TKI
OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Hari masih pagi ketika saya berangkat ke Hwaseong, kota kecil di arah pantai barat. Bus yang saya tumpangi melewati jalan pedesaan yang sepi dengan panorama persawahan dan lahan pertanian. Saya mencium aroma jerami yang baru dipotong di antara segarnya hawa pedesaan. Tiga jam dalam perjalanan, akhirnya saya turun di halte dekat pasar.
Saya berjalan kaki menuju Masjid Darussalam, tempat berkumpul para pekerja Indonesia yang terletak di lantai dua sebuah apartemen. Di tempat inilah saya berjumpa Maman, yang telah tinggal di Korea selama lebih dari dua puluh lima tahun.
Maman berasal dari Palembang, Sumatra Selatan. Tubuhnya tegap dengan kulit agak terang. Rambut lurus dengan wajah klimis. Umurnya sekitar lima puluh tahun. Sebagai anggota senior di kota ini, kolega memanggilnya, Paman. Saya lebih suka memanggilnya Mang Cek, panggilan yang lazim untuk orang seusia itu di masyarakat Sumatra Selatan.
“Sudah lama di Korea, Mang Cek?” tanya saya saat kami berkumpul di dapur masjid, sambil menikmati kopi bersama beberapa pekerja lain.
“Wah, kalau Paman kita ini separuh hidupnya dihabiskan di Korea…” jelas Yudi, jamaah yang duduk di sebelah saya. Maman menanggapi jawaban itu dengan senyum tipis.
“Benar, Mang Cek?” tanya saya lagi.
Kali ini dia menjawab dengan anggukan kecil. Setelah merokok beberapa batang dan bertukar cerita tentang Sumatra, barulah Man Cek bersedia bercerita tentang perjalanannya di rantau ini.
Sebelum ke Korea, Maman telah menamatkan kuliahnya di sebuah universitas swasta di Bekasi. Tamat kuliah, ia mencari kerja dan menikah. Dua tahun bekerja, kehidupan makin sulit. Maka ia putuskan mengadu untung bekerja di Korea.
Dua tahun bekerja di Korea, ia berhasil melunasi seluruh utang sambil tetap mengirim biaya untuk keluarganya. Pada tahun berikutnya, ia bisa membangun rumah untuk keluarga di kampung. Dua tahun sekali ia mendapat cuti panjang dan pulang ke Palembang.
Kesempatan bekerja di Korea itu paling lama dua kali masa kontrak, yaitu delapan tahun, Setelah izin tinggal berakhir, Maman terus bertahan sebagai seorang overstayed. Maman enggan balik ke Indonesia. Untuk mendapatkan uang, ia bekerja serabutan sebagai ‘pekerja swasta’.
Tak takut ditangkap Mang Cek?
“Ah, Abang ni, kayak tak tahu saja bagaimana Orang Sumatra… dari daerah selatan lagi...” ujarnya pada saya. “Yang perlu itu, hati-hati. Jangan keluar rumah kalau tak perlu sekali.”
Menurut undang-undang Korea, kata Maman, petugas imigrasi maupun polisi hanya boleh menangkap seorang overstay kalau diizinkan oleh pemilik rumah. Jadi selama dia berada di rumah atau masjid, dia aman dari polisi. Polisi juga tak akan menangkap orang pada hari libur resmi, seperti Hari Raya Chuesok atau Imlek.
Terus, bagaimana caranya bekerja mendapatkan uang, Mang Cek?
“Saya minta jaminan dari majikan saya. Tapi majikan biasanya sudah paham, dan selalu memberikan pekerjaan yang jauh dari jangkauan polisi,” jelasnya.
Meski telah hati-hati, Maman pernah dua kali tertangkap polisi. Begitu tertangkap dan ditahan, dia minta majikannya membebaskan dan membayar uang denda untuk dirinya. Uang denda itu dia bayar kembali dengan cara mencicil dari gaji berikutnya.
Kenapa majikan mau bermurah hari membebaskan dan memberi jaminan?
“Memperkerjakan orang overstayed itu melanggar aturan. Jadi, kalau saya diadili dan dihukum, majikan saya juga akan terkena getahnya. Saya tahu ia memperkerjakan banyak pekerja swasta seperti saya,” jawab Maman.
Dibanding pekerja resmi, lapangan kerja untuk ‘pekerja swasta’ jelas lebih terbatas. Mereka umumnya bekerja di lapangan terbuka untuk memasang jaringan listrik, telepon, internet, konstruksi hingga perkebunan.
Sebagai pekerja ilegal, Maman digaji sesuai standar umum di Korea. Hanya saja, para pekerja ilegal alias swasta itu tidak mendapat asuransi kesehatan atau kecelakaan kerja dari perusahaan.
Kenapa dia tak pulang bekerja saja Indonesia, Mang Cek?
“Kalau saya balik ke Indonesia, mau kerja apa? Mana ada perusahaan yang mau menggaji buruh sampai tiga puluh juta sebulan seperti di sini?” jawab Maman,
Posisi sebagai pekerja ilegal membuat Maman tak bisa keluar-masuk Korea lagi. Saat kami bertemu, telah lebih dari lima belas tahun Maman tak pulang ke Indonesia. Sepanjang waktu itu ia selalu mengirim uang untuk anak dan istrinya di kampung. Apa tak rindu anak, Mang Cek?
“Justru saya bertahan karena harus mengirim uang untuk biaya kuliah anak bungsu saya”.
Tak rindu istri juga?
“Itulah mengapa saya rajin ke masjid. Biar tak salah jalan…” jawabnya sambil menatap saya. “Abang pahamlah. Jalanan aspal di sini memang mulus-mulus, tanpa lobang. Tapi kalau lobang berjalan…. hahaha”.
Rahangnya yang kokoh yang terbuka lebar. Suara tawanya menggema, tanpa beban. Apalagi rasa bersalah. Lelaki dari selatan Sumatra itu tampaknya telah bertekad untuk terus bekerja di Korea sebagai pekerja ilegal. (ivan adilla)