
-
Padang, sumbarsatu.com —Sebuah pertunjukan teater eksperimental berjudul Namaku Ingrid karya Ilhamdi Sulaiman dan disutradarai oleh Boyke Sulaiman akan digelar pada Sabtu, 25 Oktober 2025 pukul 20.00 di Gedung Mangkrak Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, Jalan Diponegoro No. 31 Padang. Pementasan ini diproduksi oleh Teater Kuliek Padang bekerja sama dengan Studio 31.
Namaku Ingrid mengangkat kisah tragis dan simbolik tentang kehancuran ruang kesenian yang sebagaka diabaikan. Dalam naskahnya, arwah seorang noni Belanda bernama Ingrid muncul di gedung tua bekas rumah dansa tempat ia pernah dibunuh kekasihnya.
Satu abad kemudian, ia bangkit dari puing-puing untuk menggugat manusia masa kini yang menukar “rumah seni” menjadi hotel dan ruang komersial.
“Kalian bukan saja mengusir arwahku, tapi kalian membunuh kebudayaan yang digaji untuk merawatnya,” seru Inggrid dalam monolognya yang menggema di antara drum oli dan rantai besi. “Jika aku hilang, jangan tangisi aku. Tangisilah panggung ini yang kalian biarkan dikubur tanpa nisan.”
Pertunjukan ini menampilkan empat hingga lima aktor yang memadukan bunyi logam, puisi, dan gerak tubuh simbolik. Drum, rantai, pipa besi, serta dinding retak menjadi bagian dari bahasa pertunjukan yang menghidupkan kembali kenangan dan perlawanan. Cahaya redup dan dentuman logam menghadirkan suasana mistik, seolah panggung lama bernafas kembali dalam bentuk ritual bunyi.
Sutradara Boyke Sulaiman menjelaskan bahwa pertunjukan ini adalah bentuk refleksi terhadap banyaknya gedung kesenian di Indonesia yang terbengkalai dan dialihfungsikan untuk komersil, termasuk Kawasan Taman Budaya Sumatera Barat.
“Kami ingin menunjukkan bahwa panggung bukan sekadar ruang fisik, tetapi juga ruang ingatan. Kalau panggung mati, maka sebagian jiwa kita ikut mati,” ujar Boyke Sulaiman, Rabu (16/10/2025).
Dalam pertunjukan ini, penonton tak hanya menjadi saksi, tapi juga bagian dari peristiwa. Di akhir adegan, sutradara Boyke Sulaiman menyerahkan potongan besi kepada penonton sebagai simbol tanggung jawab menjaga kehidupan seni.
Suara Inggrid menutup pertunjukan dengan pesan yang menggugah: “Jika aku hilang, jangan tangisi aku. Tangisilah panggung ini yang kalian biarkan dikubur tanpa nisan.”
Pertunjukan yang digarap oleh tim produksi terdiri atas pimpinan produksi Dr. Andrian Catri Tamsin, penata lampu Mak Ye, penata musik Ikhsan Rasha, koreografi oleh Ery Mursyaf, serta tim properti FPSB (Zamzami Ismail, Yenni Ibrahim, Dadang Leona). Laku utama atau aktor Adalah Rifa, Ayat, Roma, dan Dalo, dengan publikasi dan dokumentasi oleh Mas Bambang Art. Untuk reservasi kehadiran, penonton dapat menghubungi +62 812-6844-1946 (Mas Bambang Art).
Namaku Ingrid tidak hanya menjadi pertunjukan teater, tetapi juga seruan kesadaran tentang pentingnya merawat ruang budaya sebagai rumah bersama, tempat seni dan ingatan terus hidup meski di tengah reruntuhan.
Sinopsi Namaku Inggrid
Namaku Inggruid adalah sebuah teater eksperimental yang menggugat kematian ruang kesenian dan matinya nurani kebudayaan akibat modernisasi dan komersialisasi ruang public di kawasan Taman Budaya Sumatera Barat.
Latar peristiwa terjadi di sebuah gedung kebudayaan yang terbengkalai, yang kini akan diubah menjadi hotel. Di ruang berdebu, berlumut, tiang-tiang angkuh dan retak itu, arwah seorang noni Belanda bernama Inggrid bangkit dari masa lalu—ia dulunya mati di rumah dansa, dibunuh oleh kekasih yang tak setia. Kini ia menjadi penjaga arwah ruang seni yang ditinggalkan, menyaksikan bagaimana “rumah budaya” dijual atas nama kemajuan.
Inggrid berbicara kepada para aktor dan penonton sebagai suara sejarah dan kesadaran kolektif. Ia menuduh manusia masa kini sebagai pembunuh kebudayaan yang mereka gaji untuk dirawat.
Di tengah sisa drum oli, rantai besi, dan dinding retak, lima aktor bangkit dari puing-puing seperti roh-roh seniman yang menolak mati. Mereka menyalakan kembali denyut kehidupan panggung dengan bunyi logam, tabuhan drum, dan gerak tubuh simbolik, seolah berzikir pada “roh teater” yang mereka cintai.
Setiap aktor berbicara dan bergerak dengan cara puitis—memukul drum, menyeret rantai, meraba tiang, mengelus dinding—membangkitkan memori, kesetiaan, dan luka. Mereka bukan sekadar pemain, melainkan saksi yang menolak diam di hadapan kehancuran.
Dalam bunyi-bunyi industrial dan lampu redup, panggung menjelma sebagai tubuh yang sekarat, sementara aktor berupaya menghidupkannya kembali melalui ritual bunyi dan perlawanan.
Di puncak pertunjukan, bunyi drum menggema seperti jantung kota. Inggrid muncul dan berseru bahwa yang berdetak bukan jantung kota, melainkan jantung kebudayaan yang hampir mati.
Pertunjukan berakhir ketika para aktor menyerahkan potongan besi kepada penonton, menandai bahwa tanggung jawab menjaga kehidupan seni kini berpindah kepada mereka.
Suara Inggrid menutup pertunjukan dari balik gelap: “Jika aku hilang, jangan tangisi aku. Tangisilah panggung ini yang kalian biarkan dikubur tanpa nisan.”
Gedung itu padam, namun gema perlawanan tetap hidup — di antara rantai, drum, dan mimpi yang belum sepenuhnya mati. ssc/mn