OLEH Santika F. Sulaiman, S.Hum., M.Pd. (Guru di Sekolah Alam dan Penikmat Sejarah)
“Pada musim hujan yang sendu di penghujung tahun 1717, seorang wanita Nias telah dihukum dengan cara yang menakutkan untuk kita sekarang. Lemanire, mungkin berusia setengah baya, telah didakwa membunuh seorang orok—cucunya sendiri. Atas kejahatannya, ia dijatuhi hukuman mati—‘dibakar di tempat di mana hukuman pidana biasa dilaksanakan’. Nun di tanah lapang di seberang sungai di sisi lain Benteng Padang, si pesakitan diikat pada sebuah tiang. Dengan tali melilit leher, tangan dan kaki, api kemudian dinyalakan di bawahnya.”
Demikianlah sedikit cuplikan dari buku Padang Abad XVII-XVIII: Sejarah Masyarakat dan Tradisi karya Deddy Arsya dan Muhammad Ikbal. Baru terbit pada Agustus tahun 2024 ini. Kutipan tersebut hadir sebagai pembuka sub-bab yang berbicara tentang bagaimana hukuman dan peradilan dijalankan di tengah masyarakat Eropa dan pendukungnya dalam Benteng VOC di Padang.
Tidak hanya dihukum dengan cara dibakar seperti pada kutipan di atas, si terhukum yang sudah hangus terpanggang itu pun selanjutnya juga akan dikirim Pulau Pisang untuk disalibkan di atas pohon agar dimakan burung-burung.
Hal demikian itu ialah satu di antara banyaknya fakta sejarah mencengangkan yang sama sekali nyaris tidak pernah saya ketahui selama ini yang diungkapkan oleh buku ini. Lebih banyak lagi fakta-fakta sejarah yang lain yang akan membuat kita terpesona jika terus membalik halaman demi halaman dari buku setebal 354 halaman itu.
Tahukah kita, misalnya, kalau benteng VOC di Padang dinamakan Fort Buuren? Sepanjang buku sejarah tentang Kota Padang yang pernah saya baca, baru pada buku inilah informasi demikian itu saya temukan.
Tahukah pula kita jika Kota Padang pada era VOC dibangun oleh para tukang dari Benggala, dengan mempekerjakan kuli-kuli dari kalangan budak Nias dan Madagaskar juga?
Apakah kita pernah tahu jika Anduriang dan Kampung Pisang ialah dua kampung di Padang yang khusus disediakan VOC sebagai tempat relokasi bagi para pemberontak Pauh yang tidak mau patuh?
Tahukah kita bahwa anak-anak raja dari Minangkabau berulang kali turun ke Padang membawa pasukan besar untuk berperang dengan VOC dan nyaris selalu kalah?
Ternyata, korupsi adalah “penyakit” yang mewabah sudah sejak awal di Padang, diidap oleh mulai dari para pejabat tinggi VOC di benteng Padang hingga para datuk-datuk di nagari sekitarnya.
Kita juga akan dibuat terheran-heran dengan episode-episode perang yang secara panjang-lebar diceritakan dalam buku ini. Antara penguasa pribumi Padang yang bersekutu dengan VOC melawan Panglima Aceh, antara VOC melawan nagari-nagari sekitar Padang yang gigih seperti Pauh dan Koto Tangah, antara VOC dan penguasa-penguasa kerajaan Pagaruyung, dan antara VOC dengan Inggris, Prancis, dan seterusnya. Perang-perang itu dipicu oleh berbagai hal, mulai dari monopoli atas emas dan lada, penguasaan atas garam dan kain, atau karena VOC yang menolak membayarkan upeti kepada kerajaan Minangkabau, maupun karena perebutan komoditas perdagangan oleh sesama bangsa Eropa.
Perang-perang itu digambarkan penulisnya dengan hidup seolah-olah kita sedang mengikuti film kolosal yang sambung-menyambung. Jika seandainya ada yang berniat mengangkatnya menjadi film, tentulah akan menghasilkan film kolosal yang panjang dan menegangkan.
Buku ini selanjutnya juga menceritakan proses pembentukan loji VOC sebagai titik pijak paling awal orang-orang Eropa di Padang dan perluasannya menjadi benteng yang lebih besar. Buku ini juga merinci pertumbuhan infrastruktur-infrastruktur di luar benteng itu, berupa bangunan-bangunan sepanjang tubir Batang Arau, atau kadang disebut juga Sungai Padang.
Kata buku ini, saya kutipkan, “di kiri dan kanan sungai itu, berdiri barisan gudang dan pelabuhan/dermaga, gereja dan rumah sakit, juga beberapa bengkel kerja dan pabrik, dan permukiman segretatif—rumah-rumah Eropa, lalu Cina, dan lebih ke hilir lagi kampung-kampung kelompok penduduk yang sengaja didatangkan oleh VOC untuk mendukung agenda mereka, semisal Nias dan Bugis”. Semua itu, kata buku ini lagi, “telah memberikan suatu lanskap sebuah kota kolonial yang utuh” bagi pertumbuhan paling awal bagi Padang sebagai sebuah kota.
Aspek-aspek yang ditekankan buku ini, kata penulisnya dalam pendahuluan, sesungguhnya ialah aspek-aspek sosial dan budaya yang jarang dibicarakan. Maka, bab berikutnya membahas beragam aktifitas atau kegiatan dari beragam kelas dan bangsa dalam kota itu. Selengkapnya dituliskan dalam buku ini begini: “Mereka terkotak-kotak ke dalam stratifikasi sosial yang nyaris statis tanpa kemungkinan mencipta mobilitas sosial. Dalam kuasa garis piramida sosial yang kaku itu, mereka terlibat dalam beragam relasi dan interaksi. Kegiatan-kegiatan lebih bersifat keseharian (daily-life), yang melibatkan orang-orang pada umumnya (ordinary-people), dan agak menjauh dari percaturan elite-elite yang menentukan pergisiran politik dan perdagangan di situ.”
Aspek yang juga tidak kalah penting dari buku ini ialah penekanannya kepada kegiatan budaya. Bukan saja orang-orang Eropa (VOC) dan etnis-etnis pendukungnya, tetapi juga berbagai tradisi dari masyarakat kampung-kampung utama di luar kota yang terdekat di mana Kompeni banyak berhubungan baik sebagai sekutu setia maupun musuh berbuyutan. Buku ini, dengan bahasa yang menarik, menerangkan dengan hidup bagaimana “siklus laku-tradisi yang telah mereka pertahankan, juga adat-kebiasaan yang mereka lakoni”.
Pada bagian berikutnya dari buku ini juga ditelaah dan dianalisa berbagai bentuk atau pola intekasi antar-elemen dan komunitas. Mula-mula, interaksi yang bersifat negatif, yang memunculkan respon yang tidak kalah negatif pula, lewat serangkaian konflik yang berdarah.
“Kami mencoba untuk mendudukkan apa saja faktor-faktor yang mungkin menjadi pemicu konflik-konflik itu terus bertahan dan berusia panjang di situ. Kami melihat, berbagai pemaksaan untuk monopoli dagang dan penutupan akses ke ruang-ruang mata pencaharian telah menjadi penyebabnya. Akan tetapi, tidak semata menimpakannya kepada determinisme material-ekonomi, kami juga menawarkan sisi yang lebih ideologis, semisal semangat keagamaan melawan bangsa kafir dan spirit kebangsawanan untuk mengukuhkan kekuasaan lama Minangkabau yang pada kurun itu tengah tersengal-sengal oleh keretakan internal,” demikian kata penulisnya.
Setelah itu, yang juga tidak kalah menarik, pada bab yang sama juga dibicarakan “ruang-urang persentuhan yang lebih akomodatif, di mana pertemanan yang akrab dan lebih ramah terjalin, apakah lewat perjalanan bersama dengan kapal, pertemuan-pertemuan dalam rapat dan sidang, saling mengunjungi dalam pesta dan perayaan untuk kemudian bertukar hadiah dan cendramata, atau bahkan saling menguatkan dan melindungi di tengah medan perang yang bergejolak, maupun persapaan secara tidak sengaja di pasar, jalan, pelabuhan, halaman benteng, maupun pada tempat lain yang mungkin”.
Lantas, yang terakhir, sentimen-sentimen berupa stereotipe-stereotipe yang terus terpelihara di kalangan orang-orang Eropa atas orang-orang Melayu-Minangkabau dan juga Cina turut dibicarakan. Berbagai sentimen tersebut, kata penulisnya, “justru mendasari interaksi-interaksi mereka sehingga proses akomodasi antaretnis maupun bangsa tidak pernah benar-benar berjalan tanpa kecurigaan dan kewaspadaan”.
***
Secara umum buku ini punya lingkup pembahasannya yang luas dan mengetengahkan fakta-fakta baru. mengupas tuntas kehidupan masyarakat Kota Padang pada abad ke-17 hingga ke-18, memberikan perspektif baru tentang sejarah lokal kota ini di masa paling awal dari kehadiran imperialisme Eropa di Pantai Barat Sumatra. Buku ini menghadirkan gambaran yang rinci mengenai kondisi sosial, budaya, dan tradisi masyarakat Padang pada periode tersebut, berfokus pada dinamika kehidupan sehari-hari, praktik sosial, hingga interaksi masyarakat Eropa maupun pribumi.
Secara khusus, buku ini mengungkap aspek-aspek kehidupan lokal yang sering kali luput dalam buku sejarah nasional, seperti adat istiadat masyarakat Padang, pola perdagangan, serta perkembangan arsitektur kota yang terpengaruh oleh budaya Eropa dan Asia lainnya. Buku ini berhasil menggabungkan fakta sejarah dengan deskripsi yang hidup, seakan membawa pembaca merasakan sendiri kehidupan di Padang pada masa itu.
Keunggulan lain dari buku ini adalah pendekatannya yang interdisipliner, memadukan sejarah dengan sosiologi dan kajian budaya, sehingga memberikan sudut pandang yang lebih holistik serupa itulah. Sehingga tepat sekali dikatakan di bagian pendahuluan buku ini, “Jika selama ini Padang dan kawasan Pantai Barat umumnya dikenal sebagai bagian dari jalur rempah dengan segala dinamika politik dan perdagangan yang melingkarinya, maka buku ini berupaya menghadirkan kehidupan masyarakat dan budayanya”. Tepat pula seperti yang dikatakan Profesor Gusti Asnan pada sampul depan buku ini, sebagai sebuah karya yang sarat novelties dan belum pernah dilakukan peneliti dan penulis lain sebelumnya.
Salah satu aspek menarik lainnya dari buku ini ialah adalah penggunaan metode sejarah mikro, yang memungkinkan pembaca melihat sejarah melalui perspektif orang-orang biasa dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dari tokoh besar atau peristiwa besar. Dengan demikian, pembaca dapat memahami bagaimana perubahan besar seperti kolonialisme Eropa-Belanda mempengaruhi masyarakat lokal pada tingkat personal dan komunitas.
Bagi para pembaca yang tertarik memahami sejarah lokal dan kontribusinya dalam sejarah Indonesia secara keseluruhan, buku ini merupakan referensi yang sangat berharga. Oleh sebab itu, secara keseluruhan, buku ini memperkaya literatur sejarah lokal Indonesia, khususnya Sumatera Barat, dan dapat menjadi sumber inspirasi untuk menggali lebih banyak kisah daerah yang sering kali terpinggirkan dalam narasi sejarah mainstream.
Selain itu, Deddy Arsya dan Muhammad Ikbal menampilkan dinamika perdagangan di Padang yang menjadi pintu gerbang utama perdagangan di Pesisir Barat Sumatra pada abad tersebut. Mereka menjelaskan bagaimana Padang berfungsi sebagai pusat perdagangan yang strategis bagi kepentingan ekonomi Belanda, yang melibatkan berbagai komunitas etnis seperti Minangkabau, Aceh, dan pedagang dari India hingga Tiongkok. Pendekatan ini memperlihatkan kota Padang sebagai bagian dari jaringan perdagangan global di Asia, menjadikan buku ini sangat relevan untuk memahami posisi Sumatera Barat dalam sejarah perdagangan dunia.
Akhirnya, buku ini juga memiliki nilai tambah sebagai referensi bagi generasi muda, khususnya mereka yang ingin mengetahui lebih banyak tentang asal-usul kota Padang dan bagaimana nilai-nilai serta tradisi yang ada sekarang terbentuk dari sejarah panjang ini. Deddy Arsya dan Muhammad Ikbal berhasil menyusun buku ini dengan pendekatan yang dapat menjangkau pembaca dari berbagai kalangan, menjadikannya kontribusi yang signifikan bagi literatur sejarah Indonesia.
***
Buku sejarah lokal Kota Padang ini memiliki nilai penting dalam pembelajaran siswa karena memberikan pemahaman mendalam tentang identitas, budaya, dan perkembangan kota mereka sendiri. Memahami sejarah lokal membantu siswa mengaitkan peristiwa sejarah nasional atau global dengan konteks daerah mereka, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menghargai keberagaman budaya, nilai-nilai lokal, dan kontribusi daerah terhadap bangsa. Selain itu, sejarah lokal mengajarkan pentingnya menjaga warisan budaya serta meningkatkan rasa memiliki dan bangga terhadap daerah asal mereka.
Selain itu, buku ini juga dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis dengan menganalisis perubahan sosial, ekonomi, dan politik di daerah mereka. Ini juga mendorong mereka untuk mengenal tokoh-tokoh lokal yang mungkin tidak banyak dikenal secara nasional, namun punya peran besar dalam membangun kota dan masyarakat. Sejarah lokal memberikan konteks yang relevan bagi siswa untuk memahami isu-isu lokal yang masih ada hingga kini, seperti pelestarian budaya atau tantangan pembangunan. Dengan begitu, pembelajaran sejarah lokal tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga memotivasi siswa untuk berkontribusi positif bagi kemajuan daerahnya.
Buku ini dapat dikata akan memiliki peran penting dalam pengembangan literasi di sekolah karena dapat memperkaya sumber bacaan yang relevan dan bermakna bagi siswa. Dengan materi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka, siswa lebih terdorong untuk membaca, memahami, dan mendiskusikan isi buku, sehingga literasi mereka berkembang secara alami. Selain itu, buku sejarah lokal seperti buku ini membantu siswa mengenal kosakata dan istilah yang mungkin khas daerah mereka, memperluas wawasan linguistik dan keterampilan bahasa.
Penggunaan buku ini juga akan mendukung literasi kritis, di mana siswa dilatih untuk menganalisis informasi, membandingkan berbagai sumber sejarah, dan membangun perspektif yang lebih objektif tentang masa lalu daerah mereka. Ini mengajarkan siswa cara membaca yang lebih mendalam, tidak hanya sekadar menghafal fakta, tetapi juga memahami konteks dan dampaknya.
Buku ini akan berguna dan berperan dalam membangun literasi visual dan literasi media siswa. Buku ini dilengkapi dengan peta, foto-foto, ilustrasi, dan dokumen sejarah, yang membantu siswa belajar membaca dan menafsirkan informasi visual dengan lebih baik. Melalui peta atau foto zaman dulu, mereka dapat memahami perkembangan fisik dan sosial kota mereka, yang memperkaya keterampilan literasi visual mereka.
Selain itu, dengan adanya literatur sejarah lokal seperti ini, sekolah bisa mengadakan kegiatan literasi berbasis project, seperti penulisan ulang sejarah lokal dari sudut pandang siswa atau wawancara dengan narasumber lokal. Kegiatan ini tidak hanya memperkuat keterampilan literasi siswa, tetapi juga menghubungkan mereka secara langsung dengan komunitas dan sejarah di sekitar mereka, menciptakan pengalaman belajar yang lebih interaktif dan aplikatif.
Apalagi jika buku sejarah lokal ditulis dalam gaya bahasa yang menarik dan sastrawi, maka akan ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh baik bagi siswa maupun proses pembelajaran secara keseluruhan.
Deddy Arsya dan Muhammad Ikbal, sebagai penulis buku ini, mendalami berbagai sumber sejarah dan arsip, menghadirkan bukti dokumentasi yang otentik dan terperinci. Mereka juga memberikan konteks yang kaya terhadap perubahan sosial-budaya yang terjadi akibat kehadiran kolonialisme. Salah satu keistimewaan buku ini adalah gaya penulisannya yang tidak hanya akademis, tetapi juga naratif, membuatnya lebih mudah dinikmati oleh pembaca awam maupun peneliti.
Pertama, gaya bahasa yang sastrawi membuat kisah sejarah lebih hidup dan mengalir seperti cerita, sehingga siswa lebih tertarik untuk membaca dan memahami isinya. Kisah-kisah sejarah tidak lagi terasa kaku atau membosankan; justru, siswa akan merasa terlibat secara emosional dengan alur cerita, tokoh, dan latar belakangnya. Hal ini membantu siswa mengembangkan kecintaan pada literasi dan sejarah sejak dini.
Kedua, bahasa yang sastrawi menumbuhkan daya imajinasi dan pemahaman yang lebih mendalam. Siswa akan lebih mudah membayangkan kehidupan masa lalu dan memahami konteks sosial-budaya saat itu. Hal ini memfasilitasi kemampuan mereka untuk berempati dan melihat perspektif yang berbeda, meningkatkan kecerdasan emosional mereka.
Selain itu, gaya penulisan yang kreatif mengajarkan siswa cara mengekspresikan diri dalam bahasa yang lebih variatif dan kaya. Dengan membaca buku sejarah lokal yang sastrawi, siswa belajar bagaimana fakta dan data bisa disampaikan secara kreatif dan menarik. Ini membantu meningkatkan kemampuan menulis mereka, karena mereka belajar tentang gaya bahasa, metafora, dan cara menggabungkan fakta dengan elemen naratif yang kuat. Dalam jangka panjang, pendekatan ini bisa membentuk siswa menjadi pembaca yang kritis dan penulis yang kreatif.
***
Adalah sebuah keanehan jika perpustakaan sekolah di Kota Padang tidak memiliki koleksi tentang sejarah kotanya sendiri. Siswa akan kehilangan kesempatan berharga untuk mempelajari dan memahami identitas sejarah dan budaya serta warisan daerah mereka. Tanpa akses ke literatur sejarah lokal, pemahaman siswa tentang kota mereka mungkin hanya terbatas pada informasi umum atau cerita yang didapat dari keluarga, yang sering kali kurang terstruktur atau terdokumentasi dengan baik.
Ketiadaan koleksi sejarah lokal di perpustakaan sekolah juga membuat siswa sulit untuk menghubungkan pengetahuan sejarah nasional dengan konteks lokal, yang sebenarnya bisa memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna. Siswa cenderung merasa lebih asing dengan lingkungan mereka dan mungkin tidak memiliki rasa bangga atau rasa memiliki terhadap kotanya.
Selain itu, mereka kehilangan kesempatan untuk memahami tantangan dan kontribusi daerahnya dalam sejarah bangsa, yang penting untuk membangun rasa cinta tanah air.
Untuk perpustakaan, kekurangan koleksi lokal juga berarti kurangnya variasi bacaan yang relevan dengan kehidupan siswa. Padahal, sejarah lokal yang dikemas dengan menarik dapat menjadi alternatif bacaan yang edukatif dan menyenangkan, serta dapat mendukung program literasi di sekolah. Jika koleksi tentang sejarah Kota Padang tersedia, sekolah dapat memanfaatkannya untuk mengadakan kegiatan literasi berbasis sejarah, seperti diskusi, proyek kreatif, atau kunjungan ke tempat bersejarah, yang semuanya memperkaya pengalaman belajar siswa.
Selain itu, ketiadaan koleksi sejarah lokal di perpustakaan sekolah juga menghambat guru dalam merancang pembelajaran kontekstual yang relevan dengan kehidupan siswa. Guru kehilangan sumber referensi penting yang seharusnya bisa digunakan untuk menjelaskan sejarah dengan contoh-contoh yang dekat dan mudah dipahami siswa. Hal ini mengurangi efektivitas pengajaran sejarah dan peluang untuk mengaitkan materi pelajaran dengan lingkungan langsung mereka.
Ketiadaan buku sejarah lokal juga bisa menimbulkan kesenjangan informasi antargenerasi. Siswa mungkin tumbuh dengan pengetahuan yang terbatas tentang asal-usul budaya, nilai, dan tradisi lokal karena informasi yang mereka terima lebih didominasi oleh sejarah umum yang kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Ini juga berpotensi membuat siswa lebih mudah kehilangan minat pada sejarah dan budaya lokal karena terasa jauh dari realitas mereka.
Terakhir, dengan tidak adanya koleksi ini, kesempatan bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan memahami kompleksitas perkembangan kota dari masa ke masa menjadi terbatas.
Oleh sebab itu, buku sejarah lokal yang kaya akan data, kisah, dan narasi lokal yang dapat memberikan perspektif unik tentang perubahan sosial, budaya, dan ekonomi yang terjadi di sekitar mereka, sudah harus wajib ada untuk mendukung literasi sekolah yang memadai dan berkelanjutan.
Padang, 2024.