WALHI: Kerusakan Hulu DAS Picu Banjir Sumbar, 780 Hektare Hutan Aia Dingin Hilang

Rabu, 03/12/2025 22:29 WIB

Foto profil kumparancom
kumparancom
 
3 hari
Batang kayu gelondongan terdampar di pantai setelah banjir bandang dan tanah longsor yang mematikan melanda Padang, Provinsi Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). foto kumparancom

Foto profil kumparancom kumparancom 3 hari Batang kayu gelondongan terdampar di pantai setelah banjir bandang dan tanah longsor yang mematikan melanda Padang, Provinsi Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). foto kumparancom

Jakarta, sumbarsatu.com — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada 25–27 November 2025 bukan semata bencana alam, melainkan bencana ekologis akibat kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang diperparah oleh kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang permisif.

WALHI mencatat per 1 Desember sebanyak 442 orang meninggal, 402 orang hilang, dan 156.918 orang mengungsi di tiga provinsi tersebut. Periode 2016–2025 juga disebut sebagai masa dengan tekanan berat terhadap hutan, dengan 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terdeforestasi akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang berbagai izin tambang, HGU sawit, kehutanan, panas bumi, hingga pembangkit listrik.

Sumbar: Kerusakan Hulu DAS Jadi Peringatan

Di Sumatera Barat, WALHI menyoroti kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Aia Dingin di Kota Padang. DAS seluas 12.802 hektare itu, yang bagian hulunya berada di kawasan konservasi Bukit Barisan, kehilangan 780 hektare tutupan pohon sepanjang 2001–2024. Mayoritas deforestasi terjadi di hulu—wilayah kunci untuk meredam limpasan air dan mencegah banjir bandang.

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumbar, Andre Bustamar, menyebut bencana di Sumbar sebagai akumulasi krisis lingkungan karena lemahnya pengelolaan sumber daya alam.

“Penyebab bencana di Sumbar diakibatkan oleh akumulasi krisis lingkungan karena gagalnya pemerintah dalam melakukan pengelolaan SDA. Deforestasi, pertambangan emas ilegal, lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab kenapa Sumbar terus didera bencana ekologis,” ujar Andre Bustamar dalam relis yang disiarkan website WALHI pada Senin (1/12/2025).

Ia menunjuk fenomena kayu gelondongan yang hanyut di sungai sebagai indikasi aktivitas penebangan di hulu.

“Fenomena tunggul-tunggul kayu yang hanyut terbawa arus sungai menunjukkan adanya aktivitas penebangan di kawasan hulu DAS. Ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih berlangsung dan menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko bencana ekologis,” tegas Andre.

Jejak Kerusakan di Aceh–Sumut

Di Aceh, WALHI mencatat 954 DAS, dengan 20 DAS berstatus kritis. Beberapa DAS besar—Krueng Trumon, Singkil, Peusangan, Tripa, Tamiang—mengalami degradasi tutupan hutan antara 36% hingga 75%. Di Sumatera Utara, wilayah paling terdampak berada di lanskap Batang Toru (Harangan Tapanuli) yang mengalami deforestasi 72.938 hektare (2016–2024) akibat operasi 18 perusahaan.

Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Solihin, menegaskan krisis ini bukan peristiwa alamiah semata.

“Bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktifm,” kata Ahmad Solihin

Ia menilai respons negara masih berat di hilir. Pemerintah gagal menghentikan kerusakan di hulu dan terjadi pembiaran, justru terpaku pada solusi tambal-sulam di hilir seperti pembuatan tebing sungai dan normalisasi sungai.

Dari Sumatera Utara, Direktur Eksekutif WALHI setempat, Riandra Purba, menyebut Batang Toru sebagai episentrum krisis.

“Model pengelolaan Batang Toru, misalnya PLTA Batang Toru, selain memutus habitat orang utan dan harimau, juga merusak badan-badan sungai… Ditambah pertambangan emas di sungai dan alih fungsi hutan oleh kebun kayu,” ujar Riandra Purba.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, mendesak evaluasi menyeluruh izin perusahaan.

“Penyebab bencana ekologis saat ini adalah pengurus negara dan korporasi. Maka tanggung jawab pengurus negara adalah mengevaluasi seluruh izin perusahaan… Jika harus dicabut, ya cabut,” tegasnya.

Ia juga meminta negara menagih biaya eksternalitas dan memulihkan ekosistem yang rusak.

Peringatan Dini Diabaikan

Menurut Direktur WALHI Yogyakarta, Gandar Mahojwala, peringatan dini seharusnya cukup menjadi dasar mitigasi.

“BMKG menyatakan 17 November telah terdeteksi Pusat Tekanan Rendah, dan 21 November menjadi Bibit Siklon. Peringatan dini sudah ada, namun tidak direspons serius oleh pemerintah,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Tidak ada yang namanya bencana alam; kerentanan dibentuk oleh aktivitas perusahaan,” jelas Gandar Mahojwala.

WALHI juga meminta pemerintah segera mengesahkan Analisis Risiko Bencana sebagaimana diatur UU No. 24/2007 agar proyek berisiko tinggi diwajibkan mengkaji dampaknya sebelum berjalan.

Seruan Status Bencana Nasional

Manager Penanganan dan Pencegahan Bencana Ekologis WALHI Nasional, Melva Harahap, menyatakan dampaknya sudah melumpuhkan pranata kehidupan.

“Rakyat kehilangan rumah, keluarga, kebun, dan rasa aman… infrastruktur rusak, listrik mati, sinyal putus, BBM langka, bahan pangan menipis,” katanya.

Ia mendorong penetapan status bencana nasional agar koordinasi lintas kementerian dipercepat, sambil mengingatkan agar pertanggungjawaban korporasi tidak gugur dengan pelabelan “bencana alam”. ssc/mn



BACA JUGA