
Payakumbuh, sumbarsatu.com—Di usia 15 tahun, Zahira seharusnya sibuk belajar, bermain, dan menikmati masa remaja seperti teman-temannya di SMPN 1 Situjuah Limo Nagari. Namun, beberapa bulan terakhir hidupnya dipenuhi rasa cemas. Sang ibu, Nur Amira, kembali terjerat masalah kewarganegaraan dan terancam dideportasi.
Dalam sepucuk surat yang ditulis pada Kamis 25 September itu, dengan tangan gemetar, tentunya, Zahira mengadu kepada Kepala Kantor Imigrasi Agam.
“Saya sangat membutuhkan Ibu saya, karena hanya Ibu saya yang dari saya lahir membesarkan diri saya seorang diri,” tulis Zahira dalam surat yang diterima sumbarsatu, Jumat (26/9/2025).
Kalimat sederhana itu menjadi jeritan hati seorang anak yang takut kehilangan satu-satunya orang terdekat dalam hidupnya.
Kisah Nur Amira, ibunya, tak kalah pilu. Pada Oktober 2024, ia dideportasi ke Malaysia karena dianggap masih menggunakan dokumen lama, paspor dan akta lahir keluaran 1996. Namun ketika tiba di sana, datanya tak lagi tercatat setelah lebih dari tiga dekade ia meninggalkan Malaysia dan hidup di Indonesia.
Upayanya mengurus dokumen baru di Jabatan Pendaftaran Negara Malaysia tak membuahkan hasil. Malah, ia ditahan oleh Imigrasi Malaysia selama dua bulan di Penjara Kajang. Setelah melalui proses panjang, ia dipulangkan ke Indonesia dengan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dari KJRI Johor Bahru.
Harapan Zahira sempat tumbuh ketika bisa kembali berkumpul dengan ibunya. Namun kebahagiaan itu singkat. Pihak Imigrasi Agam menahan ibunya setelah SPLP yang dibawa dianggap bermasalah. Sejak itu, Nur Amira mendekam di ruang detensi Imigrasi, tanpa surat penahanan resmi, sebagaimana dikisahkan Zahira dalam suratnya.
Bagi Zahira, ancaman deportasi ibunya berarti kehilangan segalanya. Ia sudah lama hidup tanpa ayah, dan hanya ibunya yang setia menemaninya sejak kecil. “Kalau Ibu saya dideportasi lagi, saya akan terlantar dan masa depan saya akan hancur,” tulisnya dalam surat yang juga ditembuskan ke Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan di Jakarta serta Ombudsman RI Sumatera Barat.
Di tengah kompleksitas hukum dan birokrasi, kisah Zahira menggugah nurani. Ini bukan sekadar perkara dokumen dan kewarganegaraan, tetapi tentang hak seorang anak untuk tumbuh dengan kasih sayang ibunya. ssc/mn
INI SURAT ZAHIRA