Payakumbuh, sumbarsatu.com — Payakumbuh Poetry Festival (PPF) 2025 resmi ditutup pada Sabtu malam, 29 November 2025, di Agam Jua Art & Culture Cafe, Payakumbuh. Selama tiga hari pelaksanaan, 27–29 November 2025, festival ini dimeriahkan dengan rangkaian diskusi dan pertunjukan yang melibatkan pelajar, sastrawan Indonesia dan Pakistan, komunitas, serta para seniman lintas media dan lintas generasi.
Direktur PPF 2025, Roby Satria, dalam pidato penutupannya menjelaskan bahwa tema Antardunia dalam Puisi dihadirkan untuk menggali dan mempertemukan beragam dunia yang ada di dalam dan di sekitar puisi.
“Dunia bunyi dan visual dalam puisi digali melalui workshop, yang kemudian dipertunjukkan dalam format sound poetry dan visual poetry. Sayembara Manuskrip Puisi PPF 2025 juga mempertemukan beragam kecenderungan kepenyairan. Di sini, kami membuka dialog produktif antara para pemenang dan Dewan Juri,” ujar Roby.
Ia juga menambahkan, diskusi-diskusi yang digelar membicarakan banyak dunia, mulai dari dunia pendidikan—dengan segala problematikanya—dunia anak, pendidikan non-formal, hingga perkembangan wacana mutakhir sastra Indonesia.
Diskusi dan Diskusi
PPF 2025 menghadirkan lima sesi diskusi. Salah satu yang menarik adalah Diskusi Pertanggungjawaban Dewan Juri yang digelar pada Sabtu, 29 November 2025.
“Jika pada sayembara umumnya keputusan juri tidak dapat diganggu gugat, di PPF justru dibuka ruang dialog antara pemenang dan dewan juri setelah keputusan ditetapkan,” kata Ivan Adilla, moderator diskusi tersebut.
Dewan Juri yang terdiri dari Gus tf, Raudal Tanjung Banua, dan Inggit Putria Marga memaparkan catatan pertanggungjawaban mereka di hadapan peserta diskusi. Sejumlah pemenang, seperti Ardiansyah Subekti, Polanco Surya Achri, Badrul Munir Chair, dan Dandri Hendika, turut memberikan tanggapan dan pertanyaan.
Diskusi lainnya, Buku Puisi Pilihan PPF (LS) Kutu-kutu Joni yang digelar Jumat, 28 November 2025, menghadirkan Ayu K. Ardi dan Raudal Tanjung Banua sebagai pembicara. Meski berlangsung secara luring dan daring, diskusi berjalan hangat. Lewat buku Kutu-kutu Joni karya Julia F. Arungan, Ayu K. Ardi membicarakan berbagai persoalan konkret dalam dunia pendidikan.
Sesi diskusi yang mempertemukan pelajar dengan salah satu pemenang sayembara, Badrul Munir Chair, juga berlangsung interaktif. Para pelajar aktif bertanya, mulai dari aspek teknis penulisan hingga persoalan tema, isu, judul, serta ukuran keberhasilan sebuah puisi.
Diskusi Puisi, Anak, dan Pendidikan di Luar Sekolah turut mengupas potensi puisi dalam pendidikan non-formal. Yona Primadesi dan Della Nasution sebagai pembicara, dengan Nisya' Tri Yolanda sebagai moderator, sepakat bahwa sastra, khususnya puisi, memiliki potensi besar sebagai jalan pedagogi alternatif.
Sementara itu, diskusi buku puisi Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan karya Heru Joni Putra, yang dibedah oleh Sudarmoko dan dimoderatori Ubai Dillah Al Anshori, mengulas perbedaan karakter buku tersebut dengan karya Heru sebelumnya, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa (2018).
Tema Antardunia dalam Puisi juga dibahas Donny Eros dan S Metron Masdison dalam diskusi yang memfokuskan diri pada alih wahana puisi ke dalam sound poetry dan visual poetry, termasuk sejarah, tantangan, dan masa depan praktik tersebut.
Satu topik tentang ekosistem sastra dan penguatan festival dialihkan ke format podcast, menghadirkan Namal Siddiqui, penyair Pakistan dan kurator internasional Ubud Writers & Readers Festival. Dipandu S Metron Masdison, diskusi membahas posisi festival-festival Global South dalam lanskap sastra dunia kontemporer.
Pertunjukan dan Pertunjukan
Sepanjang festival, sederet pertunjukan seni berbasis puisi ditampilkan, mulai dari sound poetry, visual poetry, hingga pertunjukan teatrikal.
Tiga karya sound poetry dan dua visual poetry hasil workshop dipentaskan bergantian dari malam pembukaan hingga penutupan. Karya-karya tersebut antara lain:
-
Setelah Bintang Jatuh – Mutia Elfisyah & Kezia Salwa Alevia
-
Ruang Tunggu Polijiwa – Harry Kurniawan (Ngik), Randika Putra, Aditya Maulana
-
Babad Kapal Karam – Restu Rahmanda, Aufa Zikri Al-Ghifari, M. Zaki Alkhair
Dua visual poetry lain berjudul Jalan Ninja dan Meneroka Membakar Batu, serta dua karya pemenang Sayembara Visual Poetry PPF 2023, juga ditampilkan.
Komunitas Intro membawakan pertunjukan teatrikal puisi Kembalikan Indonesiaku dari puisi Taufik Ismail, disambut hangat penonton. Grup musik D’Montis dari Sikabu-kabu juga tampil membawakan lagu-lagu berbasis puisi.
Para penyair seperti Adri Sandra dan Ikhwanul Arif turut mendeklamasikan puisi, disusul pelajar seperti Suluh Namaku dan Ada Vidia. Indra Muhidin menampilkan monolog berjudul Chairil.
PPF ke Depan
“Ke depan, PPF akan terus menjadi ruang pertemuan antara puisi, seni, dan pengalaman budaya,” kata Roby Satria.
Menurutnya, puisi tidak hanya dipandang sebagai teks, tetapi juga sebagai hasil dialog antara berbagai latar, bahasa, dan tradisi.
Ia juga menekankan bahwa isu krisis iklim akan menjadi salah satu perhatian PPF ke depan.
Di akhir sambutannya, Roby menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung PPF 2025, termasuk Kementerian Kebudayaan melalui program Penguatan Festival dan MTN Lab, Danaindonesiana, Bukik Ase, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III, para pelajar, pembicara, seniman, serta rekan media dan pengunjung.ssc/rel