Pameran Etnofotografi Edy Utama, Saksi Pergeseran Lanskap Minangkabau

28 AGUSTUS-7 SEPTEMBER 2021

Selasa, 24/08/2021 11:46 WIB
Antara Gonjong Rumah Gadang dan kubah masjid. Foto Edy Utama

Antara Gonjong Rumah Gadang dan kubah masjid. Foto Edy Utama

Padang, sumbarsatu.com—Sempat tertunda karena kondisi pandemi Covid-19, akhirnya pameran etnofotografi karya foto Edy Utama dijadwalkan pada 28 Agustus-7 September 2021 di Geleri Taman Budaya Sumatra Barat, Padang.

Pameran bertema “Minangkabau Cultural Landscape” rencana dibuka Wakil Gubernur Sumatra Barat Audy Joinaldy, pada Sabtu, 28 Agustus 2021 pukul 14.00.  

Pembukaan pameren foto lanskap budaya Minangkabau ini juga dirayakan dengan menghadirkan peristiwa seni (happening art) “Manggaro” karya Susasrita Lora Vianti, doktor penciptaan seni tari dari ISI Padang Panjang, yang sekaligus sebagai penarinya.

Tak hanya penampilan tari tunggal “Manggaro” dalam gagasan “Minangkabau Cultural Landscape”, juga menyatukan tampilnya seni tradisi Minangkabau bakaba yang didendangkan dengan iringan rabab pasisie oleh seniman Hasanawi dari Komunutas Langkok Padang.

Dendang yang dikabakan berkisah tentang kehidupan nenek-moyang orang Minangkabau "manaruko", dan membangun nagari serta adat-istiadatnya yang telah diwariskan melalui narasi tradisi lisan bakaba.

Gerak "Manggaro" oleh Susasrita Lora Vianti

“Pembukaan pemeran etnofotografi ini kita kesankan sebagai sebuah peristiwa budaya dalam satu kerangka “Minangkabau Cultural Landscape” atau lanskap budaya Minangkabau. Tari “Manggaro”  dan pertunjukan musikal (barabab) yang ditampilkan secara bersamaan merupakan kolaborasi yang mereprentasikan kemagisan kebudayaan Minangkabau,” kata Edy Utama kepada sumbarsatu, Selasa (24/8/2021) di Padang.  

Tari “Manggaro” menggambarkan kisah petani menghalau burung pemangsa padi jelang panen dengan menghadirkan bunyian dan orang-orangan di persawahan. Aktivitas manggaro hingga kini masih dilakukan petani di nagari-nagari seperti bapupuik jo basaluang di pondok sawah.

Seni pertunjukan “Manggaro” yang digarap koreografer Susasrita Lora Vianti ini, merupakan representasi manggaro dalam kehidupan sosial masyarakat agraris Minangkabau. Manggaro juga dimaknai sebagai perjuangan perempuan Minangkabau dalam mempertahankan dan memelihara “pusako”, yang diibaratkan seperti “manggaro”.

“Tari tunggal “Manggaro” adalah suatu cara bagi orang Minangkabau menjaga padi di sawah yang mulai menguning dari serangan hama burung-burung pemakan padi. Tampil di dalam rangkaian pameran etnofotografi “Minangkabau Cultural Landscape” Edy Utama, bagi saya sangat menarik. Dalam “Manggaro” saya akan menerjemahkannya dengan wujud gerak, ekspresi, simbol-simbol, dan lanskap, serta bebunyian. Kolaborasi dengan Hasanawi tentu akan sangat menarik lagi karena syairnya menarasikan alam Minangkabau yang yang indak dan kaya ini,” kata Susasrita Lora Vianti,

Dr. Susasrita Lora Vianti, M.Sn, adalah seorang koreografer dan dosen tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. Ia telah menampilkan karya tarinya baik di dalam maupun di luar negeri, dan pernah menjadi Direktur Pascasarjana ISI-Padangpanjang (2014-1019). .

Musik tradisi rabab dan dendang akan dimainkan Hasanawi bersama Langkok Grup. Hasanawi adalah seorang seniman musik tradisional Minangkabau, yang pernah menjadi guru musik selama enam bulan di Hawaii University at Manoa (2000/2001).  Kini Hasanawi, sesuai perkembangan zaman, secara rutin tampil secara virtual dalam kegiatan Minangkabau Bagarua Sedunia dalam platform media sosial, yang selalu ditunggu orang Minangkabau yang tersebar di seluruh dunia.

Ia melalui gesekan rabab dan dendang, dalam pembukaan pameran etnofotografi “Minangkabau Cultural Landscape” akan mendendangkan syair-syair tentang sejarah dan tata cara nenek-moyang orang Minangkabau meneroka dan membangun nagari sesuai falsafah alam terkembang jadi guru.

“Saya berkolaborasi dengan koreografer Susasrita Lora Vianti dengan tari tunggalnya “Manggaro”,  lalu saya memperkuatnya dengan syair-syair dan rabab. Bagi saya, kerja sama begini penuh tantangan kreatif,” kata Hasanawi.

Saksi Minangkabau Berubah

Pamaren etnofotografi “Minangkabau Cultural Landscape” menghadirkan 75 karya foto Edy Utama ini yang dihasilkan sejak tahun 1997-2021. Dari ribuan foto yang dihasilkan dalam rentang 25 tahun itu, Edy Utama mengkurasinya sesuai dengan tema pameran menjadi 75 foto.  Ia mengaku sudah menggeluti dunia fotografi sejak tahun 1980-an.

“Saya telah memulai memotret alam dan berbagai aktivitas budaya masyarakat Minangkabau sejak awal tahun 1980-an. Saya beruntung punya sedikit pengetahuan tentang fotografi ketika belajar di Jurusan Sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ/IKJ),” sebutnya sembari menjelaskan latar belakang pendidikannya.

Ketika ditanyakan mengapa ia menamai pamaren etnofotografi, Edy Utama mengatakan konsep etnofotografi ini sesungguhnya merupakan bagian dari pendekatan antropologi visual atau etnofotografi visual yang sudah cukup lama berkembang di dunia.

“Kalau dilihat dari tema-tema pameran saya sebelumnya, misalnya yang digelar di Gallery East_West Centre, Honolulu, berjudul Minangkabau Procession of Sumatra, sebetulnya adalah sebuah pameran dengan pendekatan etnofotografi visual,” terangnya.

Pada 2012, ia ,menggelar pamarena di Gallery East-West Centre yang saat itu mengungkapkan tradisi budaya masyarakat Minangkabau melalui arak-arakan dan tradisi lainnya.  

“Jadi munculnya etnofotografi dapat dikatakan sebagai penegasan, bahwa foto tidak hanya dianggap sebagai karya seni, tetapi juga sekaligus dapat dijadikan sebagai objek kajian budaya. Dalam perjalanan panjang saya berkubang di pelbagai peristiwa budaya di tengah masyarakat, saya ingin mempertegas dan fokus pada kerja fotografi sebagai sebuah aktivitas sosial-budaya, dan bukan hanya sebatas sebagai karya seni,” urai sosok yang sebelumnya banyak melakukan pameran foto berlatar budaya Minangkabau, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Ia melihat begitu banyak hal yang terjadi yang menunjukan perubahan yang luar biasa pada budaya Minangkabau.

“Perubahan-perubahan ini dapat dilihat dari berbagai bentuk visual yang sempat saya rekam. Tidak semua perubahan itu mengembirakan, tetapi juga banyak yang cukup menyedihkan. Banyak yang berubah bahkan hilang. Dan ini telah mendorong saya untuk lebih lebih fokus dengan etnofografi ini. Kebetulan tema yang saya pilih sekarang ini adalah bentang alam yang telah diteroka oleh nenek-moyang orang Minangkabau yang disebut dengan Minangkabau Cultural Landscape,” tegas pria kelahiran Lubuk Sikaping yang juga seorang curator pelbagai iven festiva seni kontemporer di Sumatra Barat.

Dedikasi Khusus untuk Eko Alvares

75 foto yang dipamerkan, menurutnya, tidak menggambarkan dikotomi antara “darek” dengan “pasisia (rantau)”, atau “ranah” dengan “rantau”. Edy Utama mengaku tidak membuat dikotomi antara darek dan rantau kendati pameran ini lebih terfokus pada bentang alam di pusat pemukiman tradisional Minangkabau, yaitu Luhak Nan Tigo.

“Tapi saya juga memajang sejumlah foto tentang daerah pesisir sebagai perbandingan untuk mengambarkan karakternya yang berbeda dengan yang ada di darek,” sebutnya.

Sebagian besar foto-foto yang dipamerkan adalah wilayah dataran tinggi Minangkabau, yang ada di lembah-lembang pegunungan dengan karakter atau tekstur alamnya yang tidak rata. Berada di antara lembah-lembah yang sempit atau kemiringan yang cukup ekstrem sehingga memperlihatkan hasil teroka yang menurut saya luar biasa.

“Intinya, pameran “Minangkabau Cultural Landscape” ingin memperlihatkan kearifan lokal Minangkabau dalam meneroka alam yang terus mengalami perubahan dari generasi ke generasi: Apakah falsafah alam terkembang jadi guru masih dihayati masyarakat Minangkabau, terutama dalam memelihara dan meneroka alam Minangkabau," terangnya.

“Pameran ini juga didekasikan khusus untuk mengenang seorang sahabat, almarhum Dr. Eko Alvares, MSA, seorang arsitek lingkungan dari Universitas Bung Hatta, yang sangat peduli dengan pewarisan pengetahuan tradisional melalui revitalisasi rumah gadang Minangkabau,” tegas Edy Utama.

Selain menjelaskan konsep pemaren dan makna yang dibawa, ia mengatakan pameran etnofotografi yang dilakukan di Galeri Taman Budaya Sumatra Barat itu pada 28 Agustus merupakan bentuk kerja sama dengan UPT Taman Budaya Sumatra Barat. “Polanya, pihak Taman Budaya Sumatra Barat memfasilitasi ruang pemeran. Selebihnya saya yang tanggung.

Edy Utama adalah seorang fotografer yang sejak awal tahun 1980-an telah mengamati dan mendokumentasikan kehidupan budaya masyarakat Minangkabau. Melalui fotografi Edy Utama telah mengadakan pameran budaya dalam bentuk ethnopothography, antara lain di PhotoKina Internationale Festivale di Smend Gallery, Koeln, Jerman dengan tema The Circle Spirit of Minangkabau (2008), pameran etnofotografi visual di Gallery East-West Centre, Honolulu, Hawaii dengan tema Minangkabau Procession of Sumatra (2012), pameran etnofotografi visual di Museum Tekstil Jakarta, dengan tema Menyulam Keindahan Budaya Minangkabau (2012), pameran foto di galeri Taman Budaya Sumatera Barat dengan tema Pesona Alam dan Budaya Minangkabau (2015), pameran foto di Asean-Japan Centre, Tokyo dengan tema Minangkabau: Discovering the World’s Largest Matrlilenial Society of Sumatra (2015), pameran tentang kebudayaan Minangkabau pada pembukaan Galeri Minangkabau Corner, Universitas Andalas-Padang (2016), pameran foto di Gellery ATOM CS Tower, Shimbasi, Tokyo dengan tema Heaven in West Sumatra: Minangkabau & Mentawai- Indonesia (2016).

Selain bakubang di dunia pemotretan, Edy Utama juga seorang aktivis budaya Minangkabau, penulis, seniman seni pertunjukan, dan kurator festival. Ia juga dikenal sebagai orang yang memiliki jaringan (networking) keberbagai komunitas seni dan budaya di pelosok Sumatera Barat, nasional dan internasional.

Edy Utama pernah menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatra Barat (2000-2003). Melalui Dewan Kesenian Sumatera Barat, Edy Utama telah menggagas berbagai kegiatan seni budaya, dan salah satu di antaranya adalah mengadakan festival Alek Nagari. Dan banyak lagi organisasi seni yang ia masuki.

Pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 75, Edy Utama dianugerahi penghargaan Ikon Prestasi Pancasila 2020 oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan sebagai Tokoh yang Peduli pada Masalah Seni dan Budaya juga diganjar penghargaan oleh Pemko Padang. SSC/MN

BACA WAWANCARA DENGAN EDY UTAMA



BACA JUGA