pendeta palak
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
KALI KEDUA mengujungi Istana Gyeongbokgung, saya juga datang pagi hari. Saya sama sekali tak tahu kalau jam sepuluh pagi itu ada upacara penting di tempat itu. Dari kejauhan terdengar bunyi genderang bergemuruh, diikuti bunyi terompet. Pengunjung berbaris dekat rentangan tali yang ditaruh sepanjang lapangan. Suara genderang terdengar makin mendekat. Dari arah utara, rombongan pasukan penjaga istana masuk diiringi grup musik. Iramanya seperti lagu mars militer yang penuh semangat.
Di barisan depan, para pengawal berjubah lapang dan panjang berjalan tegap membawa pataka berwarna kuning, biru hitam. Diikuti barisan pengawal bersenjata tombak, panah, golok besar. Di tangan kirinya, pengawal itu memegang tameng berbahan metal. Paling belakang adalah barisan pemusik yang memainkan alat musik tradisional. Ada sogo, gendang tipis yang dimainkan dengan pemukul khusus yang lunak; janggu, gendang dua muka yang bentuknya mirip jam pasir; buk, gendang besar yang mirip dol;juga daegum atau seruling.
Melalui pengeras suara di sekitar lapangan, ada penjelasan dalam Bahasa Korea dan Inggris tentang prosesi yang sedang berlangsung. Pengunjung mengikuti upacara militer tradisional itu dengan hening dan khidmat. Beberapa terlihat sibuk mengambil foto dan video dari upacara tradisional yang unik itu.
Begitu upacara selesai, saya menghampiri salah seorang pengawal yang beristirahat dekat buk, alat musik berbentuk tabuh yang diberi penyangga. Mengambil foto alat musik yang badan dan rangkanya dipenuhi ukiran berwarna terang. Selepas itu saya beranjak ke arah pintu gerbang untuk mengambil foto pengawal.
“Anyanga haseyo…” ujar saya menyapa pengawal itu.
Tapi lelaki berpostur tinggi tegap, diam saja. Meski kumis tebal melintang di atas hidungnya, pengawal itu tidak terkesan sangar dan seram. Wajah mereka dingin, datar tanpa ekspesi sama sekali.
“Boleh mengambil foto bersama Ada?” tanya saya lagi dalam bahasa Inggris. Masih saja diam membatu.
Seorang anak muda asal Korea rupanya melihat tingkah saya. Ia mendatangi dan kemudian membantu mengambilkan foto.
“Jika sedang bertugas, mereka tak boleh diganggu…” jelasnya sambil mengulurkan kembali kamera yang baru saja digunakan.
“Tapi saya tak menganggu. Hanya minta izin…” kilah saya.
“Tetap saja mengganggu pengawal yang sedang bertugas…” ujarnya dalam bahasa Inggris yang fasih.
Yong Nam, nama pemuda itu, adalah mahasiswa dari sebuah universitas di Seoul. Menurutnya, upacara itu bukanlah sebuah tontonan, tapi rutinitas sehari-hari istana. Begitu juga para pengawal yang bertugas. Mereka orang terpilih yang ditugaskan untuk menjaga tradisi kerajaan. Pergantian pengawal istana merupakan bagian dari rangkaian upacara Kerajaan Joseon berabad yang lalu. Banyak upacara tradisional lain yang masih dipelihara.
“Agar kami generasi muda tetap mengenal dan mempelajari sejarah negeri sendiri,” jelasnya.
Penjaga istana itu masih saja berdiri mematung. Mengingatkan saya pada penjaga di Istana Buckingham di London, yang dicandai Mr. Bean dalam film bisunya popular itu. Jika ingin berfoto dengan pengawal, Anda bisa langsung berdiri di sampingnya. Tak perlu minta izin, apalagi membayar sejumlah uang.
Hari masih siang ketika saya keluar dari Istana Gyeongbokgung. Udara lembab dan rinai menyiram reremputan di Gwanghammun. Saya menunggu hujan reda dekat Sejong Hall. Juga mengambil beberapa foto ke arah jalanan. Tiba-tiba seorang pendeta Budha berjubah kuning mendatangi.
“Ada hadiah untuk Anda,” ujarnya. Ia mengeluarkan selembar kuningan bergambar Budha sedang bertapa.
“Terima kasih,” ujar saya.
“Anda dari mana?”
“Saya dari Thailand,” jawabnya.
“Harga hadiah itu 50.000 KW. Untuk sumbangan amal,” ujarnya.
“Kalau begitu, saya tak mau beli,” kata saya sambil mengembalikan lencana itu.
“Ooo, jangan dikembalikan. Saya akan beri Anda bonus benda berharga ini,” katanya sambil mengeluarkan seuntai tasbih.
“Saya juga tak perlu tasbih…” kata saya sambil melangkah pergi. Tapi pendeta itu terus mendesak. Karena kesal, akhirnya saya ambil lencana kuningan dan memberinya 10.000 KW.
“Tak bisa! Anda harus membayarnya 20.000 KW….” ujar pendeta itu.
“Kalau begitu, berikan uang saya lagi. Dan ambil lencana Anda!“
Ia terdiam dan membalikan badan. Di pusat Kota Seoul itu saya dipalak pendeta 10.000 KW. Bukti pemalakan, berupa lencana kuningan itu, saya simpan dalam tas kamera.
Dua minggu kemudian, saya lihat pendeta itu di wilayah Itaewon. Sedang bernegosiasi dengan seorang wisatawan dari Afrika. Usai mendapat uang, ia beranjak ke arah saya, untuk menawarkan lencana.
“Saya sudah punya lencana,” ujar saya sambil menunjukkan lencana dari tas kamera. “Jangan coba-coba atau saya akan panggil polisi…” kata saya dengan suara rendah, hampir berbisik.
Dengan langkah cepat penipu berjubah pendeta itu berlalu dan menghilang ke arah lorong kecil. Pendeta Thailand itu bukan satu-satunya orang asing yang memperjudikan nasib di negeri orang. Pada waktu lain saya bertemu seorang gadis kecil, peminta sumbangan dari Philipina.
Rinai mereda dan saya berjalan kaki ke arah stasiun, tak jauh dari tempat berteduh. Saya melirik ke arah bangku, mana tahu ada bangku kosong. Tapi ternyata semua bangku terisi. Saya baru saja meraih tempat pegangan tangan ketika seorang pemuda mempersilakan saya duduk di kursi yang ditempatinya.
“Hamsa Immida...” ujar saya mengucapkan terima kasih. (ivan adilla)