Keragaman dan Paradoks di Itaewon

-

Sabtu, 07/10/2023 06:15 WIB
mantapa

mantapa

OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Undand)

Itaewon, wilayah berbukit seluas hampir seratus empat puluh hektar di distrik Yongsan-dong, dikenal sebagai wilayah internasional yang dihuni manusia dari banyak negara. Kedutaan dan perusahaan asing asing banyak berkantor di sekitar tempat ini. Restoran dengan menu masakan dari berbagai negara mudah temukan di sini; masakan Turki, Italia, India, Arab, Vietnam, Perancis, Meksiko, dan Indonesia.  

Jalan lebar dengan trotoar luas dan rapi membelah wilayah Itaewon. Toko-toko berjejer rapi di kedua sisi jalan. Di balik etalasenya, manekin-manekin ditutupi pakaian berwarna abu-abu, hijau tua, merah bata hingga kuning kesumba. Modelnya juga beragam.

Di etalase bagian depan  disusun topi-topi lebar yang cantik dengan bahan wool, satin, kain, kertas, juga jerami. Disusul  gelang, kalung, hingga anting -untuk hidung dan telinga--, dari bahan perak, tembaga, kayu, akar pohon, dan tali berwarna-warni yang disusun rapi di atas beludru merah atau hitam.

Pada gang kecil di balik toko pakaian, terdapat berbagai bar yang menawarkan minuman beralkohol; soju, whisky, anggur, vodka. Sepanjang malam, dari dalamnya terdengar suara tawa yang riuh. Berbaur dengan hentakan musik dan denting gelas minuman. Aroma parfum dan alkohol berpadu dalam ruangan yang dipadati oleh manusia untuk bersenang-senang.

Pada masa penjajahan Jepang, di bagian barat Itaewon terdapat sebuah tangsi besar tentara Jepang. Tangsi itu kemudian dialihkan menjadi asrama tentara sekutu ketika terjadi perang saudara, tahun 1950-1953. Kini tempat itu dialihkan menjadi asrama militer Amerika yang bertugas di Korea Selatan. Di sebelah asrama militer itu terletak Museum Perang Korea, dengan tugu tinggi berbentuk selongsong peluru yang terbelah.

Puncak kemeriahan di Itaewon adalah pada perayaan Itaewon Global Villages Festival yang berlangsung di awal musim gugur setiap Oktober.  Saya melongok di antara penonton yang berdesakan menyaksikan parade budaya dari berbagi negara.

Pawai diawali peserta dari Korea yang menggunakan hanbok merah, kuning, hijau dengan riasan keemasan, menari sambil memainkan alat musik mirip gendang. Di belakangnya terlihat penari wanita dari India mengenakan sari, berjoged mengikuti irama gendang ketipung yang dimainkan dengan lincah oleh seorang pria bersorban besar.

Untung saja penari itu tidak sekalian membawa ular kobra dari India.  Kontingen Portugal hadir dengan pakaian matador lengkap dengan topi koboi. Tentu saja tanpa sapi atau banteng. Diikuti oleh penari wanita memakai rok lebar, yang dengan lincah menghentakkan kaki memain tarian flamingo.  

Tepuk tangan menggema begitu kontigen Indonesia tampil dengan pakaian adat Nusantara. Dalam balutan pakaian adat Aceh, Minang, Jawa dan Dayak, peserta dari Indonesia melenggang sambil menari Poco-Poco. Di panggung utama rombongan berhenti untuk memainkan Tari Saman, Penonton menahan nafas menyaksikan gerak penari yang cepat, lincah, tapi serempak. Tim Indonesia meraih medali perak untuk berbagai kategori dalam festival itu.

 Selama festival, jalan utama akan ditutup dan diisi tiga panggung musik. Di ujung timur terdapat panggung musik klasik yang memainkan karya Ludwig Van Beethoven, Johann Sebastian Bach, hingga Frederic Chopin. Pemain musiknya tampil parlente dalam jas resmi, lengkap dengan dasi kupu-kupu. Di bagian tengah adalah panggung untuk musik K-Pop, yang menampilkan grup K-Pop Mamamooo.  

Di panggung paling barat, terdapat sebuah panggung tinggi dengan meja besar yang dipenuhi peralatan elektrik musik tekno. Deretan speaker besar mengitari panggung. Seorang Disk-Jockey asyik memainkan berbagai peralatan musik, menggesekkan jemarinya untuk menciptakan bunyi derit mencerecit, layaknya bunyi ban yang tertahan di aspal saat kendaraan direm mendadak.

Nada melengking yang bising, kadang menaik dengan pitch yang frekunesinya memedihkan gendang telinga. Ditingkah dentuman bass dalam beat-beat menggetarkan jantung. Semua bunyi dimainkan tanpa instrument musik, tapi melalui alat elektrik; turntable, mixer, controller.

Cahaya spot-light berbagai ukuran dan warna berpendar di sekitar panggung.  Beberapa kali cahaya terang menyeruak langit kota yang sedang berpesta pora. Penonton berajojing sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi mengikuti irama hiphop. Inilah musik ikonik di wilayah Itaewon.

Hampir setiap tahun selama di Korea, saya menyaksikan Itaewon Global Villages Festival. Di stand minuman, ada penjual minuman yang membelah kelapa muda sambil memainkan golok tajam berkilat. Di sebelahnya, penjual shis kebab, makanan asal Irak, berbahan daging domba bakar dan ditusuk mirip sate. 

Aroma bumbu daging bakarnya amat menggoda sehingga banyak pengunjung rela mengantri panjang untuk belanja.  Saya juga mampir di stand bir buatan Korea, yang saya lupa mereknya. Saya suka rasanya yang kuat dan sedikit kelat. Tapi orang Korea lebih suka Bir Bintang, yang diminum bersama soju, arak tradisional.  

 Pada festival tahun berikutnya, saya menyusuri stand yang memajang kerajinan dari berbagai negara. Stand negara Afrika yang menjual gelang manik-manik, stand Turki yang memamerkan gelang keramik, teko-teko penuh ukiran, dan scraf. Di stand salah satu negara Amerika Latin saya lihat ada tas rajut berwarna coklat muda dengan benang halus. 

“Berapa?” tanya saya.

“Tujuh puluh ribu won,” jawab pria penjaga stand, sambil memperlihatkan brosur resmi.

“Hmmmm, mahal sekali…”

“Ini tas rajutan yang dibuat dengan tangan. Butuh waktu lama untuk membuatnya.”

‘Tapi saya tidak mau harga di brosur itu.”

“Baik. Saya diskon. Bayar saja lima puluh ribu won,” ujarnya.

Saya agak kaget juga karena dia memberi diskon banyak.

“Kenangan dari fetival tahun ini. Empat puluh ribu won ya.”

Pedagang itu berpikir sebentar. “Baik. Ini hadiah dari Bolivia untuk Anda,” katanya, menyebut negara asal kerajinan itu. 

Di stand Kenya dan Ethiophia, yang letaknya bersebelahan, saya lihat belasan wanita Korea mengantri. Wanita-wanita itu menjulurkan lehernya agar bisa dua gadis Afrika yang menjalin rambut dua orang pengunjung di stand bagian dalam. Dengan jari tangannya yang lincah, gadis itu menyusun helaian rambut jadi jalinan kecil dan halus, meninggalkan belahan-belahan memanjang di kulit kepala. 

Begitu selesai, wanita Korea meninggalkan tempat itu dengan senyum ceria, menikmati gaya rambut barunya. Jasa menjalin rambut itu tidak terlalu mahal. Hanya sepuluh ribu won atau seharga dua bungkus rokok. Jauh lebih murah daripada jauh-jauh ke Afrika untuk menjalin rambut, bukan? 

“Di Itaewon banyak tempat minum yang nyaman dan menyenangkan”, kata kolega saya asal Kamboja. Ia beberapa kali kemalaman dan ketinggalan bus untuk pulang. Daripada menyewa hotel, ia memilih duduk di kafe sampai menjelang subuh. Sepanjang malam ia duduk di sofa sambil minum bir, makan kacang dan beberapa potong roti. Tak ada yang menganggu?

“Selama kita bayar dan tidak bikin keributan, semua aman…”, ujarnya.

“Bagaimana dengan wanita?” tanya saya lagi.

“Oh, tak sulit mendapatkan pasangan sukarela di tempat seperti itu”, ujarnya. Bibirnya tersenyum tipis. Dalam keadaan fly dan suasana gembira, kita bisa menggandeng teman semeja menuju ruang dalam untuk menikmati dosa, hingga pagi.

“Berapa tarifnya?” selidik saya.

“Tanpa biaya dan balas jasa”, jelasnya. “Setiap orang datang untuk bersenang-senang. Bukan mencari uang. Hanya perlu sewa kamar.” 

Entahlah. Setidaknya, begitulah cerita kolega saya itu.

Di belakang Salam Bakery, toko roti milik imigran Turki, ada tangga tembok menuju sebuah jalan kecil di atasnya. Bila berjalan ke arah kanan, tak jauh dari ujung tangga itu akan terlihat bar untuk gay, lesbian, dan transgender. Itaewon memang memberi ruang bebas untuk kaum homoseksual.

Jika kita meneruskan langkah hingga di ujung gang itu, maka kita akan sampai pada sebuah jalan lain yang lebih besar. Itulah jalan menuju masjid, jalan utama dengan restoran yang menawarkan masakan halal, buku agama, tasbih, gamis.  

 Di sebuah tempat ketinggian di ujung jalan, di kesayupan suara denting gelas dan botol minuman keras, di antara samarnya aroma alkohol yang bercampur anyirnya cairan berahi, di sanalah berdiri sebuah bangunan berkubah besar; The Seoul Central Mosque. Itaewon tidak hanya menyajikan keragaman dan pesta yang meriah. Wilayah perbukitan itu juga menyimpan paradoks mencengangkan. (ivan adilla)



BACA JUGA