
OLEH Lismomon Nata (Doktor Ilmu Lingkungan)
"Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun."
DI berbagai wilayah Indonesia hingga negeri seberang, bahkan di sejumlah negara di belahan dunia ini, cukup mudah menemukan orang bersuku Minangkabau—atau setidaknya mereka yang memiliki darah keturunan Minang. Mereka hadir dalam berbagai profesi: pejabat, politikus, cendekiawan, ulama, pekerja swasta, pedagang, pemilik warung nasi Padang, selebritas, hingga pelaku seni dan hiburan.
Keberadaan mereka di luar daerah asal, yang dalam istilah Minangkabau disebut rantau, telah membentuk sebuah realitas budaya tersendiri. Tradisi merantau menjadi ciri khas dan identitas sosial orang Minangkabau. Bahkan, budaya ini telah mengundang minat para peneliti.
Beberapa tokoh berdarah Minangkabau tercatat dalam sejarah dunia, seperti Yusof Ishak (Presiden pertama Singapura), Raja Bagindo (pendiri Kesultanan Sulu di Filipina), dan Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I (Sultan Johor).
Dua di antara banyak peneliti yang menyoroti fenomena merantau ini adalah Mochtar Naim melalui karya Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, serta Tsuyoshi Kato dalam Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Karya-karya ini menjelaskan asal-usul hingga pola migrasi orang Minang dari waktu ke waktu.
Namun, penulis mempertanyakan: apakah makna merantau hari ini masih sama dengan masa lalu—saat pesawat terbang merupakan kemewahan, transportasi darat terbatas, dan moda air seperti kapal menjadi pilihan utama? Apakah motivasi dan esensi merantau masih utuh ketika kini jarak ribuan kilometer bisa ditempuh dalam hitungan jam?
Merantau: Jalan Hidup, Bukan Sekadar Perantauan
Dahulu, merantau bukan sekadar strategi ekonomi, melainkan bagian dari sistem sosial dan filosofi hidup. Merantau adalah jalan untuk menempuh kedewasaan, membangun martabat keluarga, dan memperluas cakrawala hidup.
Dalam masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, laki-laki tidak mewarisi rumah gadang, sawah, atau harta pusaka (pusako tinggi)—semua itu diwariskan kepada anak perempuan. Namun, laki-laki tetap dihormati sebagai mamak (paman dari garis ibu) dan pemimpin dalam struktur keluarga.
Karena itu, laki-laki Minang keluar dari kampung halaman bukan karena terusir, melainkan karena membuka jalan sendiri. Mereka mencari kehidupan, ilmu, pengalaman batin, dan jati diri di luar tanah kelahiran.
Pepatah Minangkabau menyebut: "Marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun"—sebuah panggilan budaya agar pemuda pergi ke luar nagari, karena belum berguna tinggal di rumah sebelum mereka menempuh proses kedewasaan.
Di tanah rantau, mereka belajar menghadapi tantangan, mengatur hidup, mengasah tekad, dan bertahan. Merantau menjadi arena pembelajaran hidup yang sesungguhnya, di mana seseorang menguji dan membentuk dirinya secara mental, spiritual, dan sosial.
Surau, Lepau, dan Sasaran: Sekolah Sebelum Rantau
Sebelum berangkat merantau, laki-laki Minangkabau lebih dahulu dibentuk oleh lingkungan surau. Di sinilah karakter dibentuk, agama dan adat diajarkan, serta kemandirian dilatih. Surau menjadi sekolah awal—bukan hanya tempat ibadah, tetapi tempat menempa akhlak dan jiwa sosial.
Seiring itu, lapau (kedai kopi) menjadi ruang diskusi informal yang membentuk nalar kritis dan keberanian berpendapat. Di sinilah otak diasah dan eksistensi diuji.
Sementara itu, sasaran (tempat latihan silat) membentuk daya tahan fisik dan jiwa ksatria. Di sasaran, para pemuda belajar menjaga diri dari bahaya, mengendalikan emosi, dan menghormati lawan. Semua ini membekali mereka untuk hidup mandiri dan terhormat di tanah rantau.
Tak kalah penting adalah peran mamak, yang akan memberikan petuah sebelum keberangkatan. Pesan-pesan spiritual, etika kerja, dan tuntunan hidup biasanya disampaikan menjelang keberangkatan, sebagai bekal batin yang tak ternilai.
Motivasi Kini: Ekonomi, Ilmu, atau Eksistensi?
Hari ini, motivasi merantau tidak selalu berangkat dari nilai-nilai budaya yang filosofis. Banyak yang merantau karena tekanan ekonomi atau untuk mengejar pendidikan tinggi. Tak sedikit pula yang hanya ikut arus globalisasi, mengikuti gaya hidup urban tanpa pijakan kultural yang kuat.
Namun demikian, banyak perantau Minangkabau yang tetap menjaga hubungan dengan kampung halaman. Mereka mendirikan organisasi perantau, menyumbang pembangunan nagari, membangun masjid, sekolah, jalan, atau menyalurkan beasiswa. Artinya, merantau tidak memutus akar, melainkan justru memperkuat keterikatan dengan tanah kelahiran.
Merantau menjadi jalan untuk berguna, bukan hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga untuk kaum dan nagari. Di era digital dan globalisasi saat ini, ketika batas-batas geografis semakin kabur, tradisi merantau tetap relevan—tidak hanya bagi laki-laki, tetapi juga perempuan.
Karatau: Metafora Perjalanan Hidup
Karatau adalah sejenis tumbuhan obat (Morus alba L.) yang tumbuh di tepi aliran air. Bila buahnya jatuh, ia akan mengikuti arus hingga ke muara. Filosofi ini menjadi simbol perjalanan hidup laki-laki Minangkabau: seperti karatau yang mengikuti aliran waktu dan peristiwa, laki-laki Minang juga harus menempuh perjalanan panjang untuk menemukan makna hidupnya.
Merantau adalah proses itu—sebuah “sekolah terakhir” dalam kehidupan. Artinya, masih ada ruang pembelajaran hidup yang belum lengkap bagi laki-laki Minangkabau jika ia belum pernah merantau.
Namun, kini terlihat pula perubahan sosial: semakin sedikit mamak yang memberikan petuah karena jarak emosional dan fisik semakin jauh. Perubahan dari keluarga besar (extended family) ke keluarga inti (nuclear family) turut berkontribusi pada disfungsi peran sosial tersebut.
Merantau bagi laki-laki Minangkabau adalah proses pencarian diri dan pengabdian. Ia bukan sekadar mobilitas geografis, tetapi perjalanan spiritual dan eksistensial.
Di rantau, mereka ditempa. Di rantau pula mereka kembali membawa sumbangsih. Bagi yang meresapinya, merantau bukan semata pilihan, tapi panggilan. Allahu a'lam. *