Menimbang Ulang Kritik Popy Asmiati atas Koreografi "Suwung"

Jum'at, 05/12/2025 20:42 WIB
Tari

Tari "Suwung" ciptaan Benny Krisnawardi

OLEH Riska Amanda (Program Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia Padangpanjang)

KARYA tari Suwung ciptaan Benny Krisnawardi ditampilkan pada masa pandemi Covid-19 dalam program Layar Terkembang di Indonesia Dance Festival (IDF) 2020, pada 7 November 2020, melalui platform digital. Diproduksi oleh IDF sebagai respons terhadap keterbatasan ruang gerak seniman, karya ini mengeksplorasi kemungkinan tubuh dalam ruang virtual.

Mengusung sinopsis “memejam tubuh menuju ruang dalam memaknai pandemi sebagai bualan melihat diri,” Suwung tidak hanya menawarkan pengalaman estetis, tetapi juga refleksi eksistensial atas kesunyian kolektif masyarakat.

Sebagai penonton kedua yang mengkaji karya ini melalui dokumentasi video di kanal YouTube IDF, saya menempatkan diri dalam posisi kritikus lanjutan terhadap tulisan kritik sebelumnya yang ditulis oleh Popy Asmiati mahasiswi Program Studi Seni Tari, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Kritik Popy diterbitkan oleh IDF dalam kanal “Kritik dan Kritisi dalam Karya Tari IDF” dengan judul ulasannya terhadap Suwung .

Dalam kritik awal tersebut, Popy menitikberatkan pembacaan pada dominasi visual pandemi seperti penggunaan masker, ruang kosong, dan atmosfer kesendirian  sebagai elemen utama pembentukan makna. Popy memandang Suwung sebagai artikulasi rasa hampa yang tercipta dari interaksi antara tubuh penari dengan bahasa visual sinema.

Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Dancis (1981) bahwa kritik seni adalah proses berlapis yang memungkinkan setiap pembacaan membuka ruang bagi pembacaan berikutnya, maka tulisan ini hadir sebagai kritik kedua. Tujuannya bukan untuk membantah kritik Popy, tetapi untuk memperluas, mendalami, dan menggeser fokus pembacaan, terutama pada aspek tubuh, yang dalam kritik Popy belum memperoleh elaborasi memadai.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Susan Leigh Foster (1995) yang menegaskan bahwa “the body is the very site where meaning is produced” tubuh adalah pusat produksi makna.

Oleh karena itu, memahami Suwung semata melalui perangkat visual akan selalu menyisakan ruang makna yang hilang. Kritik saya berupaya mengisi ruang tersebut dengan menelisik bagaimana tubuh, ruang, dan medium digital saling berkelindan menghasilkan pengalaman estetis yang lebih kompleks daripada sekadar ilustrasi pandemi.

Penekanan pada Visual

Popy melihat kekuatan Suwung berada pada kemampuannya membangun atmosfer krisis melalui permainan visual. Ia menelaah bagaimana simbol-simbol pandemi hadir melalui cahaya, proyeksi, dan perangkat multimedia. Pandangan ini relevan, terutama ketika pandemi memaksa dunia seni memasuki ruang digital.

Namun, fokus yang sangat kuat pada visual menghasilkan pembacaan yang cenderung mereduksi peran tubuh penari. Teori Auslander (1999) menyatakan bahwa dalam pertunjukan kontemporer, “the live and the mediatized are inseparable”.

Dengan demikian, dominasi visual tidak semestinya diletakkan sebagai ancaman terhadap tubuh, melainkan bagian dari relasi yang saling membentuk.

Permasalahan yang muncul dari kritik Popy bukan karena ia salah membaca, tetapi karena ia belum mengaitkan visual tersebut dengan keberadaan tubuh. Padahal, tubuh tetap menjadi pusat penciptaan makna, bahkan ketika dibatasi oleh medium digital.

Tubuh sebagai Medium yang Direduksi

Dalam koreografi Suwung, tubuh penari menghadirkan gerak yang tertahan, langkah yang ragu, dan napas yang teredam. Bentuk-bentuk ini bukan kelemahan, tetapi representasi paling jujur dari suasana pandemi. Butler (1990) menyatakan bahwa tubuh memperoleh makna melalui tindakan performatif yang berulang. Maka repetisi gestur minimalis dalam karya bukan sekadar estetika, melainkan tindakan yang menciptakan identitas tubuh di masa krisis.

Sementara Popy lebih menyoroti bagaimana visual “menguasai” panggung, kritik ini melihat bahwa tubuh yang terbatasi justru menghadirkan kekuatan baru: tubuh yang sunyi tetapi penuh makna. Foster (1995) menekankan bahwa tubuh tidak hanya medium ekspresi, tetapi lokasi utama di mana makna dinegosiasikan. Melalui perspektif ini, tubuh yang nyaris diam dalam Suwung bukan hilang melainkan berbicara melalui kesunyian.

Lebih jauh lagi, Mauss (1934) menjelaskan bahwa teknik tubuh dibentuk oleh konteks sosial. Gerak yang lambat dan terbatas dalam karya dapat dipahami sebagai teknik tubuh yang tercipta akibat situasi pandemi, mempertegas bahwa konteks sosial ikut membentuk koreografi.

Visual sebagai Strategi Artistik

Popy melihat visual sebagai sisi yang “menenggelamkan” tubuh. Namun, perspektif yang lebih luas menunjukkan bahwa dominasi visual merupakan strategi artistik yang disengaja. Dixon (2007) menjelaskan bahwa dalam era digital, tubuh sering tampil sebagai “digital body” terfragmentasi, diperkecil, atau difragmentasi namun tetap memiliki kekuatan afektif.

Hal ini terlihat jelas dalam Suwung, tubuh yang kecil dalam frame, atau hanya tampak sebagai siluet, menciptakan pengalaman emosi yang justru lebih tajam. Dalam konteks ini, “ketenggelaman tubuh” tidak perlu dibaca sebagai kekurangan, melainkan sebagai representasi estetis tentang bagaimana tubuh manusia kehilangan kendali atas ruang, waktu, dan teknologi selama pandemi.

Pavis (1998) menguatkan hal ini dengan pandangannya bahwa panggung adalah partner tubuh, bukan sekadar wadah. Ruang kosong dalam Suwung bukan properti, tetapi dialog yang membentuk makna kesunyian dan keterasingan. Maka, dominasi visual dan ruang bukanlah ancaman, tetapi kehadiran yang mempertegas tubuh dalam cara baru.

Ruang Kritik yang Perlu Diperdalam

Dengan menjadikan tulisan Popy sebagai titik awal pembacaan, terdapat beberapa aspek penting yang sebenarnya dapat diperluas untuk memahami Suwung secara lebih komprehensif. Kritik pertama yang disampaikan Popy memang telah membuka ruang diskusi, namun sejumlah sisi artistik karya belum sepenuhnya tergarap dalam analisanya.

Aspek pertama yang patut diperdalam adalah persoalan koreografi dan dinamika gerak tubuh. Popy menilai bahwa tubuh penari dalam Suwung sering kali tidak berkembang karena tersisihkan oleh dominasi visual. Namun jika ditinjau melalui teori gerak yang dikembangkan Laban, kualitas gerak yang minimal, tertahan, atau repetitif justru dapat dibaca sebagai bentuk ekspresi emosional yang intens.

Gerak lambat, diam yang panjang, atau tubuh yang tampak terkungkung bukan hanya sekadar minim eksplorasi, melainkan mencerminkan tekanan psikologis dan trauma kolektif pada masa pandemi.

Dengan demikian, apa yang terlihat “kurang” dalam pandangan Popy sebenarnya membuka dimensi lain, tubuh sedang menegosiasikan keterbatasan bukan kehilangan fungsinya.

Aspek kedua adalah keterhubungan tubuh dengan ruang. Popy memang telah mengamati penggunaan air, batu, dan gelap sebagai atmosfer, tetapi belum menyinggung bagaimana ruang itu sendiri menghasilkan makna.

Ruang kosong dalam Suwung tidak semata-mata dekor minim, melainkan representasi visual dari “kesunyian” yang ingin dihadirkan. Ketika penari bergerak dalam area yang luas tetapi tetap menggunakan ruang secara terbatas, tercipta ketegangan antara kemungkinan dan pembatasan.

Pembacaan ruang semacam ini memperlihatkan bahwa kekosongan bukan hanya latar, tetapi bagian dari dramaturgi emosional karya sesuatu yang belum menjadi fokus dalam kritik Popy.

Aspek ketiga menyangkut hadirnya teknologi digital yang dinilai Popy sebagai elemen yang “menenggelamkan tubuh”. Penilaian tersebut memang relevan dari pengalaman visual penonton, namun dapat diperdalam dengan melihat bagaimana tubuh dalam karya ini sebenarnya tidak dipadamkan oleh visual, melainkan dikonstruksi ulang.

Dalam konteks pandemi, tubuh manusia hidup di dalam jaringan digital pertemuan virtual, informasi medis, citra pandemi yang berseliweran di layar. Suwung memindahkan pengalaman kolektif itu ke panggung, sehingga tubuh penari dan visual digital saling menegaskan kehadiran satu sama lain.

Dominasi visual dalam hal ini bukan kelemahan koreografi, melainkan pilihan estetik yang menegaskan bahwa tubuh fisik selama pandemi selalu beriringan dengan tubuh-tubuh representasional yang hadir melalui layar.

Dengan memperluas pembacaan pada tiga aspek ini gerak, ruang, dan media digital kritik terhadap Suwung menjadi lebih berlapis dibandingkan pembacaan awal Popy. Kritik Popy memberi fondasi yang baik, namun dengan menambahkan perspektif gerak, dramaturgi ruang, dan performativitas digital, karya Suwung dapat terbaca sebagai upaya artistik yang lebih kompleks daripada sekadar pertunjukan yang “ditenggelamkan” oleh visual.

Di titik inilah kritik lanjutan menjadi penting, bukan untuk mematahkan pendapat sebelumnya, melainkan untuk memperkaya cara kita memahami hubungan tubuh, ruang, dan teknologi dalam tari kontemporer di masa krisis.

Kritik Popy Asmiati memberi sumbangan penting dalam membaca Suwung, terutama pada aspek visual. Namun, penekanan yang kuat pada visual menyebabkan tubuh yang menurut Foster (1995) adalah pusat makna seni tari menjadi kurang tergarap.

Kritik kedua ini memperluas jangkauan pembacaan dengan menunjukkan bahwa tubuh dalam Suwung tidak hilang, melainkan hadir dalam bentuk yang sunyi, terbatas, dan penuh daya ekspresif.

Dengan membingkai Suwung melalui teori tubuh, performativitas, koreografi, dan digital performance, karya ini tampak bukan sekadar eksplorasi visual pandemi, tetapi refleksi mendalam tentang pengalaman tubuh manusia dalam masa krisis.*

DAFTAR PUSTAKA
Auslander, P. (1999). Liveness: Performance in a mediatized culture. Routledge.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. Routledge.
Dixon, S. (2007). Digital performance: A history of new media in theater, dance, performance art, and installation. MIT Press.
Foster, S. L. (1995). Choreographing history. Indiana University Press.
Laban, R. (1950). The mastery of movement. Macdonald & Evans.
Mauss, M. (1934). Techniques of the body. Economy and Society, 2(1), 70–88. (English translation published later).
Pavis, P. (1998). Dictionary of the theatre: Terms, concepts, and analysis. University of Toronto Press.



BACA JUGA