HANBOK
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
KOREAN Folk Village adalah museum hidup. Di sini saya menyaksikan rumah-rumah kuno yang eksotik, melihat bagaimana masyarakat Korea memelihara dan meneruskan pengetahuan dan keterampilan dari masa nenek moyang mereka. Selain benda-benda budaya, di sini juga ada atraksi upacara adat hingga pertunjukan berkuda. Tempat wisata itu terletak dalam wilayah Yongin, tak jauh dari universitas tempat saya bertugas.
Saya bersama isteri dan seorang keponakan menyewa sepasang hanbok untuk kami pakai. Isteri saya memilih warna pink. “Biar lebih romantic,” katanya.
Hanbok itu dilengkapi dengan topi leba yang tipis. Harga sewanya dua puluh ribu won sepasang. Lebih mahal dibanding harga sewa pakaian yang sama di Istana Gyeobokgung, Seoul. Dengan hanbok itulah kami berkeliling Korean Folk Villages lebih setengah hari lamanya.
Mengenakan hanbok warna pink, kami berjalan menuju gerbang masuk dan membeli tiket seharga tiga puluh dua ribu won setiap orang.
Setelah melewati gerbang kayu yang kokoh, kami disajikan suasana perkampungan Korea; rumah semi permanen dengan arsitektur tradisional berhalaman luas dan rapi. Dinding bagian bawah terbuat dari beton, sedangkan dinding bagian atas terbuat dari kayu. Atapnya berupa genting dengan pola lekukan yang tinggi. Beberapa pohon Mokryeon (Magnolia Kobus) sedang berbunga. Bunganya yang putih dan kuning memenuhi tanah halaman yang luas.
Kami kemudian melewati dua batu besar yang diikat rami dan kertas-kertas. Di sebelahnya bediri onggokan batu yang disusun bertingkat, yang dipenuhi kertas dengan tulisan aksara Hangeoul.
Menurut keterangan di sebuah pamflet yang dipajang tak jauh dari sana, tulisan pada batu itu adalah doa dan harapan yang ditulis untuk nenek moyang. Sepajang jalan kami masih menemukan beberapa tempat persembahan dengan tulisan doa seperti itu. Baik berupa batu besar, juga pohon beringin tua.
Berbelok ke arah kiri, saya menyaksikan pondok penumbuk tepung tradisonal yang dijalankan sapi. Mirip cara mengolah tebu untuk dijadikan gula merah di kaki Gunung Singgalang. Di pondok keramik, pengunjung bisa mencoba membuat sendiri keramik dari tanah liat. Tungku pembakaran juga disediakan.
Keramik yang sudah jadi dipajang di bagian dalam. Macam macam barang keramik tersedia di sini. Sejak dari gelas kecil, tempat nasi, kendi, alat memasak hingga kendi besar untuk menyimpan kimchi saat musim dingin. Isteri saya membeli beberapa gelas kecil untuk oleh-oleh.
Perjalanan berlanjut menuju sebuah rumah kayu tradisional. Ada ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan ruang belajar. Di ruang tidur hanya ada tikar jerami, tidak ada tempat tidur. Di rumah tradisional orang tidur di lantai, karena lebih hangat.
Di bagian bawah lantai dialirkan hawa panas untuk pemanas ruangan, yang bersumber dari tungku pembakaran di dapur. Ruang makan hanya memiliki meja rendah, tanpa kursi. Rupanya nenek moyang orang Korea sama saja dengan nenek moyang kita, makan sambil duduk di lantai.
Seorang wanita separuh baya duduk memintal benang sutera di teras samping. Ia memintal benang dari kepompomg dengan bambu yang dibuat seperti roda. Isteri saya melihat lebih dekat dan mengobrol dengan wanita tua itu. Sementara saya menghampiri seorang lelaki di sebelahnya yang sedang membuat topi tradisonal dari bahan rumputan.
“Anda sedang membuat apa?” tanya saya dalam bahasa Inggris. Tapi perajin berpakaian petani hanya tersenyum. Mungkin orang ini petani sungguhan, dan tak bisa berbahasa Inggris, pikir saya. Saya amati wajah lelaki separuh baya itu amat ramah. Jadi saya minta izin –kini dengan bahasa Tarzan-- untuk melihat tumbuhan yang sedang dianyamnya. Tumbuhan itu mirip mensiang, keluarga rumputan dengan batang yang panjang. Pengrajin itu memperagakan cara menganyam tumbuhan itu.
Tiba-tiba ia menunjukan pada topi yang dipakainya, yang dibuat dari bahan yang sama. Dulu di kampung saya, mensiang biasa digunakan untuk membuat tikar, sumpit, bahkan tas. Kini mensiang sulit didapat dan tak ada lagi yang bisa menganyamnya. Di Korea, ternyata mensiang masih dipakai dan dianyam orang. (ivan adilla)