Annas Lubuk
RUMAH di kompleks Wisma Warta, Ulak Karang, Padang, tampak asri. Seorang perempuan lanjut usia, Hj Chairunisa, merawat rumah tersebut dengan kasih sayang. Ia telah lama ditinggal suaminya yang dipanggil Ilahi. Jalan di depan rumah sepi, rumah sebelah-menyebelah milik para wartawan juga sepi, banyak yang sudah meninggal dunia.
Rumah asri itu, milik almarhum H. Annas Lubuk, wartawan terkemuka di Sumatra Barat. Annas Lubuk, belasan tahun menjabat Pemimpin Redaksi Haluan. Anak Buyung Lubuk ini lahir di Padang 11 Juni 1935 dan meninggal dunia juga di Padang 24 Maret 2000. Namanya sekokoh kumisnya, seterkenal surat kabar yang ia pimpin, Harian Umum Haluan, satu dari sekitar 10 koran perjuangan di Indonesia yang lahir di masa Perang Kemerdekaan. Annas Lubuk muda, tamat Sekolah Jurnalistik di Bandung.
Annas Lubuk, Pemimpin Redaksi Haluan, berkantor di sebuah ruangan di lantai dua. Semua naskah berita masuk ke ruangannya lengkap dengan judul setelah melewati meja Herman L, wartawan yang kemudian menjadi anggota DPR-RI.
“Beliau wartawan lurus, kalau iya, maka iya, jika tidak, maka tidak,” kata istrinya Chairunisa.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai nakhoda, Annas Lubuk memang dikenal tegas. Mendengar namanya saja, orang sudah segan. Apalagi bagi kalangan wartawan Harian Haluan yang waktu itu bermarkas di Jalan Damar Nomor 59 Padang, tak ada yang berani menyanggah. Pokoknya, apa yang disampaikannya, pasti dituruti wartawan surat kabar dengan tiras terbesar waktu itu. Kontrol sosial yang ia bangun di Haluan sangat kuat, sehingga koran ini sekaligus menggambarkan identitas dan idealismenya. Pada beberapa momen, begitu kuatnya, sehingga jika sebuah berita belum muncul di Haluan, maka itu belum berita.
Pada masanya, almarhum membuat dunia pers Sumatra Barat menjadi “tak tergigit”, meski kontrol Orde Baru saat itu sangat kuat. Ia berdua dengan A. Pasni Sata (almarhum) sebagai Wakil Pemimpin Redaksi, terlihat padu memainkan perannya memajukan dunia pers di Sumbar, Riau dan Jambi. Harian Haluan berhasil melebarkan sayapnya hingga ke Kerinci, Jambi, Pekanbaru, Bengkulu, dan Jakarta. Di daerah yang disebutkan itu, Harian Haluan menancapkan perwakilannya dan memiliki kantor sendiri. Luar biasa!
Bila melihat Annas yang berkumis tebal dan wajah yang berwibawa, kesannya memang sedikit angker. Namun wartawan yang terkesan angker tersebut, ternyata memiliki hati yang lembut bagaikan kapas. Khairul Jasmi (sekarang Pemimpin Redaksi Harian Singgalang) sekitar 1990 datang ke ruang kerjanya untuk meminta pendapatnya tentang dunia pers Sumatra Barat. Hasil wawancara akan dimuat di Harian Semangat yang berulang tahun. Cerita Annas Lubuk yang angker tak ditemuinya sama-sekali. Bahwa kumisnya tebal, benar. Tapi ia elok alias baik hati. Pak Pemred ini mempersilakan wartawan muda “KJ” masuk ke ruangannya. Pertama bukannya wawancara, tapi disuguhi minum dan kue-kue yang tertata di samping meja kerjanya. Ia bercerita hal-hal lain terlebih dahulu, tertawa-tawa, baru kemudian soal dunia pers. Ia kemudian melepas wartawan muda itu sampai ke pintu ruangan kerjanya.
Harian Haluan, didirikan H. Kasoema bersama Adaham Hasibuan dan Amarullah Ombak Lubis pada 1 Mei 1948. Pada 1958, ketika PRRI koran ini berhenti terbit hingga Mei 1969. Empat wartawannya mati ditembak pasukan APRI alias Tentara Pusat dalam pergolakan PRRI. Haluan dianggap mendukung PRRI. Pemimpin Umum Kasoema ditangkap dan ditahan mulanya di Penjara Muaro, Padang, lalu dikirim ke Ambarawa. Wartawan muda Annas Lubuk sendiri sudah lebih dulu ditahan di Ambarawa, Jawa Tengah. Mereka baru dibebaskan tahun 1962, setelah pergolakan PRRI usai.
Setelah kudeta gagal G30S/PKI Orda Lama tumbang, dan Orde Baru berkuasa. Tetapi Haluan tak kunjung dapat izin terbit, dan percetakannya masih disita dan dikuasai aparat militer. Baru pada tahun 1969, atas bantuan Panglima Kodam III Brigadir Jenderal Widodo, percetakan Haluan yang disita tahun 1958, dikembalikan kepadanya. Surat Izin Terbit (SIT) pun diperoleh kembali, dengan catatan (tak tertulis) nama-nama yang mengelola Haluan lama tidak boleh tercantum dalam daftar pengasuh baru. Termasuk nama Kasoema dan Annas Lubuk sendiri harus disimpan dulu.
Dapat lampu hijau, Kasoema segera menyusun “pasukan” baru. Sebagai pemimpin redaksi diangkat Chairul Harun, seorang wartawan muda yang bisa diterima oleh pihak Kodam. Maka dengan wajah-wajah baru, seperti Leon Agusta, M. Joesfik Helmy, dan Syafri Segeh, dan Rusli Marzuki Saria, Harian Haluan terbit kembali sejak 1 Mei 1969. Annas Lubuk, meskipun sudah bekerja lagi di redaksi Haluan, tapi namanya belum boleh muncul.
Setahun kemudian, Chairul Harun mundur, digantikan Syafri Segeh. Syafri Segeh kemudian digantikan oleh Rivai Marlaut tahun 1973. Setelah itulah baru nama Annas Lubuk muncul
Setelah Rivai pensiun, maka kini giliran Annas Lubuk jadi pemimpin redaksi pada tahun 1983. Sejak itu sampai pensiun tahun 1995, ia tak tergantikan. Annas yang ganteng dan saat datang pertama kali ke Haluan memakai sepeda kumbang itu, memberi warna tersendiri bagi Haluan. Saat ia menjadi pemimpin redaksi, berdatanganlah sejumlah wartawan muda.
Annas Lubuk, seperti diakui para yuniornya di Sumatra Barat, memang wartawan yang kuat dan berkarakter. Ia membawa wibawa tersendiri bagi surat kabar tersebut. Jika belum keluar di koran itu, suatu berita dianggap masih kurang. Jumpa pers misalnya, jika wartawan Haluan telat datang, maka sering sekali acara ditunda dulu. Banyak berita yang tak boleh atau diimbau untuk tidak dimuat, di Haluan malah muncul. Koran inilah melalui Wapemrednya Pasni Sata yang menulis surat keluhan ke pemerintah pusat, betapa pers di Sumatra Barat merasa terkekang.
Annas tak peduli dengan tata letak yang kian smart meniru koran-koran Jakarta. Haluan ditata seperti Pos Kota. Foto yang disambung-sambung. Tak pernah lay out itu berubah sepanjang ia menjadi pemimpin redaksi. Tak perlu rapat redaksi, sebab semua kendali ada di tangan Annas Lubuk. Tapi ia memberi penugasan dengan teliti kepada jajarannya.
Wartawan generasi seperti Masri Marjan, Herman L., Benny Aziz, Nasrul Djalal kemudian M. Mufti Syarfie merasakan betapa kuatnya kepemimpinan Annas Lubuk. Bisa dikatakan, Herman L, Masri Marjan dan Mufti adalah tangan kanan Annas. Dalam kasus Ambo Departemen Store di Pasar Raya Padang misalnya, sengaja dibuat judul, “Untung Haluan Turun Tangan.” Ini adalah kasus penolakan departement store masuk pasar tradisional Pasar Raya Padang. Haluan telat mengangkat berita ini, yang terjun lebih awal adalah Semangat. Setelah itu Masri Marjan mewawancarai hampir semua pedagang kreatif lapangan (PKL) di pasar tersebut. Annas Lubuk memberi space pada berita itu sampai kasusnya tuntas
Kekuatan Annas adalah pada idealismenya, fokus pada isu sampai sebuah kasus itu terbongkar, tuntas dan diselesaikan oleh pemerintah. Sikap semacam itu tak berubah sama-sekali, meski ia kemudian menjadi anggota DPRD dari Golkar.
Sayang, walaupun memimpin redaksi Haluan belasan tahun, Annas tidak meninggalkan tulisan yang dimuat di koran itu. Juga profilnya tidak pernah ditulis di koran tersebut. Setelah ia meninggal dunia, ada gunjingan di Haluan, apalagi pendirinya H. Kasoema dua tahun kemudian menyusul pula meninggal dunia.
Kini manajemen Haluan sudah berpindah tangan di bawah manajemen Basko Grup. Tapi jejak Annas Lubuk tentu akan tetap dikenang, setidaknya oleh generasi yang mengenalnya. (Khairul Jasmi)
Disadur dari buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018)