
Dalam ritus Arak Sadakah Padi di Nagari Padang Laweh, Sijunjung, masyarakat membawa hasil panen ke masjid sebagai wujud rasa syukur. Padi yang disedekahkan diperuntukkan bagi kegiatan keagamaan dan sosial di nagari. (Foto: EU)
Padang, sumbarsatu.com —Pertemuan antara Islam dan adat Minangkabau sejak berabad-abad silam tak pernah kehilangan daya tariknya. Dari perjumpaan dua sistem nilai ini lahir dialektika sosial-keagamaan yang dinamis—kadang penuh perdebatan, namun justru memperkaya kehidupan masyarakat Minangkabau.
Dialektika inilah yang direkam seniman foto dan peneliti budaya Edy Utama dalam pameran etnofotografi bertajuk Islam di Minangkabau: Surau dan Ritus Keberagamaan di Sumatera Barat.
Pameran ini rencana dibuka Gubernur Sumarra Barat Mahyeldi Ansharullah pada Jumat (24/10/2025) pukul 19.30 di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat. Pameran menampilkan sekitar 200 foto hasil riset dan dokumentasi selama dua dekade (2005–2025).
Ketua penyelenggara Muhammad Taufik mengatakan, pameran ini berangkat dari pergumulan historis antara dua arus besar pemikiran Islam di Minangkabau: Ulama Kaum Muda yang membawa semangat pembaruan, dan Ulama Kaum Tua yang berpegang teguh pada tradisi surau tarekat.
“Kedua arus ini tidak saling meniadakan, melainkan saling menghidupi. Dari sinilah tumbuh dinamika keberagamaan yang khas di Ranah Minang,” ujar Muhammad Taufik kepada sumbarsatu, Selasa (21/10/2025).
Surau: Titik Temu Ritus Adat dan Agama
Menurut Taufik Abdullah (2018), gerakan Islam modernis yang dipelopori Kaum Muda — seperti Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Syekh Jamil Jambek, dan Haji Abdullah Ahmad — menjadikan pendidikan sebagai pilar utama kemajuan umat. Perubahan besar terjadi ketika pada tahun 1912, Haji Rasul mengubah sistem halaqah di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, menjadi madrasah, yang kemudian melahirkan Perguruan Thawalib.
BACA
WAWANCARA, Edy Utama: Etnofotografi Harus Jadi Objek Kajian Budaya
Pameran Etnofotografi Edy Utama, Saksi Pergeseran Lanskap Minangkabau
Etnofotografi Edy Utama, Alam Takambang Manjadi Guru
Minangkabau Cultural Landscape dan Karya Fotografi Edy Utama
Sementara itu, Kaum Tua seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Canduang) dan Syekh Abbas Ladang Lawas tetap menjaga sistem pendidikan surau. Namun mereka pun tak menutup diri terhadap perubahan, membuktikan bahwa tradisi mampu beradaptasi tanpa kehilangan akar spiritualnya.
Di Pariaman, perayaan Maulid Nabi selalu menjadi momen yang meriah dan sarat kebersamaan. Masyarakat berbondong-bondong datang ke masjid, membawa sumbangan yang disusun indah di ranting kayu bernama bungo lado—simbol sedekah dan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. (Foto EU)
Melalui kamera Edy Utama, publik diajak menyimak beragam ritus keagamaan yang hidup di Minangkabau, seperti bakuud, arak sadaqah, manyaratuih hari, dan balimau menjelang Ramadan. Ada pula perayaan Maulid Nabi yang meriah dengan bungo lado dan juadah, serta ritual haul (basapa) di makam Syekh Burhanuddin Ulakan, yang setiap tahun diikuti puluhan ribu jamaah tarekat Syattariyah dari berbagai daerah.
“Pameran juga menampilkan dokumentasi ziarah ke makam Syekh Maulana Malik Ibrahim al-Khalidi (Inyiak nan Balinduang) di Pasaman, serta potret prosesi pengukuhan Puruak Syarak yang sejajar dengan Pucuak Adat dalam sistem sosial keagamaan masyarakat Minangkabau,” tambah Edy Utama.
Ia menyebutkan, selain ritus tarekat, pameran ini memperluas pandangan dengan menampilkan ritual serak gulo masyarakat keturunan India di Masjid Muhammadan, Padang, serta tradisi Tabuik di Padang Pariaman.
“Dua ritual ini memperlihatkan bahwa Islam di Minangkabau tumbuh dalam ruang yang terbuka dan multikultural,” jelas Edy Utama.
Tradisi balimau di Nagari Lubuak Gadang, Pasaman merupakan ritus masyarakat Minangkabau dalam memasuki bulan suci Ramadan sebagai ungkapan penyucian diri dan pembaruan spiritual. (Foto: EU)
Pameran etnofotografi ini juga menyoroti seni-seni bernapaskan Islam seperti badikia, barabano, shalawat dulang, dan indang tua—bentuk ekspresi religius yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Melalui bidikan Edy Utama, surau dan ritus tak sekadar tampak sebagai simbol keagamaan, tetapi juga sebagai ruang pertemuan antara adat, budaya, dan spiritualitas.
Ditambahkan Muhammad Taufik, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan ditetapkan ritus sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan (OPK). Dalam konteks itu, pameran ini menjadi pengingat bahwa ritus bukan sekadar upacara, melainkan penanda identitas dan daya hidup kebudayaan Minangkabau.
“Pameran ini adalah refleksi perjalanan panjang pertemuan Islam dan adat. Ia bukan sekadar dokumentasi visual, tetapi juga penghormatan pada kebhinekaan praktik spiritual masyarakat Minangkabau,” tutupnya.
Terkait dengan pameran etnofotografi ini, fotografer senior Edy Utama, juga sudah melakukan pameran pada 28 Agustus-7 September 2021 di Geleri Taman Budaya Sumatra Barat, Padang bertema “Minangkabau Cultural Landscape” mendapat perhatian dan respons dari pelbagai kalangan. ssc/mn