KASUS KASIUS
Kepala Dinas DP2KBP3A Pasaman Barat dr .Ana Rahmadia menyebutkan, tujuan sosialisasi tersebut untuk mengurangi angka kekerasan terhadap anak di Pasaman Barat.
Ia menyebut bahwa hingga Juli 2023 terdapat 26 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan dengan rincian 5 kasus kekerasan perempuan dan 21 kasus kekerasan terhadap anak-anak. Masih banyak kasus kekerasan anak dan perempuan yang tidak dilaporkan karena enggan atau malu.
"Dengan sosialisasi ini diharapkan kekerasan terhadap anak dicegah secara dini dengan melibatkan peran serta masyarakat secara luas," katanya.
Sosialisasi tersebut menghadirkan peserta dari pengurus Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Pasaman Barat, bundo kanduang, pengurus Dharmawanita, utusan wirid yasin anak, pengurus PKK dan utusan wali nagari, RS Ibnu Sina Simpang Empat, dan aktivis perempuan.
Dia menyebutkan untuk melibatkan peran serta masyarakat itu, pihaknya juga telah membentuk wadah dalam sebuah program yang dikenal dengan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di tingkat nagari. Unsurnya terdiri dari unsur tokoh masyarakat, alim ulama, pemuda, aktivis perempuan, dan tokoh masyarakat.
"Kalau dulu PATBM kita ada pada 19 nagari, sekarang karena nagari sudah mekar menjadi 90 nagari, maka PATBM kita juga 90," kata Ana Rahmadia.
Narasumber juga dihadirkan dari Panit PPA Polda Sumbar AKP Alfian Nurman didampingi Kanit PPA Polres Pasaman Barat Ipda Admi Pandowita serta Psikolog Reza Mendoza, Psikolog Klinis RSAM Bukitinggi.
Menurut Alfian jika ada informasi di sekitar warga, maka masyarakat jangan ragu melaporkan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan atau penelantaraan anak, ke Polres Pasaman Barat atau ke Polsek setempat, karena kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan tidak bisa di restorasi justice (penyelesaian di luar pengadilan).
"Insyaallah kami akan manangani perkaranya untuk diproses secara hukum," katanya.
Namun demikian, kata Alfian, yang terpenting dilakukan orangtua atau masyarakat adalah melakukan langkah-langkah pencegahan terjadi kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik maupun seksual secara dini atau preventif.
Dia menyebut kejahatan terhadap anak bisa dipidana penjara dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
Bahkan bisa ditambah pemberatan lima tahun jika pelakunya adalah sosok tauladan yang seharusnya melindungi seperti guru, atau orangtua sendiri sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2016.
"Oleh karena itu langkah-langkah pencegahannya agar anak terhindar dari kejahatan diantaranya, jalin hubungan komunikasi dengan tetangga, kenali lingkungan bermain anak, jaga keterbukaan dg anak, jadikan anak sahabat, deteksi dini terhadap anak," katanya.
Disebutkan, ajarkan juga anak mengenali anggota tubuhnya yang tidak boleh disentuh orang lain, mewaspadai anak terhadap orang yang tak dikenal, mengajari anak berteriak jika ada orang yang menyentuhnya.
"Nah kewajiban masyarakatlah secara bersama melindungi anak, dan keluarga sesuai dengan UU No 35 tahun 2014," katanya.
Sementara Reza Mendoza yang menyajikan materi 'Kekerasan Terhadap Anak: Suatu Tinjauan Psikologis' lebih banyak menyoroti peran orangtua, guru dan peran masyarakat untuk mendidik anak secara kasih sayang atau dengan hati serta penuh kelembutan.
"Apalagi di tengah pengaruh teknologi android sekarang ini orang tua harus berpandai-pandai mendidik anaknya untuk pandai membagi waktu dengan cara-cara yang lembut. Jangan caci anak dengan kata-kata yang kasar jika dia salah. Tapi jadikan anak sahabat," katanya.
Dia menyebut Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) pada tahun 2018 pada kelompak anak usia 13-17, 63 % persen korbannya anak perempuan pernah mengalami kekerasan fisik, emosional dan seksual, dan 61,7 anak laki-laki.
Artinya, anak perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan dibanding anak laki-laki, maka perlu kewaspadaan semua orangtua agar mengawasi putra-putrinya sebagai aset masa depan. SSC/NIR