Lima Tahun WTBOS Dirayakan dengan Pameran Seni Instalasi di BIM

Senin, 16/09/2024 20:59 WIB

Padang, sumbarsatu.com—Tiga karya instalasi seni dari empat perupa Sumatera Barat dipamerkan pada ruang kedatangan penumpang pesawat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Pameran bertajuk “Seri Karya Seni Instalasi untuk Memperingati Lima tahun Penetapan Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) sebagai Warisan Dunia” ini telah berlangsung sejak bulan Juni 2024 dan akan berakhir di Desember 2024.

Selain bagian dari aktivasi WTBOS dan publikasi Galanggang Arang 2024, pameran juga dirancang untuk merefleksikan sejarah serta identitas lokal melalui seni instalasi. Galanggang Arang sendiri merupakan program prioritas dari Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI untuk memperkuat ekosistem WTBOS yang sudah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia pada 6 Juli 2019.

“Peringatan lima tahun WTBOS merupakan arena konflik ingatan dan identitas yang terus berkembang, jadi tidak sekedar objek nolstalgia. Karenanya ketiga instalasi yang dipamerkan menantang narasi dominan soal kolonial dan menawarkan perspektif baru tentang identitas dan masa depan budaya lokal,” kata Mahatma Muhammad, kurator Galanggang Arang. Senin (15/9/2024).

Instalasi yang dipamerkan diantaranya berjudul ‘Aset’ karya Arif Rahman, dari komunitas Rumah Ada Seni (RAS). Arif memilih visual kereta api mak itam yang pada badannya terpatri gambar pemain tambua tansa yang dibuat dari kolase paco-paco (kain perca) warna-warni.

Pemilihan simbol ini menunjukan betapa kompleksnya sejarah dan identitas lokal, sekaligus bentuk gugatan untuk memaknai warisan pada konteks yang lebih luas dan dinamis.

Kemudian ada ‘Pohon Hikayat’ karya Romi Armon, pendiri dari Kato Lab Art. Ia mengolah bahan mix media untuk dibuat visualisasi pohon yang kira-kira setinggi 2 meter dan pada dahannya terdapat lubang terowongan dan rel kereta api.

Melalui metafora pohon, Romi mengajak kita menyelami kisah-kisah yang terukir dalam lingkaran usia pohon, menggali makna sejarah dan mengkritik dampak kolonialisme serta isu lingkungan yang muncul akibat eksploitasi tambang.

Karya ketiga berjudul “Manuskrip Emas Hitam” yang dikerjakan oleh seniman Nasrul Palapa, pemilik galeri 89 dan Erlangga dari komunitas seni Belanak. Instalasi ini menggunakan medium tidak konvensional seperti kulit kayu, besi, kain beludru yang dilapisi tinta emas dan objek tradisional seperti ganto dan balango.

“Manuskrip ini menceritakan mulai dari penemuan batubara hingga pembangunan infrastuktur seperti sistem perkeretaapian dan pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) oleh Belanda untuk kepentingan eksploitasi. Seluruh pengetahuan itu berasal dari cerita masyarakat lokal,” ujar Nasrul.

Menurut Mahatma, manuskrip merujuk pada naskah-naskah hidup yang diceritakan masyarakat lokal tentang perlawanan, ketahanan, dan kreativitas mereka di tengah eksploitasi. Sedangkan emas hitam merefleksikan batubara sebagai sumber daya alam yang membawa berkah sekaligus petaka, menyiratkan kontradiksi yang kompleks dalam sejarah pertambangan Ombilin.

Melalui pendekatan dekolonial dan etnografis, ketiga instalasi menempatkan pengalaman dan ingatan lokal di pusat narasi. Narasinya berisi kritik bagaimana warisan itu kini dirayakan sementara kenyataan pahit dari eksploitasi dan penindasan masa lalu nyaris terlupa.

WTBOS mungkin diakui dunia, tapi pengakuan itu tidak serta merta menghapus jejak kolonial yang ditinggalkannya. Jadi, instalasi ini menjadi peringatan darurat atas bahaya melupakan penderitaan yang membentuk sejarah masyarakat. Sekaligus jadi harapan untuk memperjuangkan masa depan yang lebih baik.

“Selama ini kita mengenal WTBOS sebagai warisan kolonial yang berpengaruh besar di dalam perekonomian di masa itu. Dan cerita mengenai tambang batubara ini hampir selalu dari perspektif kolonial. Yang seringkali diabaikan adalah cerita dari masyarakat yang dulunya bekerja sebagai buruh di sana,” kata Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek.

Menurutnya, narasi pada karya instalasi ini berangkat dari riset yang cukup mendalam tentang perjalanan sejarah. Ia menangkap bagaiamana penderitaan rasa sakit itu yang disublimasi oleh karya kreatif yang kuat secara narasi.

“Mudah-mudahan ini menginspirasi seluruh bandara di Indonesia untuk memberi ruang pada seni visual khususnya karya-karya instalasi. Berharap dengan cara begitu, agenda untuk memajukan kebudayaan bisa berjalan dengan baik,” jelas Hilmar.

Pameran Seni Non-Konvensional

Sebagai ruang publik, BIM menjadi ruang temu berbagai kalangan mulai dari pelajar, pebisnis, hingga wisatawan dan warga lokal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dari bulan Januari hingga Juli 2024 diperkirakan rata-rata ada seratus ribuan penumpang angkutan udara untuk penerbangan domestik dan internasional di BIM.

Artinya semakin besar kesempatan untuk memperkenalkan karya tentang WTBOS dari Seniman Sumatera Barat kepada dunia.

“Pemilihan BIM sebagai ruang pameran non konvensional bertujuan untuk menjangkau khalayak yang belum terbiasa mengunjungi pameran di galeri seni rupa. Seni bisa merespons berbagai ruang. Jadi tidak harus di ruangan khusus pameran,” jelas Mahatma.

Pameran ini jadi upaya untuk membangun ruang dialog sekaligus refleksi tentang isu-isu penting seperti warisan budaya, kolonialisme, dan keberlanjutan lingkungan.

“Secara keseluruhan, pameran ini merupakan merupakan platform penting untuk memperdalam dialog tentang warisan budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Harapannya melalui karya ini, pengunjung dapat memahami dan meresapi nilai sejarah, budaya dan identitas. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat, maka rasa kepemilikan untuk menjaga dan merawat WTBOS akan tumbuh,” tutup Mahatma. SSC/LIKE



BACA JUGA