
OLEH Iwa Salji Elbi Satria (Guru SMPN 3 Batipuh / Peserta Duta Guru CBP Rupiah Championship 2025)
MANUSIA adalah makhluk ekonomi atau dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah homo economicus. Sebagai makhluk ekonomi, manusia senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan hidup semaksimal mungkin dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.
Dalam menjalani fungsi ekonominya, manusia tidak terlepas dari uang, karena uang digunakan sebagai alat tukar dalam memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan.
Pada awalnya, manusia tidak mengenal uang dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan. Semua kebutuhan dipenuhi dari alam di lingkungan sekitar. Apabila sumber daya alam menipis, mereka berpindah tempat tinggal. Era ini dikenal dengan istilah nomaden.
Seiring perkembangan kehidupan, manusia mulai menetap di suatu tempat sehingga muncul sistem pertukaran barang atau barter. Namun, karena kebutuhan manusia semakin kompleks, sistem barter dianggap tidak lagi efisien. Dari sinilah lahir uang sebagai alat tukar.
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, Indonesia memiliki mata uang sendiri, yaitu Rupiah, yang berlaku secara sah di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Uang, khususnya Pasal 21 yang menyatakan: “Setiap transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI, baik oleh penduduk maupun bukan penduduk, serta orang asing yang bekerja di wilayah Indonesia, wajib menggunakan mata uang Rupiah.”
Jika ditelaah lebih dalam, Rupiah tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar atau alat ukur nilai, tetapi juga memiliki makna simbolik yang lebih dalam sebagai simbol kedaulatan dan identitas bangsa. Sebagai simbol kedaulatan, hanya negara merdeka dan berdaulat yang mampu menciptakan mata uang sendiri.
Identitas bangsa tercermin pada setiap lembar Rupiah yang memuat simbol negara Indonesia, yakni Garuda Pancasila, frasa “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, gambar pahlawan, serta visualisasi keanekaragaman budaya dan kekayaan alam Nusantara.
Jika berbicara tentang pahlawan, tentu erat kaitannya dengan visualisasi pada lembaran uang. Tak hanya di Indonesia, beberapa negara lain juga menerapkan hal serupa, seperti Amerika Serikat. Pada pecahan paling ikonik Dolar Amerika, yakni 100 dolar, terdapat gambar salah satu founding fathers-nya, “Yang Mulia” Benjamin Franklin.
Penempatan ini bukan tanpa alasan—selain sebagai penghormatan, juga untuk menumbuhkan rasa nasionalisme serta memperkuat identitas kesejarahan bangsa tersebut.
Di Indonesia, penempatan gambar pahlawan pada uang dimulai pada tahun 1952 melalui Seri Kebudayaan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Saat itu, sosok R.A. Kartini dan Pangeran Diponegoro diperkenalkan sebagai figur visual pertama dalam mata uang Indonesia yang menampilkan pahlawan.
Langkah ini terus dilanjutkan pada seri-seri Rupiah berikutnya. Hal ini dapat kita lihat hingga hari ini: hampir setiap lembar uang memuat gambar pahlawan. Penempatan ini dinilai sangat penting karena menyampaikan pesan sejarah dan kebangsaan kepada masyarakat.
Rupiah, sebagai mata uang Republik Indonesia, secara spesifik memuat makna tersirat dalam setiap gambar yang ditampilkan. Misalnya, pada pecahan Rp1.000, terdapat gambar Cut Nyak Meutia, seorang pejuang perempuan dari Aceh. Sebagai sosok yang dibesarkan dalam tradisi Islam yang kuat, ia meyakini bahwa demi kepentingan agama dan bangsa, seseorang harus rela mengorbankan harta, kedudukan, bahkan nyawa.
Sikap perlawanan dan anti-penjajahan ini ia warisi dari ayahnya yang merupakan bangsawan di Aceh Utara. Sebagai bentuk ketegasan sikap, Cut Nyak Meutia rela berpisah dengan suami pertamanya karena suaminya berpihak pada Belanda. Ia kemudian melanjutkan perjuangan sebagai pemimpin sekaligus ahli strategi perang hingga gugur pada 1910 setelah ditembak Belanda.
Pada pecahan Rp2.000, terdapat sosok M.H. Thamrin, tokoh dari Betawi yang dikenal dekat dengan rakyat kecil. Ia memperjuangkan hak-hak masyarakat Betawi di tengah dominasi penjajahan Belanda. Selanjutnya, pada pecahan Rp10.000, terpampang gambar Frans Kaisiepo, politikus yang pernah menjabat Gubernur Papua dan menjadi simbol perjuangan rakyat Papua.
Dikutip dari laman Kementerian Keuangan, pada 31 Agustus 1945, Frans merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan Indonesia Raya di Papua, ketika wilayah tersebut masih diduduki Belanda.
Narasi-narasi yang ditampilkan dalam Rupiah bukan hanya tentang perjuangan melawan kolonialisme, tetapi juga perjuangan mempertahankan eksistensi negara. Salah satu contohnya adalah pecahan Rp50.000 yang memuat gambar Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri ke-10 sekaligus yang terakhir dalam sistem parlementer. Ia dikenal sebagai tokoh politik yang berperan besar dalam memperkuat keutuhan wilayah Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, serta sebagai sosok yang sangat peka terhadap isu-isu kedaulatan bangsa.
Tak kalah penting, Rupiah juga memiliki lembar ikonik, yakni pecahan Rp100.000 yang menampilkan dua proklamator bangsa: Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Kehadiran kedua tokoh ini di lembar tertinggi bukan semata karena nilainya, tetapi karena kekuatan simboliknya.
Mereka adalah tokoh yang berani mengambil risiko besar sebagai “Bapak Bangsa” dan memperkenalkan gagasan nasionalisme yang menyatukan Indonesia sebagai bangsa besar.
Dari uraian lembar demi lembar, kita dapat menyinestesisikan pesan-pesan inspirasional dari para tokoh yang ditampilkan. Perjuangan dan perjalanan sejarah bangsa disintesiskan secara utuh tanpa dikotomi, menjadi narasi kolektif yang membentuk Republik Indonesia. Pesan-pesan yang tersirat dalam visualisasi Rupiah bukan sekadar dekorasi—ia adalah pengingat kesejarahan dan identitas nasional.
Karena itu, Rupiah layak dimaknai sebagai wajah bangsa. Pesan yang dikandungnya dapat diwariskan sebagai bagian dari identitas kebangsaan, sekaligus menjadi wujud konkret dari persatuan kita sebagai bangsa Indonesia.*