ISTANA MA
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Penulis traveling, pengelola biro wisata, hingga pelancong amatir selalu saja merekomendasikan Istana Gyebokgung sebagai salah satu tempat wisata. “Wisata ke Negeri Gingseng sepertinya tidak lengkap jika tanpa mengunjungi Gyeongbokgung”, tulis Khitthati, reporter sebuah media media online yang melakukan perjalanan ke Korea.
“Istana Gyeongbokgung merupakan simbol keagungan kerajaan dan rakyat Korea,” ujar seorang penulis dalam situs Trip dan Tour ke Korea.
Bertubi-tubi iklan dan ulasan tentang Gyeongbokgung. Entah kenapa, saya tidak begitu tertarik mengunjungi istana megah dari Dinasti Joseon itu. Saya justru lebih senang berkeliling mengunjungi museum yang terdapat di sekitarnya; National Museum of Korean Contemporary History, King Sejong Memorial Hall, atau National Museum of Modern and Contemporary Art (MMCA).
Di museum saya bisa melihat masa lalu dan peninggalan berharga, di galleri kita menikmati keliaran dan keragaman kreativitas seniman. Nah, apa yang bisa dinikmati dari Istana Gyebokgung, bangunan kosong yang tak lagi terpakai itu?
Pagi sekali saya dan istri sudah naik bus menuju Seoul. Jam menunjukkan angka delapan ketika kami turun di halte depan pasar tradisional Namdaemun. Dari sana berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju Gwanghammun Square. Kami melangkah, menikmati udara pagi di antara trotoar luas, yang dilengkapi bangku taman dan deretan pot bunga. Pot itu dipenuhi bunga daisy, aster, dan clover berwana putih, kuning dan ungu. Semua bunga ditata dengan rapi, layaknya rangkaian karangan bunga.
Kami berjalan melintasi taman luas itu menuju gerbang Istana Gyeongbokgung. Lengkungan atap berbahan genting menjulang di tengah kabut pagi. Dua patung singa dari batu mengawal bangunan gerbang yang terbuat dari susunan batu kokoh itu.
Saya dan istri menyelip di antara pengunjung dengan pakaian tradisional Korea, hanbok. Warnanya cerah; merah, pink, ungu, putih, dan kuning. Kulit pemakainya sendiri bervariasi; putih, coklat, kuning, hitam. Beberapa pengnjung berjilbab melenggang layaknya putri Korea masa lalu.
“Ayo, kita sewa hanbok juga,” ujar istri saya.
“Wah, gak sempat lagi. Kita masih harus antri untuk membeli karcis…,” ujar saya. Tempat penyewaan hanbok terletak di luar lingkungan istana. Di deretan pertokoan dekat tempat parkir sebelah timur. Di sana ada kedai-kedai yang menyewakan hanbok seharga 10-20 ribu KW. Sewa pakaian itu termasuk celana, baju luar, dan topi lebar khas Korea, serta fasilitas gratis masuk ke Istana Gyeongbokgung. Ya, pengunjung yang memakai hanbok tidak dipungut biaya. Cara yang cerdik untuk membujuk pengunjung mengenakan pakaian tradisional dan menghidupkan ekonomi pedagang kecil.
Tempat penyewaan itu agak jauh dari tempat kami berdiri. Jarak menjadi alibi untuk saya mengelak memakai hanbok dan berjalan-jalan layaknya sepasang penganten Korea.
“Ketika menikah saja dulu kita tak pakai pakaian adat Minang, masak sekarang kita malah memakai pakaian adat Korea?” kata saya. Tapi dalam hati saja.
Kami membeli karcis seharga 3.000 KW. Tak terlalu mahal untuk bisa menikmati ruang seluas 40 hektare, dengan belasan bangunan istana kuno. Kami melintasi Heungnyemun, pintu masuk kedua menuju area istana, yang dijaga oleh petugas berpakaian tradisional, lengkap dengan senjata tombak berbendera. Kamipun berfoto di depan gerbang istana kebanggaan masyarakat Korea itu.
Istana Gyeongbokgung yang ada sekarang adalah hasil restorasi oleh ilmuwan Korea dari berbagai bidang ilmu. Bangunan aslinya dibangun oleh 1394 oleh >Jeong >Do >Jeon, raja yang juga seorang arsitek. Beberapa puluh tahun kemudian, terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan beberapa bangunan istana. Tapi raja berikutnya membangun ulang situs bersejarah ini. Saat invasi Jepang tahun 1592-1598, istana ini dihancurkan penjajah dari negeri matahari terbit itu. Hampir tiga abad lamanya istana ini tak tersentuh. Dinasti Joseon membangunnya kembali lagi pada tahun 1860-an dengan 330 buah komplek bangunan yang memiliki hamper enam ribu kamar.
Saat Jepang menjajah Korea pada 1911, lagi-lagi istana ini menjadi sasaran penghancuran. Hanya 10 bangunan utama yang tinggal dan digunakan untuk kepentingan penjajah Jepang. Begitu Jepang kalah dalam Perang Dunia kedua dan Korea menjadi negara merdeka, rakyat Korea menginginkan Istana Gyeongbokgung dibangun ulang.
Bangunan kebanggaan masyarakat Korea ini layaknya permata yang dicungkil dari puing-puing masa lalu. Arsitek, arkeolog, ahli teknik, dan ahli naskah kuno (filolog) membongkar arsip dan gambar-gambar yang terkait dengan istana. Para ilmuwan itu akhirnya menemukan disain dan naskah kuno yang menjelaskan tentang bangunan istana.
Perlahan, pemerintah Korea membangun kembali istana Gyeongbokgung. Tahun 2009, untuk pertama kalinya istana ini dibuka untuk umum. Gyeongbokgung tidak saja menjadi situs budaya, tapi juga tonggak kemajuan ilmu pengetahuan untuk merestorasi bangunan bersejarah. Itulah alasan utama kenapa akhirnya saya menyukai tempat ini.
Sebagian besar bahan bangunan dari kayu. Termasuk tiang-tiang istana yang berdiri kokoh. Hanya bangunan utama yang tiangnya dibuat dari batu granit. Bagian dalam istana luas dengan tajuk tinggi yang memungkinkan udara mengalir dengan leluasa.
Lukisan bercorak bunga dan tumbuhan memenuhi bagian luar dan dalam bangunan. Juga di bubungan penyangga atap. Pada bagian tiang terdapat beberapa ukiran naga. Pendek kata, Sebagian besar semarak dihiasa lukisan berwarna cerah; hijau, merah, biru, kuning. Berbeda jauh dari bangunan modern Korea yang tertutup dan bercorak minimalis.
Persis di tengah bangunan, terdapat sebuah tahta raja berbentuk kursi besar yuang dpenuhi ukiran yang dicat dengan warna terang mengkilat. Di depannya sebuah meja kecil, sementara di latar belakangnya terdapat lukisan lima gunung berwarna mas dengan pepohonan di latar depannya. Seperti halnya bangunan, tahta pun membelakangi gunung, Mengikuti prinsip ideal dalam pembangunan rumah Korea, baesanimsu.
Kami meneruskan langkah ke arah utara, bagian belakang istana. Di tempat itu terdapat bagian dapur, dan taman bermain. Saya hanya melongok sebentar ke ruang dapur istana itu. Di smaping dapur itu terdapat sebuah taman luas yang dihiasi pohonan besar. Sekelilingnya ditanami bunga bunga rendah dan rumputan.
Agak jauh ke utara, terlihat sebuah bangunan begaya modern beratap biru. Itulah istana kepresidenan pemerintah Korea sekarang, yang dikenal sebagai ‘Bangunan bergenting Biru’. Seluruh bangunan mengikuti prinsip baesanimsu. membelakangi gunung. Di area istana kuno ini, masa lalu dan masa kini menyatu. (ivan adilla)