Tikalak, sumbarsatu.com--Di tepian Danau Singkarak, pada sebuah akhir pekan di penghujung November, warga Nagari Tikalak tidak sekadar berkumpul. Mereka merayakan hidup.
Di Tanah Lapang Muaro, Jorong Pasir, 22–23 November 2025, sebuah alek nagari pertama digelar dengan penuh semangat: Mangirai di Tapian—sebuah festival yang lahir dari rahim masyarakat sendiri, sebagai ungkapan syukur dan perayaan kebudayaan perikanan.
Festival ini tidak datang dari ruang birokrasi, melainkan dari ingatan kolektif warga. Ia tumbuh dari relasi panjang masyarakat dengan Danau Singkarak—danau terluas di Sumatera Barat—yang setiap harinya memberi nafkah, membuka cerita, dan menanamkan nilai-nilai hidup. Tema yang diusung, “Perempuan, Nelayan, & Danau Singkarak”, menunjukkan bahwa festival ini bukan sekadar peristiwa budaya, tetapi juga pernyataan identitas.
Mangirai di Tapian digagas oleh Rozi Erdus, pegiat budaya lokal bersama Pemuda Nagari Tikalak, dengan dukungan penuh Pemerintahan Nagari. Gagasan ini kemudian memperoleh fasilitasi dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia melalui Program Aktivasi Pemanfaatan Potensi Budaya Desa. Namun lebih dari sekadar program, festival ini adalah bahasa syukur, cara bersama merawat hubungan manusia dengan alamnya.
Ikan Bilih dan Pengetahuan yang Hidup
Ikan bilih, kecil dan lincah, adalah penanda istimewa dalam kehidupan warga Danau Singkarak. Ia bukan hanya komoditas, melainkan identitas. Di Mangirai di Tapian, bilih tampil sebagai pusat cerita: dari laut kecil yang bernama danau ini, lahirlah pengetahuan yang dirawat turun-temurun—tentang waktu, cuaca, jaring, dan kearifan membaca arus.
Warga mengenalnya melalui teknik manjariang (menjaring), mamukek (memukat), marawai, hingga manangkok pensi. Pengetahuan itu tidak tertulis di buku, tetapi hidup di tangan-tangan nelayan, di dapur-dapur perempuan, di obrolan sore yang menghadap air. Festival ini mengangkat semua itu ke ruang publik: bukan sebagai romantisasi, melainkan penghormatan.
Dapur, Arak-arakan, dan Ruang Bertemu
Salah satu peristiwa yang paling menyedot perhatian adalah demo masak 101 tungku—sebuah ajang kuliner kolektif yang menghadirkan berbagai olahan bilih: pangek, rendang, masiak, dan ragam masakan tradisi lainnya. Tungku-tungku itu berbaris seperti simbol ketekunan: api, asap, dan bumbu menjadi metafora tentang kehidupan yang terus dirawat bersama.
Festival ini juga menghadirkan bararak (arak-arakan adat), pameran catatan pemetaan warga, pasar UMKM, serta pertunjukan oleh sanggar-sanggar seni dari berbagai nagari di sekitar danau—mulai dari Sanggar Seni Bungo Siriah hingga Sanggar Rang Mudo. Setiap penampilan bukan hanya atraksi, melainkan cermin dari budaya yang masih hidup dan berdenyut.
Acara ini dibuka oleh perwakilan Kementerian Kebudayaan RI dan Pemerintah Kabupaten Solok. Dalam sambutannya, perwakilan kementerian menegaskan bahwa fasilitasi desa budaya merupakan bagian dari upaya memperkuat pemajuan kebudayaan berbasis komunitas—melalui proses temukenali objek budaya, pembinaan, hingga pemanfaatan.
Namun yang menggerakkan Mangirai di Tapian bukanlah pidato, melainkan warga: perempuan yang memasak, nelayan yang berbagi cerita, pemuda yang merancang peristiwa, dan anak-anak yang menyerap semua itu sebagai pengalaman pertama tentang kebudayaannya sendiri.
Menjelang senja di hari terakhir, danau mulai menelan pantulan cahaya. Di tengah keramaian yang mulai surut, tersisa rasa yang sulit dilukiskan: perasaan dipulangkan ke asal.
Bagi warga Tikalak, Mangirai di Tapian bukanlah peristiwa yang selesai pada 23 November. Ia adalah awal dari sebuah tradisi baru—yang diharapkan menjadi agenda tahunan, sekaligus teladan bagi nagari lain di sekitar Danau Singkarak. Di tepian danau ini, kebudayaan tidak dipamerkan. Ia dihidupkan. ssc/rel