
Ilistrasi Liputan6.com/Abdillah
OLEH M. Arafat (Mahasiswa Program Magister Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta)
KASUS korupsi yang melibatkan Proyek BTS 4G dan menyebabkan kerugian negara hingga Rp8 triliun menjadi bukti nyata kegagalan dalam penerapan prinsip tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan dalam proyek infrastruktur strategis.
Proyek yang semula bertujuan memperluas akses internet ke daerah-daerah terpencil justru berubah menjadi ladang praktik suap, penggelembungan anggaran, dan pengabaian terhadap prinsip transparansi publik.
Kejadian ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik dan menimbulkan ancaman serius terhadap keberlanjutan pembangunan digital di Indonesia. Dalam konteks ini, kasus tersebut memberikan pelajaran penting mengenai penerapan prinsip Governance, Risk Management, and Compliance (GRC).
Dari aspek tata kelola atau governance, proyek ini jelas mengabaikan prinsip-prinsip good governance yang menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, serta keterlibatan masyarakat. Penetapan sebanyak 7.904 lokasi pembangunan Base Transceiver Station (BTS) dilakukan tanpa melalui studi kelayakan yang memadai maupun analisis kebutuhan yang berbasis data. Ini menunjukkan lemahnya fondasi perencanaan.
Keterlibatan pihak swasta melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) pun tidak diiringi dengan pengawasan ketat, sehingga menciptakan ilusi fiskal dan memunculkan proyek-proyek yang berpotensi menjadi white elephant projects. Kegagalan lainnya tampak pada tidak optimalnya penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Padahal, SPIP dirancang untuk menjamin kepatuhan terhadap peraturan dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko. Lemahnya koordinasi antara Kementerian Kominfo (kini KemKomDigi), Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), serta inspektorat internal semakin memperbesar ruang terjadinya korupsi.
Dari sisi manajemen risiko, proyek ini tidak menunjukkan upaya identifikasi dan mitigasi risiko secara menyeluruh. Padahal proyek infrastruktur berskala besar seperti BTS 4G sangat rentan terhadap risiko teknis, finansial, dan politis.
Salah satu bentuk kelalaian nyata adalah tidak adanya survei harga pasar dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), yang menyebabkan terjadinya mark-up anggaran hingga mencapai Rp1,7 triliun. Manajemen risiko yang efektif seharusnya mencakup identifikasi, analisis, serta mitigasi risiko yang dilakukan secara kolaboratif bersama seluruh pemangku kepentingan.
Kelemahan lain tampak pada kontrak KPBU yang tidak dirancang dengan rinci. Di Indonesia, sekitar 50 persen kontrak KPBU mengalami perubahan karena ketidaklengkapan klausul awal, yang pada akhirnya membuka celah bagi negosiasi tertutup dan manipulasi biaya.
Kepatuhan terhadap regulasi dan pengendalian internal juga menjadi titik lemah dalam proyek ini. Pelanggaran terhadap Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menjadi salah satu indikasi buruknya kepatuhan.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pihak swasta yang terlibat melakukan suap dan penggelembungan anggaran. Unit Kepatuhan Internal di lingkungan Kementerian Kominfo tidak menjalankan fungsinya secara optimal sebagai sistem peringatan dini (early warning system), sehingga penyimpangan tidak terdeteksi sejak awal.
Ketiadaan pemantauan anggaran secara real-time juga menjadi persoalan serius. Aplikasi seperti MONSAKTI sebenarnya dapat digunakan untuk memverifikasi validitas data keuangan secara langsung, namun tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Tidak adanya sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) yang aman dan protektif membuat banyak penyimpangan tidak terungkap hingga menimbulkan kerugian besar bagi negara.
Dalam upaya memperbaiki kondisi ini, reformasi tata kelola proyek infrastruktur menjadi hal mendesak. Pemerintah perlu menguatkan implementasi SPIP secara menyeluruh, melalui pelatihan rutin bagi pejabat terkait dan integrasi sistem pengawasan digital.
Kolaborasi dengan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta melibatkan akademisi dan masyarakat sipil menjadi langkah penting dalam memperkuat transparansi.
Publikasi seluruh dokumen kontrak proyek secara terbuka di platform digital juga dapat meminimalkan risiko terjadinya amandemen sepihak dalam pelaksanaan KPBU.
Peningkatan kapasitas manajemen risiko perlu dilakukan melalui proses penilaian risiko (risk assessment) secara menyeluruh sebelum proyek dilaksanakan, termasuk mempertimbangkan dampak politik dan lingkungan. Langkah ini harus didukung oleh sistem kepatuhan yang kuat, penerapan sanksi administratif maupun pidana terhadap pelanggar, serta perlindungan terhadap pelapor pelanggaran (whistleblower).
Pembentukan lembaga independen untuk melindungi dan memberi insentif kepada pelapor yang mengungkap kecurangan akan menjadi bentuk komitmen nyata dalam memperkuat integritas birokrasi.
Kasus korupsi Proyek BTS 4G memberikan pelajaran penting bahwa pembangunan infrastruktur tidak cukup hanya dengan ketersediaan anggaran besar. Yang dibutuhkan adalah tata kelola yang bersih dan akuntabel, manajemen risiko yang matang, serta sistem kepatuhan yang kuat. Tanpa perubahan sistemik dan komitmen bersama, proyek-proyek strategis lainnya akan berisiko menjadi ladang korupsi berikutnya.
Rekomendasi kebijakan yang telah diuraikan di atas perlu diimplementasikan secara konsisten, dengan dukungan kuat dari pemimpin politik serta partisipasi aktif masyarakat. Hanya melalui pendekatan semacam itu, cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara digital yang inklusif dan transparan dapat benar-benar tercapai. *
Referensi: