Lorong Galeri Hangeul

-

Rabu, 11/10/2023 04:14 WIB
johan

johan

GALERI HANGEUL. Sebuah lorong panjang dengan dinding putih yang dipenuhi tempelan kertas. Beberapa meja tulis berjajar rapi. Di atas meja terdapat lembaran kertas putih, kuas kecil, dan tinta dalam wadah bulat. Sebagai orang yang buta huruf Hangeul, saya mendekat dengan ragu. Untunglah beberapa orang gadis cantik yang ramah mencairkan keraguan itu. Mereka memberitahu bahwa semua peralatan itu disediakan bagi pengunjung untuk menuliskan nama dan pesan dalam Hangeul. Gadis berambut sebahu itu kemudian mengajarkan saya menulis dalam aksara warisan Raja Sejong ini.

“Maaf, tak ada huruf /v/ dalam aksara Hangeul,” kata gadis berseragam biru bergaris putih itu. “Anda boleh memilih, apakah huruf itu akan diganti dengan huruf /b/ atau /p/yang tersedia dalam aksara kami.” Saya memilih huruf /p/. 

Im Hwas, nama gadis itu, adalah mahasiswi yang bekerja paruh waktu memanfaatkan masa libur. Jemari lentik yang putih-halus itu dengan lentur meliuk menuliskan sesuatu. Sekejap saja, selesai sudah ia menuliskan nama saya.

Ia kemudian mengajarkan saya teknik menulis dengan mengulangnya beberapa kali. Saya pun meraih kuas, mencelupkannya dengan hati-hati ke wadah tinta berwarna hitam. Tangan saya menggigil saat pertama memegang kuas dan menyentuhkannya ke kertas berserat kasar. Menorehkan tinta dan menyeret kuas itu membentuk rangkaian huruf.

Menorehkan kaligrafi Hangeul ini lebih tepat disebut melukis daripada menulis. Ia  tidak saja memerlukan kelenturan tangan dan kerapian, tetapi juga konsentrasi penuh agar tinta tak jatuh dan mengotori kertas.

Dengan dada berdebar, akhirnya saya berhasil juga menuliskan nama sendiri dalam aksara Hangeul. Setelah mengibas-ngibaskan kertas agar tinta cepat kering, dan menggantungkan tulisan kaligrafi pada tali yang ditempelkan di dinding. Di dinding itu terpajang ribuan kertas berisi tulisan pengunjung lain dari seluruh dunia.

“Ah, ternyata tulisan saya bukan yang paling jelek,” ujar saya menghibur diri.

Museum Edukasi

Anak lelaki berambut lurus itu berusia sekitar tujuh tahun. Tangannya menggenggam kuat dan mengarahkan senjata ke salah satu kapal. Matanya memandang tajam ke animasi kapal perang yang sedang berlayar di dinding. Tiba-tiba, duaaaar!

Dengan girang ia mengangkat tangan karena tembakannya tepat mengenai kapal lawan. Tapi, ah, waktu untuk sesi ini telah habis. Ia segera berlari ke arah seorang wanita muda. “Saya masih mau main”, katanya dengan agak merengek. Sang ibu membalasnya dengan senyuman. Ibu muda itu mengizinkan anaknya kembali bermain.

“Dia senang sekali memainkan animasi kapal perang itu. Itu sesi ketiga untuk hari ini, ” jelas sang ibu. Wanita cantik berambut sebahu itu berumur 30-an tahun. Yu Jin namanya. Dia datang ke museum ini bersama sepasang anaknya.

”Saya senang mengajak anak-anak ke sini,” katanya. “Di tempat ini anak-anak bisa belajar sejarah negeri kami melalui berbagai media yang menyenangkan,” jelas Yu Jin.

Dengan wajah riang wanita itu menceritakan berbagai mainan dan media belajar yang tersedia di sini. Sejak dari puzzle, mainan bongkar, miniatur kapal perang, film animasi sampai film empat dimensi. Saya terpana mendengarkan ceritanya. Entah karena semangatnya. Entah karena kecantikannya. Bisa jadi juga karena ingatan saya pada ibu-ibu muda di kampung, yang merasa bangga membawa anak-anaknya liburan dan bermain ke mal, agar terlihat modern dan tak diolok-olok ketinggalan zaman. 

Sembari anak lelakinya bermain gem animasi, Yu Jin menemani anak perempuannya bermain puzzle dan bongkar pasang. Beberapa kali si kecil menjatuhkan dan kerepotan memasang miniatur kapal yang disediakan untuk dimainkan. Ia terlihat santai membiarkan anaknya belajar mengatasi masalah sampai mintiatur kapal itu terpasang dengan baik. Ketika sang anak berhasil memasang miniatur kapal berbentuk penyu itu, sang ibu memeluk puterinya.

Saya meninggalkan keluarga itu untuk melihat replika Gobukseon, kapal perang berlapis besi berebentuk penyu, yang disainnya dibuat oleh Laksamana Yi Sunshin.  Sebagai armada terbaik pada masanya, Gobukseon mengantarkan Laksamana Yi mengalahkan armada Jepang dalam perang yang berlangsung selama tujuh tahun. Bagian dalam kapal dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Ada patung awak kapal yang sedang mendayung, ruang nakhoda, senjata, gudang, hingga toilet. Jendela terdapat di samping kiri-kanan, berfungsi untuk menembakkan meriam. Bagian atas  ditutup dengan besi runcing.

Di ruang bagian atas replika kapal, kita disuguhkan animasi berdurasi 20 menit tentang perang panjang yang dimenangkan Laksamana Yi. Animasi itu memanfaatkan lantai untuk display area laut, sementara bagian dinding dimanfaatkan untuk  menampilkan montase foto tentang suasana perang itu. Agar bisa merasakan pengalaman perang lebih dekat, saya memilih menuju ruang teater 4 dimensi yang disediakan gratis.

“Belum mulai. Anda masih punya waktu 10 menit,” kata gadis berseragam, setelah melihat karcis yang saya unjukkan. Seperti di Hangeul Gallery, gadis berseragam itu adalah mahasiswa yang bekerja paruh waktu memanfaatkan musim libur. Sembari menunggu, saya beranjak menuju ruang terdekat yang memamerkan baju dan senjata perang yang digunakan Laksmana Yi.

Berbagai senjata berupa panah, tombak, dan pedang tertata rapi dalam ruang peraga yang menempel ke dinding. Penjelasan dalam bahasa Korea dan Inggeris juga disertakan di sana. Juga ada manuskrip dalam kotak kaca. Di kotak pertama terpajang buku harian yang ditulis Laksamana Yi, sedangkan di kotak kedua dipajang plakat atau ijazah kelulusannya dari akademi militer kerajaan. 

Waktu menonton pun tiba. Saya memasuki ruang teater dengan kapasitas 40 penonton dengan kursi dinamis empuk berwarna merah terang. Dengan cepat ruang itu dipenuhi anak-anak yang datang bersama guru atau orang tuanya. Seorang petugas menjelaskan tata tertib, kemudian membagikan kacamata untuk menikmati film pertempuran laut pada masa Laksamana Yi. Teknologi teater 4 dimensi ini memungkinkan kita serasa berada di kapal perang.

Kursi bergerak seiring gerak kapal di layar, sehingga kita serasa di kapal yang oleng. Dinding kursi tiba-tiba mengeluarkan kesiur angin sehingga penonton serasa dalam kepungan peluru yang mendesing. Film pertempuran laut itu hanya 8 menit. Meskipun berdurasi singkat, film animasi yang dramatik itu membawa penonton untuk merasakan perang di lautan.

Keluar dari ruang teater, saya disambut toko cinderamata yang terletak persis di hadapannya. Toko itu menyediakan kerajinan khas Korea; sejak dari hanbok atau pakaian tradisional dalam bentuk mini, gantungan kunci, kartu pos, miniatur istana dalam bentuk puzzle hingga dasi dan scraf berbahan sutera halus. Saya memilih beberapa puzzle bergambar istana dan rumah tradisional Korea sebagai kenangan.

Meja kasir itu teletak di sebelah kafe. Di lantai satu terdapat banyak restoran. Ke sanalah saya melangkah.  

“Anda punya kopi Columbia?” tanya saya pada pelayan.

“Oh, maaf. Hari ini kami hanya menyediakan kopi Ethiopia dan Vietnam”, ujarnya dengan ramah. “Hmmm, bukankah anda dari Asia Tenggara?”

“Benar sekali. Saya dari Sumatra, Indonesia”

“Oh, Sumatra? Itu kan daerah penghasil kopi?” Saya mengangguk. “Kopi Sumatra cukup populer di Korea! Nah, kenapa anda memesan kopi dari tempat lain?” tanyanya heran.

“Kenikmatan bertualang adalah menikmati hal baru yang berbeda,” jawab saya sekenanya.

“Sayang sekali, Korea tidak memproduksi kopi,” ujarnya. Tentu saja, kopi tanaman daerah tropis, sedangkan Korea daerah empat musim.

”Tapi saya bisa menawarkan berbagai penganan asli Korea untuk menemani Anda minum kopi”, kata pelayan itu lagi. Saya memilih chapssalteok atau kue mochi, bungeopang atau kue ikan mas isi kacang merah dan jajanan berbentuk bulat dengan isi ubi manis.

Di luar rinai belum jua reda. Kabut masih menggayut. Saya menikmati secangkir americano panas yang diseduh dari kopi Vietnam. Seorang wanita muda duduk dan memesan makanan di sebelah tempat saya duduk. Wangi parfumnya yang lembut-segar mengalahkan aroma kopi di meja. (ivan adilla)  

 



BACA JUGA