MOTO
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
DI JALAN masuk arah timur menuju pasar, menjulang bangunan ramping yang megah. Halamannya luas, dengan bunga yang ditata rapi, mengikuti tekstur tanah yang bertingkat. Bangunan beton kokoh dengan gaya klasik itu memiliki tajuk tinggi menjulang. Tanda salib bertengger di ujung tajuk paling atas. Banyak orang berfoto di taman gereja yang cantik itu.
Hanya seratus meter ke arah barat gereja, pada Minggu pagi, sekelompok penyanyi dan pemusik memainkan lagu-lagu rohani persis di depan Myeongdong Theater. Kelompok pemusik rohani itu memakai seragam rapi. Laki-laki memakai kemeja, pentalon, jas, lengkap dengan dasi kupu-kupu, sedangkan wanita memakai gaun bercorak bunga dengan warna lembut. Suara lagu rohani yang dinyanyikan seorang wanita paruh baya memenuhi udara pagi.
Menjelang siang, saya duduk didekat bangku taman, tak jauh dari pemain musik. Grup pemusik masih beraksi, diselingi ajakan untuk mendekatkan diri pada Yesus. Meski tak banyak pengunjung yang menaruh perhatian, kelompok pemusik dan penyanyi itu tetap bermain dengan penuh semangat. Perhatian dan pahala dari Tuhan, tampaknya, jauh lebih penting daripada respons pendengar di pasar yang riuh itu.
Seorang lelaki semampai dengan kostum compang camping yang unik. Kemejanya yang kekecilan, menempel ketat tubuhnya. Sementara celananya bergaya cutbray, sempit di bagian atas, dan melebar ke arah bawah. Sebuah jubah lebar warna abu-abu, dengan tambalan di sana sini melengkapi kostum lelaki itu.
Ia menyandang kotak kayu di punggungnya. Di kotak warna kuning itu ditempel sebuah karton bertuliskan, “We love Yesus”. Lelaki itu berjalan pelan, dan mondar mandir dari satu sisi ke sisi lain sambil merapalkan doa.
Di telinga saya, rapalan doa itu terdengar seperti mantra. Dia hanya langsir seperti kereta api, tak menyapa atau menghampiri pengunjung. Ia tampak begitu percaya diri bahwa gayanya yang unik di tengah keramaian itu menarik perhatian orang untuk mengenal Yesus.
Kali lain, saya bertemu sekelompok pendakwah dengan tampilan layaknya rombongan gipsy pengelana; berbaju lebar dengan corak etnik dan celana gombrong warna kuning muda. Serparuh kepalanya botak, sedangkan sisi lainnya berambut panjang dan dikuncir. Hidung dan telinganya dipasangi anting. Usianya masih muda, sekitar tiga puluh lima tahun. Yang perempuan lebih muda lagi, mengenakan pakaian mirip sari dari India dan rambut ikal panjang yang diikat rapi. Rombongan itu terdiri dari empat orang, dan menurut pengakuannya, mereka telah berkelanan ke berbagai negara.
Pendakwah pengelana itu menyanyi diiringi alat musik krecek yang menjuntai hingga betis, serta sebuah alat petik mirip siter. Sambil menyanyikan lagu berirama country dan menyampaikan pesan kedamaian dari Budha, ia menyodorkan kardus tempat sumbangan pada pengunjung.
“Sumbangan untuk kejayaan Budha,” ujarnya pada saya. Saya pun menaruh dua lembaran seribu won untuk rombongan itu.
Tak lama kemudian salah seorang angota kelompok itu mendatangi saya. “Terima kasih sumbangannya. Anda dari mana?” tanyanya.
“Dari Indonesia”, jawab saya.
“Nah! Betul dugaan saya. Rombongan kami pernah singgah di Surabaya”, katanya lagi. “Kami senang Indonesia. Orang Indonesia ramah sekali.”
“Kalau Anda sendiri dari mana?” tanya saya.
“Kami pengelana dari Nepal.”
Suara sirine menyeruak di keramaian pengunjung pasar Myeongdong. Pengunjung bergegas menyingkir ke arah pertokoan. Tiga mobil pemadam kebakaran berjalan pelan di lorong antara deretan gerobak penjual makanan dan minuman yang memenuhi jalan pasar yang padat.
Pedagang menyaksikan dengan santai mobil pemadam yang lewat di depan gerobak mereka. Rupanya jarak antar gerobak pedagang kaki lima itu sudah diatur sedemikian rupa sehingga tak mengganggu kendaraan lewat saat situasi darurat.
Dengan penasaran, saya berlari kecil mengikuti arah mobil damkar yang terus melaju ke arah timur dan berhenti di sebuah sudut, dekat boneka Brown berukuran raksasa yang terletak di depan toko Line Friends.
Dengan sigap petugas menyiramkan air dan racun api. Titik kebakaran ada di lantai empat sebuah bangunan yang terletak di sudut itu. Sementara petugas memamadamkan api, pengunjung terus saja dengan kesibukan mereka berbelanja. Tak ada pengunjung yang sok sibuk memotret peristiwa kemalangan itu via handphone. Begitu melihat sekeliling, barulah saya sadar bahwa hanya saya sendiri yang menonton peristiwa kebakaran. Alangkah kampungannya diri saya!
Dan orang kampung seperti saya tak sanggup membayangkan bagaimana orang bisa hidup di metropolitan yang amat mahal ini. Apartemen kecil di kota Seoul harganya bisa mencapai sembilan miliar rupiah lebih. Untuk wilayah popular seperti Gangnam, apartemen kecil bisa mencapai dua puluh miliar. Sementara di Myeongdong yang berada pusat kota, bisa mencapai lima puluh miliar. Mahasiswa saya, Yeong-gie, menginformasikan tentang harga tanah yang fantastis.
“Saya baca di berita bulan lalu, satu meter bujursangkar tanah kosong di Myeongdong berharga seratus juta rupiah,” katanya. “Jangankan untuk tidur, buat berdiri pun tidak cukup.”
Dengan harga properti selangit, banyak anak muda jadi putus asa untuk mampu memiliki apartemen. Bahkan untuk bermimpi pun mereka enggan. Kata Son Jiwon, seorang mahasiswa, ia hanya mungkin punya apartemen jika ia berhasil memenangkan lotere.
“Bisa memenangkan lotere dengan hadiah pertama, adalah impian saya”, ujarnya dalam diskusi di kelas kami. Hadiah pertama lotere adalah 2 milyar KW kira-kira setara 24 milIar rupiah.
“Dengan uang itu saya akan membeli apartemen di daerah asal Ibu saya di Yeongsan untuk saya tempati. Sisanya untuk membeli dua apartemen lagi untuk disewakan. Saya akan tetap bekerja, hidup dari gaji, dan properti yang saya sewakan.”
Tapi kenapa harus dengan hadiah lotere, Jiwon?
“Perbedaan pendapatan di Korea lebar dan dalam sekali. Orang kaya semakin makmur, sedangkan yang miskin makin melarat. Jadi hanya lotere yang bisa mengantar saya untuk bisa punya apartemen dan mendapat uang tambahan selain gaji”, jawabnya.
Harga properti terus melonjak, dan tak mungkin turun. Pemilik apartemen bebas menentukan harga jual sesukanya. Atau menaikkan sewa tiap tahun. Mereka hidup tenang dengan menyewakan properti miliknya. Pemilik apartemen adalah penguasa segalanya.
“Di atas Tuhan, ada pemilik apartemen.” demikian anekdot popular di kalangan anak muda Korea. (ivan adilla)