korna
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Kami berjalan ke arah tempat permainan tradisional. Ada permainan melempar anak panah ke dalam bambu, menabuh alat musik dan gasing. Yang memnarik adalah sebuah kayu melintang mirip salip dipakukan setengah meter dari tanah. Ujung kayu diberi tali. Seorang laki-laki menelungkup dengan tangan terbentang di atas kayu itu. Sementara temannya memukulnya dengan pecut. Tentu saja tidak kuat, karena itu hanyalah peragaan untuk alat hukuman pada masa lalu.
Bazar makanan terletak di bagian utara, dekat sungai. Di jalan menjelang ke tempat makan terdapat banyak bazar orang menjual barang barang kerajinan khas Korea dari bahan kayu, bambu, tembaga. Kami membeli gantungan kunci berbentuk lonceng, gantungan kunci dari kayu, serta sebuah lukisan grafir kayu bergambar anak gembala yang sedang meniup suling. Harganya bervariasi, antara sepuluh hingga dua puluh ribu won.
Baru beberapa langkah berjalan, dari arah selatan terdengar gemuruh bunyi genderang, diikuti barisan wanita dalam pakaian tradisional. Seekor kuda mengiringin rombongan itu di bagian tengah. Di belakang kuda, ada perempuan yang diusung di atas tandu. Lengkap dengan pengiring yang membawa alat musik.
“Siapa wanita yang di atas tandu itu?” tanya saya pada seorang petugas yang berada dekat kami.
“Oh, itu penganten wanita. Dia akan diantar ke rumah penganten pria di ujung sana,” jelasnya.
Rupanya itu adalah tampilan upacara perkawinan tradisional Korea. Setiap hari selalu ada tampilan upacara tradisional yang berbeda. Sejak dari upacara kelahiran bayi, menginjak tanah, perkawinan, upacara musim panen, hingga upacara kematian. Penanggung jawab upacara itu adalah masyarakat adat yang masih setia mempelajari dan melakukan upacara demikian.
“Puncak acara dan pesta perkawinan dilakukan di ujung sana,” kata petugas tadi menunjuk ke sebuah bangunan besar arah utara.
“Penonton boleh ikut, mengambil foto dan menikmati hidangan dalam upacara itu,” paparnya lagi.
Rombongan pengantin bersama rombongannya lewat di depan kami. Diiringi pemusik yang memainkan gendang, suling, siter dan terompet.
Tapi kami memilih menuju stand makanan yang terletak agak di ujung, dengan menu telur dan ikan. Tidak ada tanda khusus untuk makanan halal. Ketika sampai di tempat pemesanan, penjaganya bertanya, “Anda seorang muslim?” Saya mengangguk.
“Mari saya tunjukkan makanan untuk Muslim.”
Ia menunjuk sup ikan, sayur bening, beberapa lauk sea-food. Kami memilih makanan yang direkomendasikan itu, ditambah dengan jus dan teh. Harganya 50.000 won untuk seluruh makanan dan minuman yang kami pesan.
Tempat makan boleh memilih. Ada meja kayu dengan bangku panjang di bawah tenda besar dan pepohonan. Mirip suasana makan di pasar rakyat. Ada juga meja-kursi di ruangan tertutup. Air putih disediakan di tempat khusus dan harus diambil sendiri.
Karena tidak tersedia tempat khusus untuk salat, saya salat di sebuah gaszebo yang sedasng kosong. Gazebo itu terletak di taman dengan pohon pinus dan tabebuya. Di salah satu sudut taman itu ada poster besar bintang Jewel in Palace, drama Korea yang popular di Indonesia. Rupanya kami beristirahat persis di lokasi syuting drama tersebut.
Korea Folk Village memang menjadi lokasi syuting film televisi yang bersetting kerajaan kuno. Ada rumah pestasni dan bangsawan, ruang pengadilan, hingga resepsi pernikahan, bazebo hingga taman dengan nuanas klasik yang bisa dimanafaatkan.
Drama berlatar sejarah seperti Sungkyunkwan Scandal, Jewel in The Palace, My Love From The Star, Dae Jang Geum hingga Hwarang mengasmbil tempat ini sebagai lokasi syuting. Poster drama-drama itu berserakan di beberapa tempat sekitar Korean Folk Village. Banyak orang berfoto di depan poster bintang film itu, tapi saya hanya melihat-lihat saja.
Usai makan, kami menyeberangi sungai jembatan yang melintasi sungai berair jernih. Di bawah jembatan terlihat air terjun kecil. Kami mengambil foto di spot yang menarik ini. Melewati terowongan kebun melon, kami sampai di Museum Kehidupan Manusia Korea. Museum ini berupa berupa rumah tradisonal dari kayu. Tonggaknya yang besar terbuat dari kayu keras, yang terlihat diolah dengan baik sehingga menjadi licin halus
Pajangan di museum ini sebagian besar berupa diorama, lengkap dengan gerak dan bunyi. Kita bisa mencoba menggunakan lesung jungkit yang diinjak dengan kaki. Dengan memencet tombol kecil, kitab bisa melihat rangkaian upacara saat musim panen. Tentu juga mendengar lagu rakyat Korea berirama riang saat purnama dalam ritual pascapanen.
Peralatan dan ritual hidup ditampilkan dengan amat rinci. Alat menangkap ikan sejak dari pancing, jala, jaring, hingga kantong tempat ikan dipajang rapi. Juga alat pengobatan tradisional, dan upacara kelahiran. Di bagin ini dipajang pemotong tali pusar, popok bayi, bedong dan ayunan ala Korea. Setelah itu ada perlatan kematian yang juga lengkap; tandu, kain pembungkus mayat, peti mati, juga nisan. Sepertinya, mayat saja yang tidak dipajang di museum ini.
Selepas dari museum, saya seakan diseret pada kehidupan masa kecil. Sebuah taman bermain anak yang dilengkapi ayunan dengan pegangan tali, perosotan, permainan lompat tali, dan bakiak tandem yang panjang. Beberapa keluarga terlihat asyik bermain di taman itu. Persis di di depan taman mengalir sebuah sungai berair tenang dan jernih.
Di pinggir sungai selebar dua puluh meter itu terdapat sebuah dermaga kecil, tempat bersandar sampan kayu yang bisa dinaiki pengunjung. Ukuran sampannya agak besar, dengan atap setengah lingkaran, layaknya sampan dalam drama Korea atau film-film China.
Ada juga sampan bambu, lengkap dengan galahnya. Ada lagi kincir air dengan pancuran, rumah jerami yang bentuknya bulat runcing seperti rumah suku pedalaman Papua.
Kami berjalan di sepanjang pinggir sungai yang ditumbuhi rumput liar dengan semak yang rendah. Pinggiran sungai yang bersih dari sampah. Sebuah jembatan gantung yang cantik menanti kami di ujung jalan. Tentu saja kami tak melewatkan kesempatan berfoto di tengah jembatan yang diikat dengan tali baja itu. Jembatan itu sekaligus mengantar kami menuju pintu keluar dari tempat wisata itu. (ivan adilla)