Toboh, sumbarsatu.com — Hujan belum benar-benar pergi ketika kabar kematian itu datang dari balik bukit Malalak. Pagi yang seharusnya membawa terang justru menyuguhkan angka: sepuluh. 10 warga Malalak Timur ditemukan dalam kondisi tak bernyawa setelah banjir bandang—galodo—menyapu kampung mereka, Rabu, (26/11/2025).
Tubuh-tubuh itu semalam masih dicari di dalam lumpur. Pagi ini mereka terbaring kaku, dikelilingi keluarga dengan mata sembap dan doa yang tergelincir tak utuh. Di Puskesmas Malalak, keheningan terasa lebih nyaring daripada sirene. Tak ada yang ingin percaya bahwa hari ini bukan awal pencarian, melainkan akhir dari kerinduan.
Di sinilah tragedi itu menancapkan kukunya: di sebuah nagari sunyi di lereng Bukit Barisan bernama Nagari Malalak Timur, Kecamatan Malalak, Agam—sebuah kampung agraris yang hidup dari ladang, kebun campuran, dan sisa-sisa hutan adat. Jalan berliku adalah keseharian. Tebing curam mengawal setiap perjalanan. Dan sungai-sungai kecil mengalir di samping rumah seperti urat nadi kampung.
Duka Nagari yang Baru Seumur Jagung, Tua oleh Ingatan
Tak banyak yang tahu: Malalak Timur sebenarnya adalah nagari yang relatif “muda”. Ia baru berdiri sebagai nagari definitif dalam satu dekade terakhir hasil pemekaran dari Nagari Malalak lama. Pada 24 Februari 2005, Malalak dimekarkan menjadi empat nagari: Malalak Timur, Malalak Barat, Malalak Utara, dan Malalak Selatan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Agam Nomor 3 Tahun 2005.
Dua tahun kemudian, pada 24 Mei 2007, wilayah Malalak resmi menjadi kecamatan definitif hasil pemekaran dari Kecamatan IV Koto. Keputusan itu bukan datang dari atas meja saja, melainkan buah panjang perjuangan orang-orang Malalak—baik yang tinggal di kampung maupun yang merantau—yang sejak lama mendambakan otonomi wilayah sendiri.
Secara administratif, Malalak Timur hari ini menaungi lima jorong: Limo Badak, Saskand, Subarang Pakan Usang, Toboh, dan Bukik Malanca. Dari Toboh itulah, kabar kematian itu menyebar seperti angin yang tak bisa dibendung.
Dengan luas wilayah sekitar 1.600 hektare, nagari ini berada di ketinggian antara 800–1.000 meter di atas permukaan laut. Suhu berkisar antara 18–30 derajat Celsius. Ia berbatasan langsung dengan Nagari Balingka dan Kecamatan IV Koto di utara, Kabupaten Tanah Datar di timur, Malalak Utara dan Barat di barat, serta Malalak Selatan di selatan. Semua garis batas itu bukan sekadar peta; ia adalah jalur hidup dan sekaligus jalur rawan bencana.
Lanskap indah ini menyimpan paradoks. Tanah subur yang menghidupi warga juga mudah runtuh ketika hujan tak lagi bersahabat. Lereng curam berubah menjadi seluncur lumpur. Sungai kecil mendadak menjadi lorong maut. Dan dalam hitungan menit, kampung yang damai berubah jadi medan evakuasi.
Di Puskesmas, Harap Putus di Tangan Identifikasi
Koordinator Lapangan Basarnas Padang, Atta Priyono, menyampaikan temuan korban dengan suara setipis hujan yang menggantung di atap seng.
“Ada 10 korban ditemukan meninggal. Seluruhnya sudah dievakuasi ke Puskesmas untuk proses identifikasi,” katanya.
Namun galodo belum kenyang. Lima warga lainnya belum ditemukan. Tanah dan batu masih menelan tubuh mereka entah di mana.
Pencarian menjadi perjudian dengan maut. Longsor susulan muncul tanpa aba-aba. Bahkan sebagian personel tim gabungan sempat terjebak. Sejak Kamis dini hari pukul 03.00 WIB, suara mesin dan komando bercampur ratap. Basarnas, BPBD Agam, TNI, Polri, Brimob, dan relawan bergerak seperti satu tubuh menantang alam.
“Akses kendaraan terputus total. Posko utama dua kilometer dari titik bencana,” kata Atta.
Dan di Malalak, dua kilometer bukan jarak biasa. Ia berarti licin, curam, gelap, serta waktu yang merayap ketika nyawa dipertaruhkan.
Ketika Galodo Menjelma Kelaparan
Bencana tak berhenti pada kematian. Ia menjelma krisis yang lebih sunyi: kelaparan.
Lebih dari 500 warga di Jorong Toboh dan Limo Badak terisolasi total. Jalan tak bisa dilalui. Beras habis. Dapur tak mengepul.
“Kami tidak punya apa-apa untuk dimakan hari ini,” kata seorang warga lirih, mengalahkan suara hujan.
Camat Malalak, Ulya Satar, mengonfirmasi: dua nagari terputus. “Satu-satunya harapan sekarang bantuan lewat udara,” katanya.
Di titik ini, galodo bukan lagi peristiwa alam semata, melainkan cermin ketimpangan infrastruktur. Ketika satu jalan putus, ratusan warga terpenjara di kampung sendiri.
Duka, Lapar, dan Pertanyaan pada Negara
Malalak malam itu tak hanya gelap oleh listrik yang mati, tapi oleh rasa kehilangan. Rumah jadi lumpur. Dapur jadi sunyi. Jalan jadi kenangan.
Namun pertanyaan lebih tajam mengambang di udara: apakah nagari di perbukitan ini akan selalu menjadi korban yang terlambat diselamatkan?
Ketika bencana datang, kita sibuk membagi sembako. Tapi siapa yang menyiapkan jalan ketika listrik padam? Siapa yang memperkuat lereng sebelum hujan turun? Siapa yang membangun sistem peringatan sebelum galodo datang?
Bencana memang tak bisa dihindari. Tapi korban seharusnya bisa dikurangi.
Dan di Malalak Timur, mungkin inilah yang paling menyakitkan: nagari yang lahir dari perjuangan panjang kini bertahan dari ketidakpastian.
Hujan perlahan reda. Tapi Malalak belum kering. Ia masih menghitung kehilangan—dan menunggu kehadiran negara bukan sebagai pengantar belasungkawa, tapi sebagai penjamin keselamatan.
Galodo telah datang membawa duka. Tapi lapar tak seharusnya menyusul.Dan jika kita belajar dari Malalak, satu hal tak boleh dilupakan: tak ada nagari yang layak ditinggalkan sendirian menghadapi bencana. ssc/mn