
Pementasan “Balimau” karya Filhamzah yang dibawakan Sanggar Seni Cahayo Bundo Padang di Festival Nan Jombang Tanggal 2 pada Jumat, 3 Oktoiber 2025 lalu.
OLEH Nasrul Azwar
“Satu gerak bisa merepresentasikan seribu kata.” Ungkapan ini telah menjadi adagium yang nyaris “melegenda” dalam dunia seni pertunjukan, khususnya di ranah tari atau koreografi. Ia berakar pada keyakinan bahwa tubuh adalah bahasa. Jika dalam sastra kata menjadi medium komunikasi, maka dalam tari, gerak tubuh adalah ujaran—lahir dari kesadaran, pengalaman, dan ingatan tubuh itu sendiri.
Namun demikian, tubuh tidak selalu mampu menyampaikan secara presisi gagasan dan pesan yang dimaksudkan dalam suatu pertunjukan. Ia membutuhkan pemahaman antropologis, kultural, dan psikologis, serta perangkat pengalaman yang memadai agar makna yang muncul dapat dibaca dari inner expression para penari.
Dalam konteks ini, karya tari Balimau menampilkan eksplorasi tubuh yang menarik, tetapi masih terasa longgar dalam pengolahan ekspresi batiniah enam penari. Gerak-gerak yang ditampilkan telah terstruktur secara koreografis, namun belum sepenuhnya memancarkan kedalaman emosi dan kesadaran spiritual yang menjadi ruh dari ritual balimau itu sendiri.
Malam itu, Jumat, 3 Oktober 2025, gedung pertunjukan Manti Menuik diselimuti cahaya buram. Peristiwa budaya bulanan Festival Nan Jombang Tanggal 3 berlangsung khusuk. Semua tempat duduk terisi. Ada seratusan penonton. Tak ada pidato pejabat kesenian yang kerap membosankan. Dari hasil kurasi, pihak Nan Jombang Dance Company menampilkan pertunjukan tari kontemporer Balimau dibawakan Sanggar Seni Cahayo Bundo Padang yang dipimpin Reni Devita karya Filhamzah. Pementasan pun dimulai.
Cahaya yang didominasi merah agak kabur di atas panggung menciptakan atmosfer yang tegang namun ritualistik. Sejenak Gedung Manti Minuik membeku dalam senyap, hingga suara bebunyian yang mencekan mengalun perlahan—ritmis, menyerupai napas panjang alam Minangkabau.
Dalam kegelapan yang buram, tampak sesosok tubuh berkostum berbeda dari lima lainnya. Tubuh itu tergeletak di lantai panggung, diam, lalu perlahan menggeliat. Gerakannya lambat, seolah berusaha keluar dari bayang-bayang gelap yang membungkusnya. Lima cahaya senter kemudian menyorot ke arahnya—menuding tubuh yang terbungkus busana putih itu. Dari pancaran cahaya, tampak ekspresi kegalauan dan kebingungan tergambar di wajahnya.
Sementara itu, lima penari lain yang mengenakan kostum merah bergerak mengitarinya, seolah mengepung atau membatasi ruang geraknya. Cahaya-cahaya senter berkelebat ke berbagai arah, menciptakan lintasan-lintasan yang liar namun sarat makna simbolis. Dari balik kegelapan, sinar-sinar itu menembus ruang, membentuk batas-batas imajiner antara dunia nyata dan ruang simbolik.
Kadang-kadang, cahaya senter itu saling beradu di wajah para penari, menciptakan momen yang tegang sekaligus puitik. Kelimanya tampak seperti sedang mencari sesuatu di tengah gelap—dan melalui gerak tubuh mereka, pencarian itu menjelma menjadi tanda, sebuah isyarat tentang sesuatu yang hilang, yang ingin ditemukan kembali.
Bagitu bahasa gerak enam tubuh laku tari pembuka pertunjukan koreografi kontemporer Balimau karya koreografer Filhamzah. Ini untuk kedua kalinya Balimau tampil di depan publik. Pertama kali dipentaskan di Geleri Indonesia Kaya Jakarta pada 1 Maret 2025.
Menurut koreografer Filhamzah, adegan pembuka karya Balimau ini lahir dari pencariannya terhadap makna kesadaran dan pembersihan diri dalam gelapnya kehidupan manusia modern.
“Dalam kegelapan yang buram itu,” ujar Filhamzah, “saya bayangkan ada satu tubuh yang berbeda dari yang lain—sebuah tubuh yang tergeletak di lantai panggung, lalu perlahan menggeliat. Gerak lambat itu menjadi simbol kesadaran yang tumbuh dari kegelapan. Lima cahaya senter menyorot tubuh yang terbungkus busana putih, memperlihatkan ekspresi kegalauan dan kebingungan—sebuah pergulatan batin antara terang dan gelap,” terangnya.
Filhamzah menuturkan bahwa kelima penari lain yang mengenakan kostum merah menggambarkan kekuatan-kekuatan yang mengepung, membatasi, namun sekaligus menjadi bagian dari perjalanan menuju pencerahan.
“Cahaya-cahaya senter yang berkelebat ke berbagai arah adalah metafora tentang pencarian. Dari balik kegelapan, sinar-sinar itu menembus ruang, membentuk batas antara dunia nyata dan ruang simbolik,” jelasnya.
“Kadang, cahaya itu menyentuh wajah-wajah mereka sendiri—seolah manusia sedang berhadapan dengan dirinya. Mereka mencari sesuatu dalam gelap, dan melalui gerak tubuh, pencarian itu menjadi tanda: ada yang hilang, ada yang ingin ditemukan kembali,” sembari mengaku ia menggarap koreografi Balimau setahun lebih.
Bagi Filhamzah, Balimau bukan sekadar penggambaran tradisi pembersihan diri setiap mamsuki bulan suci Ramadan, tetapi juga refleksi spiritual manusia yang terus berjuang menemukan cahaya di tengah gelapnya kehidupan.
Inspirasi tari Balimau berupaya menangkap esensi spiritual dan sosial dari tradisi Minangkabau, menerjemahkannya ke dalam bahasa tubuh yang puitik, dan menghidupkan kembali suasana sakral yang menyatukan manusia dengan alam dan nilai-nilai leluhurnya.
Tradisi balimau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau dan juga Melayu. Ia bukan sekadar ritual membersihkan diri menjelang bulan puasa, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual yang mendalam dan diwariskan turun-temurun. Setiap tahun, masyarakat menantikan saat pelaksanaannya dengan penuh suka cita, karena balimau menjadi momentum penyucian lahir dan batin sekaligus ajang mempererat tali silaturahmi.
Biasanya, peristiwa balimau tidak berdiri sendiri. Ia diiringi oleh berbagai kegiatan pengantar seperti menjalang—yakni berkunjung ke sanak saudara—dan ziarah ke makam keluarga, yang menandai hubungan harmonis antara manusia, leluhur, dan alam sekitarnya.
”Suasana sakral namun penuh kebersamaan inilah yang menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan karya tari Balimau,” jelas Filhamzah, yang juga pimpinan Fiza Dance Company ini.
Dalam karya tari Balimau, Filhamzah menempatkan tubuh penari sebagai medium utama untuk berbicara—bukan melalui kata, melainkan melalui gerak yang menyimpan makna, ingatan, dan pengalaman kolektif masyarakat Minangkabau. Tubuh menjadi ruang bagi simbol dan kesadaran, tempat di mana nilai-nilai tradisi bergerak dan bernafas kembali.
Namun, dalam beberapa fase pertunjukan, terdengar pula kata-kata yang terlontar dari mulut penari. Ucapannya seperti “sumbang 12”, dan lain sebagainya tapi bukan dalam bentuk dialog, melainkan seperti gumam yang muncul spontan dari kedalaman tubuh. Gumam itu bukan komunikasi verbal, melainkan manifestasi bahasa tubuh—suara yang lahir dari pengalaman emosional yang tak dapat sepenuhnya direpresentasikan oleh gerak.
Di titik inilah Balimau memperlihatkan kedalaman bahasanya: tubuh berbicara melalui diam dan gerak, sementara gumam menjadi gema dari apa yang tak sempat diucapkan. Gerak dan suara bertemu dalam ruang simbolik yang menghadirkan spiritualitas, kerinduan, dan kesadaran akan tubuh sebagai teks yang hidup.
Bagi Filhamzah, tubuh adalah teks hidup yang merekam sejarah dan nilai-nilai budaya. Dalam Balimau, tubuh menjadi wadah bagi ritual dan spiritualitas yang diwariskan turun-temurun. Setiap ayunan tangan, setiap langkah, setiap lenggok tubuh berbicara tanpa suara—menuturkan kembali kisah penyucian diri yang dilakukan menjelang Ramadan.
Tampaknya, dalam koreografi Filhamzah, satu gerak tidak pernah tunggal; ia mengandung banyak lapisan makna—kelahiran baru, pengampunan, atau penyerahan diri kepada Sang Pencipta.
Penggunaan alat musik rebana yang dimainkan keenam penari juga memberikan kekuatan simbolis religius islami. Selain itu, Balimau juga memunculkan tafsir terhadap gerak silek, randai, ritual mambasuah kaki (membasuh kaki), balimau (mengguyur tubuh dengan air yang telah dicampur dengan perasn jeruk nipis atau purut, bunga (mawar, melati, rampai), daun pandan, akar-akaran wangi, serta kunyit dan lainnya).
Rebana dalam tradisi budaya Minangkabau (Melayu) tak bisa dilepaskan dari Islam dan diasosiasikan dengan ritus keagamaan dan zikir. Dalam konteks Balimau, munculnta rebana yang dimainkan enam penari, dapat dimaknai sebagai irama pembersihan batin—suara yang mengiringi perjalanan manusia menuju kesucian menjelang Ramadan. Getaran ritmisnya seolah menjadi gema spiritual, menyerupai detak jantung atau napas manusia yang tengah menata ulang keseimbangannya antara dunia lahir dan batin.
Filhamzah, sebagai koreografer sekaligus penata artistik pertunjukan tari Balimau, menempatkan rebana bukan semata sebagai alat musik pengiring, tetapi sebagai suara batin tubuh manusia yang sedang menempuh perjalanan dari kegelapan menuju terang. Getar ritmisnya seolah menjadi gema spiritual yang lahir dari dalam tubuh, menandai proses penyucian diri, pergulatan batin, dan kebangkitan kesadaran manusia akan keseimbangan antara dunia lahir dan batin.
Selain itu, kehadiran rebana sebagai ritme musikal tidak hanya berfungsi tradisional tetapi olahan kontemporer, ia menjadi penanda pertemuan antara masa lalu dan masa kini. Suaranya bisa terdengar sebagai ritme ritual, tetapi juga bisa berubah menjadi denyut modernitas yang gelisah. Rebana sebagai jembatan antara tradisi dan pencarian baru—antara spiritualitas yang mapan dan tubuh kontemporer yang terus mencari bentuk kesuciannya.
Ungkapan “satu gerak seribu kata” di awal tulisan ini menemukan maknanya di sini. Dalam Balimau, tubuh tidak sekadar menari—ia berbicara, berdoa, dan mengingat. Tubuh penari menjelma menjadi teks hidup yang menyusun “kalimat” tentang air, kesucian, dan hubungan manusia dengan alam. Setiap gerak menyampaikan pesan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata: kerinduan akan keseimbangan, kegelisahan terhadap perubahan, dan harapan akan kebersihan hati.
Ekspresi yang Kering
Sebagai karya tari kontemporer, Balimau membuka ruang tafsir yang luas. Setiap penonton membawa pengalaman dan perspektifnya sendiri: ada yang memaknainya sebagai ritual pembersihan diri menjelang Ramadan, ada pula yang membacanya sebagai kritik terhadap pencemaran budaya dan lingkungan.
Namun, ketika pertunjukan Balimau dibaca secara lebih mendalam—dalam kaitannya dengan pemahaman pemain dan elemen artistik lainnya—tampak bahwa masih terdapat beberapa aspek yang perlu diperkuat, terutama dalam dimensi batiniah dan pengalaman tubuh para penari.
Pemaknaan terhadap gerak tubuh sebagai bahasa tari, yakni bahwa gerak dapat menjadi medium yang melampaui kata, tampaknya belum sepenuhnya diimbangi oleh pancaran ekspresif dan riset mendalam terhadap keenam penari serta unsur pendukung lainnya. Akibatnya, beberapa bagian pertunjukan terasa lebih menonjol pada bentuk gerak ketimbang penghayatan makna, padahal kekuatan Balimau justru terletak pada kemampuan tubuh untuk menyuarakan apa yang tak terucapkan—tentang air, penyucian, dan pencarian spiritual manusia.
Gerak dalam karya ini tidak mengandalkan pola tradisional. Ia lahir dari eksplorasi tubuh dan ruang, menandai upaya pencarian bentuk baru di luar pakem gerak Minangkabau. Para penari bergerak dengan perubahan level yang tajam—dari berdiri tegak, setengah jongkok, hingga rebah di lantai. Pergeseran tempo dari gerak lambat menuju sentakan cepat menciptakan dinamika emosi yang naik-turun: seolah tubuh menahan sesuatu yang tak terlihat, lalu melepaskannya dalam letupan energi.
Namun, dalam implementasi di panggung, hampir 1 jam pertunjukan Balimau, ekspresi para penari masih terasa datar dan monoton. Gerak tubuh memang tersusun dengan rapi, tetapi belum sepenuhnya memancarkan kedalaman batin yang seharusnya menjadi inti dari karya Balimau.
Keterbatasan ekspresi ini memperlihatkan bahwa para penari belum sepenuhnya memahami pentingnya inner batiniah sebagai sumber daya hidup gerak. Tubuh tampak bekerja di permukaan, sementara lapisan emosional dan spiritualnya belum benar-benar hadir.
Tampaknya pada bagian ini koreografi Filhamzah, harus memberi perhatian serius kepada pendukungnya, bahawa menari itu bukan cuma bergerak-gerak di atas pentas. Filhamzah mesti memberikan pengetahuan antropoogis, psikologis dan kultural terhadap gagasan tarinya.
Kesadaran bahwa kekuatan utama justru terletak pada kemampuan tubuh untuk berbicara dari dalam—menerjemahkan rasa, iman, dan pergulatan jiwa ke dalam bentuk gerak yang autentik, belum sepenuhnya dikausai enam panari dan elemen artistik lainnya.
Namun demikian, dari segi komposisi dan dramaturgi, Balimau masih menyisakan ruang penguatan. Repetisi gerak yang dominan dan tempo yang cenderung stabil membuat tensi dramatik berjalan datar. Penonton disuguhi atmosfer meditatif yang indah, tetapi belum sampai pada pengalaman klimaks yang mengguncang perasaan.
Karya ini akan lebih hidup jika terdapat pergeseran energi, perubahan tempo, atau momentum dramatik yang menandai perjalanan spiritual penari—dari kegelapan menuju terang, dari kekotoran menuju kejernihan. Dengan demikian, pengalaman menonton tidak berhenti pada keindahan visual, melainkan turut mengajak penonton menempuh perjalanan emosional yang lebih dalam.
Aspek lain yang patut diperhatikan adalah relasi antarpenari. Dalam versi yang ditampilkan, keenam penari perempuan tampak lebih banyak bergerak serentak dalam pola harmoni kolektif. Keserentakan ini memang menciptakan kesan ritual, tetapi interaksi langsung antartubuh masih bisa diperkuat untuk menegaskan makna sosial dari tradisi balimau itu sendiri.
Tradisi ini pada dasarnya adalah kegiatan bersama—masyarakat saling membasuh, saling menyapa, dan memperbarui hubungan sosial. Dengan memperkaya interaksi antarpenari, misalnya melalui kontak tubuh, tatapan, atau gerak saling menyentuh simbolik, karya ini dapat menghidupkan kembali semangat kebersamaan yang menjadi inti dari ritual tersebut.
Dari sisi pengembangan artistik ke depan, Balimau berpotensi dikembangkan melalui pendekatan intermedial — memadukan unsur video, proyeksi air, atau rekaman dokumenter ritual asli ke dalam ruang pertunjukan. Langkah ini tidak hanya memperluas bahasa visual karya, tetapi juga menghubungkan penonton dengan konteks budaya yang melatari penciptaannya.
Selain itu, eksplorasi gerak berbasis riset lapangan—misalnya observasi langsung terhadap prosesi balimau di nagari-nagari Minangkabau—akan memperkaya perbendaharaan gerak dan memperdalam keotentikan ekspresi.
Koreografi Balimau digarap oleh Filhamzah dengan dukungan Bobby sebagai komposer musik. Enam penari muda—Rivani Amri, Aisha Kirana Hanif, Syahirah Athiyah Kinanti, Karin Dwi Lathisa, Meisya Pajrina, dan Quinzha Shafira Ferdian.
Dalam penggarapan Balimau, Filhamzah kolaborasi dengan Sanggar Seni Cahayo Bundo Padang. Ia sendiri direktur artistis dan pimpinan FIza Dance Company (FDC) Padang yang didirikannya pada tahun 2003. Sejak berdiri, kelompok ini aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seni pertunjukan dan pasar seni, menjadikannya bagian penting dari ekosistem seni pertunjukan di Sumatera Barat. FDC pernah tampil di sejumlah acara, antara lain Pekan Nan Tumpah, KABA Festival Nan Jombang, dan WSPAM #2 2023. *