajian, kursus, hingga latihan rebana. Bahkan setiap musim semi ada turnamen sepakbola antarmasjid juga. Hadiahnya, piala dan makan-makan. Seperti surau, masjid ini bukan saja ruang ritual, tapi juga ruang sosial. Ruang untuk salat, mengaji, tapi juga tempat berkumpul, memasak, dan tidur sambil bercengkrama. Situasinya kontras sekali dengan masjid megah di Indonesia yang dindingnya dipenuhi tempelan tulisan “dilarang tidur di masjid!”
Masjid Indonesia terdekat dari tempat tinggal saya terdapat di Yongin, ibu kota Kabupaten Yongin-shi, sekitar lima puluh menit naik bis umum. Masjid Ikhlas namanya, terletak tak jauh dari pasar tradisional Kota Yongin. Masjid ini menempati sebuah ruangan besar di lantai tiga sebuah blok pertokoan. Pintu tangga naik terletak di sebelah kanan, di samping kafe minuman keras.
Di lantai dua terdapat sebuah restoran dengan menu khas ikan. Naik satu tingkat lagi, maka kita akan langsung sampai di depan pintu masjid. Jika mau langsung salat, terus saja belok kiri. Di sana akan bertemu ruang salat dengan mimbar kecil di bagian depannya. Tempat wudu dan kamar mandi terletak di sebelah kanan pintu masuk, dekat dapur.
Tak jauh dari masjid, terdapat sebuah kedai ramyeon, jenis mie kenyal yang gurih. Pemilik, manejer, sekaligus karyawannya dirangkap seorang lelaki tegap yang murah senyum. Biasa disapa Park Ajusi, atau Paman Park. Ia sendirian melakukan semua pekerjaan dengan cekatan dan mahir. Kata teman-teman, masakan di tempat itu tanpa campuran babi maupun daging. Jadi relatif aman untuk kita. Entah bagaimana caranya teman itu tahu tentang kehalalan masakan di warung itu. Saya tak mau memikirkannya. Yang jelas, sejak diberitahu jamaah lain tentang tempat itu, saya jadi ketagihan makan ramyeon di sana.
Setiap bulan, Park Ajusi, datang ke masjid. Ia membawa beras,telor,cabe dan aneka makanan kecil. Selesai menyerahkan bawaan, ia mengobrol sebentar dan bertanya-tanya tentang masjid dan Islam. Oleh pengurus masjid, sumbangan itu dianggap saja sebagai sedekah.
“Saya kira, ajusiitu sebenarnya sudah jadi muslim. Hanya saja, ia belum membaca syahadat dan melakukan salat…,” ujar seorang pengurus. Entah serius, entah bercanda.
Sebelumnya, masjid Ikhlas menempati sebuah gedung agak ke belakang, menyempil di antara salon-salon dan ruang karaoke. Menurut gurauan beberapa jamaah, posisi pertama ini sebenarnya lebih strategis, karena menyediakan jalan ke surga dan neraka sekaligus.
“Kita boleh memilih ke karaoke dulu, setelah itu baru ke masjid. Atau ke masjid dulu baru ke karaoke,” ujar Ustad Irsyad, jamaah asal Jawa Timur, sambil tersenyum. Sayangnya saya tak sempat menikmati masjid di lokasi ‘strategis’ itu. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)