OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
Pada musim dingin kedua, saya kedatangan tamu istimewa. Yessi, istri saya berkunjung ke Korea bersama keponakannya. Kami pun merancang kegiatan untuk menikmati musim dingin. Melalui media sosial kami mendapat informasi bahwa ada jamaah masjid yang membuat paket liburan musim dingin.
“Kita ikut paket liburan itu saja, sambil bersilaturahmi,” usul saya,
Maka kami ikut rombongan dari Masjid Ansan untuk libur sambil bermain ski di Jisan Forest Resort, sebuah resor wisata dengan wahana ski yang cukup luas. Sampai di lokasi, kami menyewa paket alat bermain ski; sepatu, papan seluncur, dan tongkat. Pakaian tak perlu disewa karena sejak awal kami sudah memakai jaket tebal, celana anti air dan sarung tangan.
Sepatu ski itu ternyata keras dan berat. Perlahan kami melangkah menuju arena ski. Setelah beberapa kali tergelincir, akhirnya saya sampai di arena yang luas. Pelan-pelan saya menaruh sepatu di papan seluncur, bertelekan pada tongkat, dan mencoba meluncur. Hasilnya, tubuh saya terjerembab dan bergelimang salju hanya tiga meter dari tempat awal. Saya coba berdiri dan mengulangi beberapa kali. Tapi hasilnya tak jauh berbeda.
Muthia, keponakan kami yang masih muda, ternyata punya pengalaman yang sama. Yang berhasil hanya Yessi, istri saya. Ternyata ia lebih cepat beradaptasi dan menemukan kiat untuk menyeimbangkan tubuh. Setelah dua kali terjatuh, ia bisa meluncur agak jauh. Pada giliran berikutnya, ia membawa alat ski menuju tempat yang lebih tinggi dan meluncur berbelok-belok dengan riang. Saya dan Muthia hanya bisa menyaksikan dengan kagum dan rasa iri. Soalnya, kami lebih sering terjatuh daripada meluncur saat main ski.
Dalam rombongan jamaah masjid yang lagi libur itu, ternyata cukup banyak yang mahir bermain ski. Ya, banyak di antara mereka yang telah bertahun-tahun tinggi di Korea. Yayan, misalnya. Bujangan asal Madiun ini bertualang ke tempat-tempat bermain ski seantero Korea setiap kali musim dingin. Berkali-kali ia meluncur di Pyeongchang, arena olimpiade musim dingin berupa pegunungan salju yang luas dan curam.
Di Jisan Forest, Yayan bermain di arena ski yang tinggi dan menantang. Dengan kereta gantung yang disediakan, pemain dibawa naik ke area bukit. Dari sana meluncur sambil meliuk-liuk lincah ke arah bawah.
“Saya mau bawa semua alat ini pulang ke Indonesia,” ujar Yayan ketika kami berbincang saat istirahat.
“Untuk apa? Mau main ski di mana di kampung?” tanya saya heran.
“Tidak untuk main. Cuma sebagai kenangan bahwa saya bisa dan pernah menyenangi olahraga ini,” jelasnya.
Sejak bekerja di Korea, Yayan tergila-gila pada permainan ski. Jika teman-temannya menggunakan gaji untuk membeli pakaian dan jajan, lelaki bertubuh tinggi semampai itu justru membelikannya untuk mengoleksi hobi barunya; alat-alat dan pernak-pernik permainan ski.
Setiba di Indonesia, Yayan membuka sebuah restoran di kampung halamannya. Ia memajang dan menghias restoran itu dengan alat bermain ski yang dikoleksinya. Sementara saya, istri dan keponakan yang baru belajar, cukup mengabadikan pengalaman baru itu dengan cara memajang foto di album kenangan. (ivan adilla)