Pakar Otonomi Daerah dan Guru Besar IPDN Prof. Djohermansyah Djohan (Djo)
Jakarta, sumbarsatu.com—Gelombang kasus korupsi kembali menyeret kepala daerah hasil Pilkada 2024. Dalam tiga bulan terakhir, empat kepala daerah diamankan KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT): Bupati Kolaka Timur Abdul Ajis, Gubernur Riau Abdul Wahid, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, dan Bupati Lampung Tengah Ardhito Wijaya. Wakil Wali Kota Bandung Erwin juga ditetapkan sebagai tersangka oleh kejaksaan.
Fenomena berulang ini memantik pertanyaan klasik: mengapa kepala daerah masih terus terperosok korupsi?
Pakar Otonomi Daerah dan Guru Besar IPDN Prof. Djohermansyah Djohan (Djo) menyebut jawabannya tegas: penyakit struktural yang tak kunjung sembuh sejak dua dekade Indonesia menggelar pilkada langsung.
“Kutukan Kutai Kertanegara”
Dalam wawancara khusus di Jakarta, Jumat (12/12/2025), Prof. Djo mengingat peristiwa pilkada langsung pertama pada 2005. Kepala daerah perdana hasil pilkada, Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kertanegara, justru masuk penjara.
“Sejak itu, tanpa koreksi regulasi, kasus terus berulang,” ujarnya.
Ia menyebut temuan mengejutkan: selama 20 tahun, 413 kepala daerah dan wakil kepala daerah terlibat korupsi.
“Gubernur saja 38 orang—sebanyak jumlah provinsi di Indonesia,” kata Prof. Djo.
Modusnya berulang: korupsi pengadaan barang dan jasa, proyek fisik, perizinan, hingga jual beli jabatan.
“Jabatan kepala dinas, sekretaris dinas, bahkan camat ada harganya. Ini jauh dari merit system.”
Akar Masalah: Ongkos Pilkada yang Selangit
Menurut Prof. Djohermansyah, sumber kerusakan paling serius ada di awal: mahalnya biaya pilkada.
Kandidat menanggung mahar partai, logistik kampanye, jaringan tim sukses hingga desa, honor saksi, dan politik uang.
“Siapa yang bayar paling besar, dialah yang dipilih. Perilaku pemilih kita masih begitu,” jelasnya.
Biaya pemenangan kepala daerah disebut bisa mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Kabupaten kecil sekitar Rp30 miliar, kabupaten besar menembus Rp150 miliar lebih.
Tak heran, setelah menjabat, kepala daerah berburu “balik modal” melalui intervensi administrasi dan fee proyek.
“Inilah yang disebut pegawai sebagai ‘jatah preman’,” ungkap Prof. Djo.
Ia menyebut akhir tahun sebagai musim rawan: banyak pencairan anggaran dan penyelesaian kontrak.
“Kalau OTT digencarkan bulan Desember, jumlah kepala daerah yang tergaruk pasti lebih banyak.”
Jaringan Gelap dan Kode Rahasia
Korupsi kepala daerah, katanya, selalu melibatkan jaringan internal: kerabat, staf khusus, tenaga ahli, bahkan anggota DPRD.
Mereka menjadi broker fee proyek dan jual beli jabatan—kadang memakai kode seperti “meter” atau “batang” untuk menyamarkan nominal.
“Ini mudah dilacak lewat penyadapan,” katanya.
Prof. Djo juga menyinggung lemahnya penegakan hukum.
“Pelaku bisa tertawa, senyum-senyum di pengadilan, dapat remisi, keluar cepat, bahkan boleh maju lagi. Ada yang masuk penjara, keluar, maju lagi, menang lagi, ditangkap lagi. Rusak sekali,” tegasnya.
Di negara lain, koruptor dikenai hukuman berat, penyitaan total aset, dan larangan seumur hidup menduduki jabatan publik.
Reformasi Total Pilkada
Ia menegaskan, masalah ini tak bisa diselesaikan secara parsial. Perbaikan harus menyeluruh:
-
Reformasi sistem pemilihan kepala daerah agar tidak berbiaya mahal dan kembali pada roh konstitusi dan Pancasila.
-
Menata proses elektoral: rekrutmen kandidat oleh partai melibatkan publik, memperketat syarat calon, menutup pintu politik dinasti, serta menyeleksi KPU–Bawaslu dari figur yang benar-benar independen.
-
Penegakan hukum yang keras dan tegas: hukuman berat, tanpa remisi, dan pelarangan politik bagi mantan koruptor.
-
Membangun kultur politik bersih, termasuk pendidikan pemilih agar menolak politik uang.
Tanpa reformasi total itu, ia pesimistis keadaan akan berubah.
“Selama pilkada tetap mahal, korupsi kepala daerah akan terus berulang,” tutup Prof. Djo. ssc/*