OLEH Hiltrud Cordes (Antropolog, Peneliti Budaya Silet Tuo Minangkabau)
Seupamanya saya pintar melukis, lalu saya diminta melukis suatu panorama pemandangan ciri khas Minangkabau, saya akan mulai dengan menggambar garis Gunung Singgalang yang muncul dari tengah sawah di depannya. Di antara pohon kelapa dan pohon pinang di pinggir sawah akan kelihatan ujung rumah gadang yang bergonjong.
Kalau lukisan saya dilihat lebih dekat lagi, variasi warna hijau di sawah-sawah akan berbeda-beda antara hijau muda dan kuning, sesuai tingkat kematangan padi. Dan tidak jauh dari ujung atap rumah pasti kubah surau (masjid) akan kelihatan, sedangkan rangkiang atau lumbung padi dengan atap bergonjong yang mungil muncul dekat rumah gadang. Suasana pagi yang masih berkabut sedikit.
Supaya lukisan menjadi lebih lengkap lagi, akan saya tambah beberapa sosok manusia dan hewan. Ada petani yang membajak dibantu kerbaunya, ada seorang nenek yang memancing di pinggir kolam dan ada seekor kuda yang menarik sebuah bendi.
Agak jauh di latar belakang, dekat lereng Gunung Singgalang, kelihatan alam yang lebih liar dengan rimba yang tebal dan air terjun. Awan tipis lengket di puncak gunung. Pas di tengahnya, lukisan saya itu dibelah oleh Ngarai Sianok supaya ada tambahan unsur dramatis.
Lucunya, setelah lukisan saya selesai, saya kurang menyukainya. Dia menjadi persis seperti lukisan di atas beludru hitamyang dijual di Taman Panorama di Bukittinggi yang menurut saya tidak punya nilai artistik yang tinggi. Agak kuno dan norak. Padahal, unsur-unsur lukisan saya sudah benar dan pas untuk mewakili cultural landscape Minangkabau: alamnya dengan Gunung Marapi, Ngarai Sianok, dan air terjun, pertanian padi dan nagari dengan arsitektur rumah adat dan surau.
Masalahnya terletak di konflik antara pemandangan ideal dan pemandangan realistis. Karena di lukisan saya itu tidak ada hal-hal yang sudah menjadi bagian dari realitas pada abad ke-21 ini.
Di dalam realitas kini Ngarai Sianok sudah penuh sampah plastik karena sungainya menjadi tempat pembuangan sampah dan di Lembah Harau sudah dibangun kampung wisata instagram. Jalan kampung sudah tidak sunyi lagi dan kebanyakan bendi sudah diganti dengan kendaraan bermotor. Di mana saja sudah didirikan huruf raksasa untuk melayani kebutuhan swafoto (selfie) para pengunjung.
Dengan terjadinya konflik seperti itu, cultural landscape ideal menjadi suatu kenangan nostalgia yang semakin lama semakin terlepas dari kenyataan.
Minangkabau Cultural Landscape-foto edy utama
Pemanfaatan cultural landscape bergeser dari penggunaan dalam kegiatan sehari-hari ke penggunaan dalam waktu luang. Tempat tinggal seperti rumah gadang menjadi penginapan airbnb dan tempat kerja seperti sawah menjadi latar belakang swafoto. Akhirnya, ciri khas cultural landscape Minangkabau terancam “kehilangan nyawa“ dan apabila dilukis dia menjadi sebuah gambar dekoratif tanpa makna yang dapat melebihi nilai nostalgia.
Syukurlah ada karya fotografi Edy Utama yang berhasil menggambarkancultural landscape Minangkabau tanpa masuk dalam perangkap idealisme. Niscaya tema pokok dari karya Edy adalah kebudayaan Minangkabau – dengan fokus khusus pada kegiatan upacara adat dan kesenian. Pemandangan alam dan kegiatan manusia yang dipotretnya bukanlah karya jurnalistik yang menggambarkan masalah, penderitaan maupun gugatan. Dan bukan juga dokumentasi polos yang bermaksud untuk menginventarisasi obyek-obyek yang dipotret sebelum hilang dari peta kebudayaan tradisional.
Lalu bagaimana Edy dapat menghindar konflik antara pemandangan ideal dan pemandangan realistis? Bagaimana rumusnya supaya gambarnya tetap penuh makna dan tidak berlebihan sentimental seperti lukisan imaginer saya tadi?
Ada dua kelebihan Edy Utama sebagai fotografer yang mendukung terhindarnya konflik itu, yaitu bakatnya Edy dalam eksplorasi cahaya serta jarak dekatnya dengan manusia yang dipotretnya. Kedua unsur ini memberikan intensitas tinggi kepada hasil pemotretan Edy.
Makna dari pepatah “alam takambang jadi guru“ yang kadang-kadang sudah terasa pudar di cultural landscape Minangkabau masih kental pada karya fotografi Edy Utama. ***
Koln, Jerman, 28 Agustus 2021