Simposium Internasional WTBOS Diharapkan Konkretkan Badan Pengelola

WE ARE SITE MANAGERS ONTERNASIONAL SYMPOSIUM

Minggu, 17/08/2025 01:55 WIB

Padang, sumbarsatu.com— Suara masa lalu masih bergema di Sawahlunto. Di balik dinding tua dan lorong gelap tambang Ombilin, tersimpan kisah tentang kerja keras, keringat, dan sejarah panjang batu bara yang membentuk kota ini. Kini, lorong-lorong itu akan kembali disusuri—bukan oleh para penambang, melainkan oleh pengelola situs warisan dunia dari berbagai negara.

Sawahlunto dikenal sebagai kota tambang batu bara peninggalan kolonial yang modern di masanya. Ratusan kilometer rel kereta api melewati tujuh kota-kabupatenm di Sumatera Barat yang berakhir di Sio Gunung di Teluk Bayur, Padang.

Akhir Agustus 2025 nanti, kota kecil di Sumatera Barat ini akan menjadi pusat perhatian dunia bukan karena sejarah kelam tambangnya, melainkan karena gagasan besar yang ditawarkannya: bagaimana merawat warisan masa lalu demi masa depan yang berkelanjutan. Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2019 di Kota Baku, >Azerbaijan. 

Selama enam hari penuh, 23–28 Agustus, Sawahlunto akan menjadi tuan rumah “We Are Site Managers International Symposium”. Sebuah forum internasional yang mempertemukan para pengelola situs warisan dunia dari berbagai belahan dunia. Bukan acara biasa, melainkan ajang pertemuan gagasan lintas batas negara dan budaya.

Lebih dari 35 pembicara dari 16 negara akan hadir. Dari Asia hingga Eropa, dari Afrika hingga Australia. Indonesia, Singapura, Thailand, Taiwan, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Belanda, Islandia, Skotlandia, Australia, Arab Saudi, Kenya, Rusia, hingga Suriah—semua berkumpul di kota kecil yang kini menyandang status Situs Warisan Dunia UNESCO.

Mereka datang membawa cerita masing-masing: tentang situs yang terancam bencana alam, tentang upaya digitalisasi dokumen sejarah, atau tentang kerja senyap para pengelola situs di tengah keterbatasan sumber daya. Semua itu akan dibahas dalam sembilan sesi tematik, dengan satu tekad yang sama: “One Shared Mission”—merawat dan menjaga warisan dunia untuk generasi mendatang.

Menurut Sudarmoko, salah seorang Dewan Pengarah, “We Are Site Managers International Symposium”. para peserta tidak hanya akan duduk dalam forum diskusi. Mereka dijadwalkan menapaki jejak tambang Ombilin dan berdialog langsung dengan masyarakat sekitar.

“Kami ingin masyarakat berperan dominan, sehingga simposium ini bukan hanya forum ilmiah, tetapi juga ruang refleksi dan aksi nyata,” tegas Sudarmoko, yang juga pengajar di FIB Unand kepada media pers, Sabtu (16/8/2025) di Padang.

Tak berhenti di ruang seminar, rangkaian acara juga diramaikan dengan Festival Tangsi yang mengisahkan sejarah tambang Ombilin, festival rakyat, pameran, hingga karnaval songket yang menampilkan kekayaan budaya lokal.

Bahkan, pihak panitia tengah mengupayakan kereta uap legendaris Mak Itam kembali aktif, meski hanya untuk rute pendek Sawahlunto–Muaro Kalaban. Kehadirannya menjadi simbol kuat bagaimana warisan masa lalu bisa dihidupkan kembali untuk generasi kini.”

Jonny Wongso, salah seortang Dewan Pengarah, menambahkan, beragam perspektif, pengalaman, serta tantangan dalam mengelola situs warisan budaya maupun alam.

“Dengan mengusung semangat kolaborasi lintas batas, forum ini menyajikan lebih dari sembilan sesi diskusi tematik, mulai dari eksplorasi dokumen Sawahlunto, digitalisasi konservasi, hingga mitigasi bencana dalam pengelolaan situs warisan. Semua bermuara pada tekad bersama: “One Shared Mission” — membangun masa depan berkelanjutan bagi situs-situs warisan dunia,” tambah Jonnt Wongso, yang juga pengajar di Universitas Bung Hatta Padang.

“Semua rangkaian itu berpijak pada satu fondasi besar: Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS), yang sejak 2019 resmi menyandang status sebagai situs warisan budaya dunia UNESCO. Status ini bukan sekadar kebanggaan simbolis. Ia adalah pengakuan dunia atas nilai universal luar biasa yang dimiliki Sawahlunto—sekaligus amanah agar situs ini tetap terjaga, lestari, dan tidak terhapus dari daftar prestisius UNESCO,” kata Jonny Wongso.

Di titik inilah Sawahlunto bergerak melampaui kisah tambang. Dari masa lalu yang keras, ia kini berdiri sebagai panggung diplomasi budaya dunia—tempat di mana sejarah, masyarakat, dan masa depan bertemu dalam satu narasi besar: menjaga warisan bagi generasi yang akan datang.

Dirjen Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan Endah Tjahjani Dwirini R., menyebut simposium ini sebagai langkah strategis Indonesia untuk memperkuat perannya di panggung diplomasi budaya.

“Kehadiran para ahli dan praktisi dari berbagai negara di Sawahlunto dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam diplomasi budaya global,” kata Endah Tjahjani Dwirini R.

Nada optimisme yang sama juga disuarakan oleh Undri, Direktur Promosi Kebudayaan Kementerian Kebudayaan. Bagi Undri, Sawahlunto bukan hanya sekadar kota tambang tua yang diakui UNESCO. Lebih dari itu, ia adalah laboratorium peradaban masa depan.

“Melalui simposium ini, kita ingin membangun jejaring solidaritas antar site managers dunia yang bekerja senyap, tetapi berdampak besar bagi kebudayaan dan kemanusiaan,” jelas Undri.

Undri menambahkan, forum internasional ini diharapkan tak sekadar melahirkan rekomendasi, melainkan juga pengalaman reflektif yang mengikat para pengelola situs di dunia dalam satu solidaritas.

“Simposium ini kami harapkan menjadi penanda penting bagi pemajuan tata kelola situs warisan dunia. Dukungan lembaga nasional maupun internasional menunjukkan bahwa kerja pelestarian adalah kerja bersama, lintas bangsa, lintas generasi,” harap Undri.

Dengan adanya simposium internasional ini, Kota Sawahlunto sebagai WTBOS, kembali menegaskan dirinya: sebuah kota kecil yang dahulu lahir dari tambang, kini membuka diri sebagai ruang dialog dunia. Dari masa lalu yang keras, ia menawarkan masa depan yang penuh harapan.

Sementara itu, menurut Annisa Rengganis, Staf Khusus Menteri Kebudayaan bidang Diplonasi Budaya dan Hubungan Internasiona simposium yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan ini merupakan langkah strategis dalam memperkuat tata kelola situs, baik di Indonesia maupun dunia.

“Simposium ini menegaskan posisi WTBOS, bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain kunci dalam diplomasi budaya global. “We Are Site Managers International Symposium” merupakan upaya bersama untuk kerja-kerja diplomasi kebudayaan secara global,” kata Annisa Rengganis.

Mendesak, WTBOS Perlu Badan Pengelola

Selain itu, gelaran simposium mengukuhkan eksistensi Galanggang Arang yang digelas dua tahun terakhir yang direspons positif dan praktik baik seniman maupun masyarakat luas di Sumatera Barat. Satu hal lagi yang kerap muncul dalam perbincangan WTBOS ini adalah terkait dengan belum dibentuknya Badan Pengelola WTBOS baik Tingkat pusat, provinsi, maupun kota-kabupaten.

Dari catatan sumbarsatu, kerap pewacanaan Badan Pengelola ini terkendala pada regulasi, belum adanya landasan hukum untuk pembentukan lembaga ini.     

Dalan perspektif hukum, Charles Simabura, dalam buku “Pemetaan Warisan Dunia Tambang Batu Bara Ombilin-Sawahlunto”, terbitan Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2023, menegaskan pentingnya payung hukum setingkat Peraturan Presiden agar WTBOS memiliki kepastian pengelolaan WTBOS.

Untuk payung hukum begini, bisa dilihat dari Candi Borobudur. Tanpa payung hukum badan pengelola itu, keberadaan WTBOS rawan terjebak tumpang tindih regulasi dan kehilangan manfaat ekonominya bagi warga sekitar, juga bagi bangsa dan pemerintah Indonesia,” kata Charles Simabura, yang juga pakar hukum tata negara di Fakultas Hukum Unand ini.

Charles Simabura menyarankan agar pengelolaan WTBOS dilegalkan lewat Peraturan Presiden, karena asetnya tersebar di banyak daerah dan instansi.

Jauh Sebelumnya, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno, pada Senin, 29 Juli 2019, setelah penetapan WTBOS sebagai warisan dunia oleh UNESCO, secara tegas mengataka, untuk menjaga warisan itu, pemerintah tengah membentuk badan pengelola khusus.

“Tidak hanya berisi pejabat pusat, badan ini juga akan melibatkan pemerintah daerah, akademisi, hingga masyarakat. Langkah ini penting agar pengakuan dunia tidak berhenti di atas kertas,” tegas Irwan Prayitno.

Struktur badan pengelo ini terbagi dalam bidang Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan, dengan ruang bagi perguruan tinggi dan komunitas lokal. “Ke depan, rencana aksi juga disiapkan agar masuk dalam RPJMN 2020–2024, sekaligus menjawab rekomendasi UNESCO.”

Lebih jauh, Ombilin bahkan diusulkan menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Dari kota tambang yang dulu meninggalkan luka, Sawahlunto kini bersiap tampil sebagai destinasi warisan dunia yang hidup, lestari, dan bermanfaat bagi masyarakatnya.

WTBOS warisan dunia UNESCO mesti dijaga bersama. Bukan hanya tanggung jawab Kota Sawahlunto, karena kawasan ini juga meliputi tujuh daerah lain: Solok, Kabupaten Solok, Sinjunjung, Tanah Datar, Padang Panjang, Padang Pariaman, dan Kota Padang.

“Tantangan akan semakin besar jika tiap daerah berjalan sendiri. Karena itu, muncul gagasan membentuk badan pengelola lintas daerah. Lembaga ini penting untuk menjaga keaslian situs, mengelola wisata, dan mendorong pemanfaatan ekonomi,” kata Sudarmoko, yang mengeditori buku “Pemetaan Warisan Dunia Tambang Batu Bara Ombilin-Sawahlunto”,

Langkah awal menuju hadirnya Badan Pengelola sudah ada. Lima daerah sudah meneken nota kesepakatan pembentukan badan pengelola bersama, yang melibatkan kampus dan komunitas lokal.

Undri, Nissa Rengganis, Jonny Wongso, dan Sudarmoko, sepakat simposium internasional WTBOS yang digelar di akhir pekan Agustus ini di Kota Sawahlunto bisa menghasilkan rekomendasi untuk mengonkretkan Badan Pengelola itu. Ini tantangan bersama.

“Tinggal menunggu dukungan Pemprov Sumbar, kotam Kabupaten, dan pemerintah pusat agar WTBOS benar-benar membawa manfaat besar dan terkelola dengan professional,” tegas Sudarmoko. ssc/mn



BACA JUGA