Petit France Destinasi Wisata dari Penjenamaan Dongeng

-

Kamis, 05/10/2023 07:57 WIB
Petit France destinasi wisata yang dibangun dengan jenama dongeng yang hidup di tengah masyarakat di Korea. Foto AI

Petit France destinasi wisata yang dibangun dengan jenama dongeng yang hidup di tengah masyarakat di Korea. Foto AI

OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)

Tujuan utama kami sebenarnya adalah Nami Island. Tapi biro perjalanan yang kami kontak, Klook, menawarkan paket perjalanan ke dua tempat sekaligus, Petit France dan Nami Island.

“Tempatnya berdekatan. Lebih murah jika mengambil dua destinasi sekaligus,” rayu petugasnya. Meski telah beberapa kali ke Nami Island, namun saya belum pernah ke Petit France. Tawaran itupun kami terima.  

Jam delapan pagi, saya, istri dan Mutia, keponakan kami, sudah menunggu jemputan di samping sebuah restoran cepat saji di Myeongdong. Bus wisata yang disediakan tidak terlalu besar. Hanya untuk sepuluh orang penumpang saja. Dalam rombongan kami, yang terbanyak adalah wisatawan asal China. Selain itu ada dua orang turis asal Vietnam. Orang asal Indonesia hanya kami bertiga.

Sepanjang jalan, pemandu menjelaskan perjalanan dan tujuan kami dalam bahasa China. Turis asal Vietnam ternyata mengerti bahasa China juga. Sesekali guide menoleh pada kami dan memberi penjelasan dalam bahasa Inggris. Penjelasannya singkat saja. Maklum, kami hanya tiga orang.  Kalau ada yang ingin ditanyakan, kami langsung saja bertanya ke guide-nya.

Dari Meyongdong, bus langsung melaju di jalan tol di pinggir Sungai Han. Selepas sungai, terlihat panorama persawahan luas di kelilingi perbukitan. Setelah itu dataran pemukiman. Satu jam kemudian kami sudah sampai di sebuah perempatan di kaki bukit.

Selepas persimpangan, cahaya menerpa deretan rumah bercat cerah nan eksotis di lereng yang perbukitan  yang landai.  Di bagian kanan jalan, ada bangunan bergaya Mediteranian, juga dengan warna cerah-ceria; kuning, biru muda, dan pink. Inilah Petit France, taman miniatur di perbukitan berundak yang menarik lebih dari lima ratus ribu pengunjung setiap tahunnya. Guide membeli karcis dan menuntun kami menuju gerbang masuk.

“Kita punya waktu satu jam di tempat ini,” jelas wanita muda dengan gaya rambut sporty itu.

Di panggung kecil dekat pintu masuk, sedang berlangsung pementasan teater boneka marionetee, permainan boneka tradisional asal Ckeko, yang dimainkan dalang wanita. Kami langsung duduk menghadap amphitheater kecil dari beton. Dengan jari-jarinya yang lincah, dua dalang wanita memainkan tali untuk menggerakkan bonekan kayu sambil berdialog. Tokoh boneka, aksesori, dan pakaian pemainnya, semuanya bernuansa Perancis. Hanya dialognya yang diucapkan dalam bahasa Inggris. Pertunjukannya dinamis dan interaktif. Penonton diajak bernyanyi dan bercnada menanggapi dialog lucu.

Usai menonton, kami melangkah ke arah kanan panggung. Menuju fountain square, sebuah taman dengan air mancur kecil dan patung anak-anak bergaya realis. Taman itu terletak di antara bangunan bergaya klasik Eropa yang dicat warna-warni. Beberapa bangku disediakan dekat kolam air mancur untuk bersantai. Seterusnya menuju Butterfly Park atau Taman Kupu-Kupu. Tapi tak ada kupu-kupu di sini. Yang ada hanyalah patung kupu-kupu warna-warni yang dipasang di tonggak besi. Ditata rapi di depan halaman rumah yang bergaya Eropa Klasik. Meski cuma kupu-kupu kertas, tapi karena ditata dengan baik, dia membuat taman itu menjadi indah dan menarik juga.

Ada enam belas bangunan bergaya Perancis di area ini. Tiap rumah memiliki koleksi berbeda. Ada yang berisi orgel berusia dua ratus tahun, aneka boneka keramik, koleksi foto, koleksi buku dan komik dan lukisan terkait novel Le Petit Princes. Pernak-pernik itu, konon diboyong langsung dari negeri asalnya Perancis. Bahkan ada sebuah rumah tradisional Perancis berusia 150 tahun yang diterbangkan dari Eropa ke Korea untuk dipajang di sini.

Di rumah ini kita bisa menyaksikan penataan interior, berbagai jenis perabot, hingga aksesoris kamar tidur rumah tradisional Perancis yang dikenal detil, rapi dan tertata itu. Saya bayangkan, alangkah repotnya ibu rumah tangga di Perancis harus mengurus semua barang pecah belah dan pernak-pernik sejak dari kamar tidur, ruang keluarga, ruang tamu hingga dapur.

Jenama Dongeng

France, which I met while traveling around the world, was beauty itself. At first glance, I was fascinated by French culture, which had a romantic and artistic atmosphere. It has become my lifelong dream to create a small and beautiful French village in Korea so that I can feel the thrill and emotion in Korea.

Demikian Hong Sob Han alias Mr. Han, penggagas dan pendiri tempat ini, menulis di situs Petite France. Pesona keindahan budaya adalah alasan utama kenapa ia membangun tempat wisata ini. Pesona itu muncul setelah ia membaca novel Le Petite Prince karya Antoine de Saint Exupery, yang diterjemahkan dengan judul Orin Wanja dalam bahasa Korea.

Le Petite Prince berkisah tentang anak kecil yang kecewa karena lukisannya tak dipahami orang dewasa. Ia tak lagi bercita-cita sebagai pelukis dan memilih menjadi pilot. Suatu saat, pesawatnya jatuh di Gurun Sahara. Seorang pangeran kecil menemaninya sambal meminta ia melukis gambar gajah, ular dan binatang lainnya. Pangeran bercerita tentang aneka bunga indah yang ia temui di planet lain dan minta dibuatkan gambar. Pertemuan itu melahirkan perubahan besar  dalam diri sang pilot. Ketika pesawatnya berhasil diperbaiki, ia pulang untuk berbagi kisah dengan orang lain.

Le Petite Princes lebih dikenal sebagai buku anak anak, jadi banyak versinya dalam bentuk komik. Namun demikian, banyak pembaca dewasa juga yang menyenanginya, karena kisah itu berisi pesan moral tentang persahabatan.

“Saya ingin memberikan masa kecil yang penuh kebahagiaan dan kehangatan bagi anak-anak dan juga orang dewasa untuk mengulang imajinasi masa kecil,” tulis Mr. Han.

Sebuah bangunan besar disediakan untuk memajang aneka koleksi sekitar Le Petite France. Di sini kita menyaksikan aneka lukisan tokoh komik, lukisan dan cover buku dalam berbagai bahasa. Juga beberapa episode menarik dari cerita itu dalam bentuk komik. Patung tokoh komik menemani saya melihat-lihat koleksi tersebut.  Juga ada tokoh komik Tintin dan Pinokio. Maka kami pun berfoto bersama patung tokoh fiksi itu.

Itu pertama kali saya berfoto bersama tokoh dongeng. Ada juga keinginan untuk  berfoto di depan patung Sangkuriang, Roro Jongrang, Bawag Merah dan Bawang Putih, atau Malin Kundang.Tapi ke mana saya harus mencari? Kenapa tak ada taman yang mengabadikan kisah dongeng negeri kita yang amat kaya itu? Alangkah menariknya jika saat berkunjung ke Surabaya, kita bisa mempelajari dan berfoto di depan patung Joko Tingkir. Atau berkunjung ke Tangkuban Prahu sambil mempelajari dongeng Sangkuriang?

Dulu sempat saya ingin berfoto di depan patung Malin Kundang, tokoh pendurhaka itu, Tapi karena area sekita patung kumuh dengan sampah, dan banyak bagian kapalnya yang sudah sumbing, saya jadi batal berfoto di sana. Apa menariknya berfoto di tempat kumuh dan rusak tak terawat itu? 

Mr. Han adalah seorang pengusaha kontruksi yang sukses. Kompetensi dan pengetahuannya  dalam bidang konstruksi memungkinkan ia mampu menghadirkan rumah-rumah bergaya klasik sebagaimana aslinya. Kecintaannya terhadap budaya Perancis menggiringnya untuk memburu dan mengumpulkan aksesori, keramik, hingga perabot dari Perancis.

Tempat wisata ini tumbuh dari kekaguman, dan diwujudkan untuk berbagi kebahagiaan. Bukan sekadar memburu keuntungan. Di Petit France saya justru menyaksikan bagaimana dongeng menjadi daya tarik wisata. Layaknya fiksi yang diwujudkan  menjadi kenyataan. (ivan adilla)



BACA JUGA