OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)
APLIKASI ramalan cuaca di telepon genggam mengabarkan mendung akan datang bersama hujan petir sepanjang hari. Informasi cuaca layaknya sabda suci bagi lebih dari lima puluh juta manusia di Korea Selatan. Kata yang ditulisnya bagai wahyu yang dipedomani untuk menentukan apakah aman ke luar rumah atau tidak; berapa lapis pakaian hari ini; apa bahan yang mau dipakai; mau pakai jaket atau membawa payung; pakai sepatu kets atau kulit; hingga warna pakaian yang terang atau gelap.
Apa boleh buat, saya harus menyesuaikan diri dengan sistem dan teknologi di negara ini. Di sini tak ada yang menebak cuaca hanya dengan mendongakkan kepala ke langit, sambil mengingat pepatah nenek moyang ‘gabak di hulu pertanda hujan, cewang di langit pertanda panas’. Rumus itu rupanya hanya berlaku di kampung saya di lereng Bukit Barisan. Di negeri maju, orang memerlukan informasi lebih rinci tentang suhu, tingkat debu, hingga kecepatan angin. Semua informasi itu diringkas dalam aplikasi cuaca dalam aplikasi di smart phone, telepon pintar.
“Benda kecil itu bisa membantu kita dalam banyak hal. Sejak dari membayar belanja, ongkos bus, membaca koran, sampai ramalan cuaca. Makanya, ia disebut telepon pintar,” ujar Mas Dodo, Guru Besar Ilmu Komputer asal Surabaya yang tinggal di asrama. Sayangnya, di genggaman makhluk gagap teknologi seperti saya, kepintaran smartphone itu jadi tumpul. Teleponnya boleh pintar, pemiliknya belum tentu.
Mengenakan kaos lengan panjang tebal dan payung, saya berjalan kaki menuju halte. Empat menit kemudian bus antar-kota nomor 1150 yang ditunggu datang. Saya menjadi penumpang pertama pagi ini. Hanya derit bangku kosong dan suara mesin bus merek Daewoo yang terdengar. Di halte kelima, naik seorang lelaki gendut berkacamata. Wajahnya sedingin cuaca dengan hujan di luar.
Minggu pagi yang basah di pertengahan tahun. Gerimis mengantarkan kabut, menutupi gedung pencakar langit di jantung Kota Seoul. Di kejauhan terlihat atap Istana Gyengbok-gung menjulang megah di antara keremangan kabut. Jalanan sepi. Tak banyak orang maupun kendaraan lalu lalang. Saya berjalan santai ke arah Gwanghwamun Square, boulevard luas di tengah jalan utama, Sejong-ro.
Di tengah boulevard, tertancap dua patung raksasa berbahan perungu. Paling depan, patung lelaki gagah berpakaian perang tradisional dengan pedang besar di tangan kanan. Dialah Laksmana Yi Shun-sin (8 Maret1545 - 19 November 1598), pahlawan legendaris Korea yang menyelamatkan negerinya dari invansi Jepang melalui Pertempuran Tujuh Tahun.
Agak ke belakang, terlihat patung lelaki paruh baya yang sedang duduk di kursi besar berukiran kepala naga. Itulah pahlawan yang paling dihormati bangsa Korea, Raja Sejong (10 April 1397-17 Februari 1450). Lelaki tua itu berwajah tenang. dengan setumpuk kecil jenggot di dagu. Tangan kanannya terangkat sebatas dada, sementara di tangan kirinya memegang sebuah buku dengan halaman terbuka.
Sebagai orang yang dibesarkan di masa Orde Baru, saya terbiasa dijejali sosok pahlawan yang militeristik. Di mana-mana di seantero Indonesia, patung pahlawan identik dengan sosok lelaki gagah menunggang kuda yang mengangkat tangannya dengan pedang terhunus. Atau, lelaki berwajah beringas, berbadan kekar dengan dada membusung, menyandang bambu runcing.
Tapi Raja Sejong lebih mirip sosok guru biasa daripada seorang pahlawan. Mengenakan hanbok panjang bermotif naga, kepalanya dililit samo, penutup kepala bulat tanpa hiasan di sampingnya. Tak ada tanda pangkat di bahunya. Juga tak ada simbol yang menunjukkan bahwa dia seorang raja dari sebuah dinasti penting Korea. Kenapa sosok sederhana ini dijadikan pahlawan?
Saya berjalan ke arah belakang patung, melewati pintu kaca dan menuruni tangga menunju ruang museum yang terletak di ruang bawah tanah. Sebuah ruang luas dengan tata cahaya menawan terhampar di depan saya. Beberapa lampu sorot terarah ke ruang kaca berisi naskah kuno, alat musik, dan koleksi senjata. Ruang lainnya dipendari cahaya terang sehingga terasa lebih luas dari ukuran sebenarnya.
Ruang museum ini terletak persis di bagian bawah boulevard, di bawah telapak kaki patung Raja Sejong. Siklus udara yang lancar, cahaya yang melimpah, dan ruang museum yang tertata rapi, membuat kita lupa bahwa bangunan ini berada di bawah tanah. Museum ini dibagi dalam dua belahan; belahan pertama tentang Raja Sejong dan sebelah lainnya tentang Laksamana Yi Shun-sin. Di antara kedua belahan itu terletak toko cinderamata, ruang teater, dan kafe.
Di sebuah rak kayu berukir, seperangkat alat musik berbentuk lonceng digantungkan. Ukurannya sedikit lebih besar dari lonceng yang biasa digantungkan anak gembala di leher sapi mereka di kampung-kampung di barat Sumatra. Di sebelahnya, di atas rak yang sama, tersusun seperangkat alat musik lain dari batu granit putih. Saya meraih lonceng, mengamati bahan logam dan ukirannya. Setelah itu saya meraba alat musik dari batu granit. Permukaannya bersih, licin, dan mengkilap. Tanpa debu maupun kotoran lain. Kedua alat musik kuno itu terlihat anggun di pajangan dengan ukiran naga.
“Selamat pagi,” suara seorang wanita menyapa.
“Oh, selamat pagi juga,” jawab saya.
Kami pun berkenalan. Wanita itu bernama Aan Yoon Ei, pensiunan guru Sejarah Korea, yang mengisi masa pensiun sebagai voluntir di museum ini.
“Alat musik ini disebut, Pyeonggyeong. Diciptakan oleh Yang Mulia Raja Sejong.” Bu Ei menunjuk alat musik berbahan batu granit berbentuk huruf L. “Juga alat musik kayu berbentuk patung harimau putih di ujung sana.”
Bu Ei mengajak saya menuju patung kayu berongga dengan sosok harimau putih terletak di meja pajang yang rendah. Di sebelahnya ada alat musik lain berbentuk lesung kayu persegi empat yang disebut Gayageum. Tapi Raja Sejong tidak hanya menyukai dan menciptakan alat musik. Beliau juga menciptakan jeongganbo, sistem notasi musik pertama di Asia Timur.
“Sistem tanda nada itu membuat musik tradisional Korea bisa disusun dalam bentuk partitur,” lanjut Bu Ei.
Tak jauh dari tempat saya berdiri terdapat sebuah tiang rendah persegi empat. Di tiang itu tersimpan rekaman digital—entah ditaruh di memory card atau compac-disc, saya tak tahu-- musik tradisional Korea. Setelah memilih lagu secara acak, saya memasang earphone untuk mendengarkan lagu. Nada lembut dan syahdu mengalir mengingatkan saya pada bunyai gamelan Jawa.
“Pantas saja orang Korea menghargai seni music.” Pikir saya dalam hati. Rajanya saja pencipta lagu dan alat musik. Khasanah musik tradisinya tersimpan rapi, dan mudah diakses untuk didengar siapa pun di tempat umum ini.
Di mana-mana kita bisa menyaksikan orang bermain musik; di stasiun bawah tanah, pasar, hingga pantai. Panggung musik tersedia di banyak tempat. Sejak dari ruang konser besar yang menampilkan pertunjukan sendratari, pantomime, musik tradisional, hingga panggung latihan bagi anak sekolah di taman-taman terbuka.
Apakah Raja Sejong seorang seniman, Bu Ei?
“Bukan. Saya pikir, Yang Mulia Raja Sejong lebih dari sekadar seniman. Beliau adalah seorang jenius!” jawab Bu Ei. Suaranya pelan, namun diucapkan dengan penuh keyakinan.
Bu Ei mengajak saya melihat karya sains Raja Sejong. Ada Angbuilgu, jam bayangan matahari; Gyupyo, alat pengukur waktu, juga gerobak pengangkut dan pelontar meriam beroda kayu. Bu Ei menunjukkan penggunaan replika alat perang kuno itu. Wanita pensiunan ini ternyata masih lincah mengoperasikan alat perang.
Di sebuah ruang penuh kertas putih, kami berhenti.
“Inilah peninggalan Raja Sejong paling berharga; aksara Hangeul. Warisan Raja Sejong yang digunakan orang Korea hampir sepanjang hidupnya.”
Bola mata mungil Bu Ei berbinar penuh kebanggaaan menjelaskan seluk beluk aksara berbentuk kotak, garis. dan bulatan ini. Saya hanya terpana mendengar penjelasan tentang aksara asing yang berserakan bagai cacing itu.
Berabad-abad sebelum penciptaan Hangeul, masyarakat Korea menggunakan Hanja, aksara China yang rumit. Raja Sejong kemudian menciptaka aksara Hangeul, abjad fonetis baru yang disesuaikan dengan kebutuhan bahasa Korea. Bentuk utama alfabet ini adalah titik, garis horizontal, dan garis vertikal. Ketiganya menyimbolkan hubungan antara manusia, alam dan surga.
Tiba-tiba saja saya membayangkan peristiwa absurd; Raja Sejong bertemu dengan nenek moyang orang Nusantara. Andai saja di antara mereka terjadi dialog dan kerja sama untuk melestarikan aksara yang mereka buat. Andai saja pencipta aksara daerah Sunda, Gayo, Jawa, Batak, Rejang, Kerinci hingga Sasak dihormati sebagaimana penghormatan terhadap Raja Sejong. Andai saja pengguna bahasa daerah punya kebanggan terhadap aksara mereka sendiri, seperti kebanggaan orang Korea terhadap Hangeul. Andai saja bangsa kita memilih salah satu aksara daerah sebagai aksara nasional, bukan aksara Latin yang diwariskan penjajah Belanda.
Tapi saya hanya pandai berandai-andai. Pada kenyataannya, aksara daerah semakin merana ditinggal penggunanya. Tulisan itu hanya tinggal di deluwang lapuk yang sebentar lagi hancur dimakan zaman.
Sebaliknya, bagi bangsa Korea, Hangeul adalah identitas dan kebanggaan bangsanya. Penciptaan Hangeul telah meningkatkan minat dan memperluas kesempat belajar bagi masyarakat Korea. Mereka tak perlu lagi mempelajari aksaran China yang bejibun dan rumit itu.
Aksara Hangeul kemudian dikembangkan dalam bentuk seni kaligrafi dengan berbagai pola dan corak. Sebuah gedung megah, National Hangeul Museum, telah dibuka sejak 2014, di Kota Seoul. Siapa saja bisa menikmati berbagai koleksi, diskusi, dan perkembangan tentang Hageul di tempat ini dengan gratis. (ivan adilla)